Peringati Hari Demokrasi Internasional, PVRI: Indonesia Berada di Titik Terendah
PVRI menilai tahun ini menjadi momen penting untuk mengingatkan kembali komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi yang kini semakin jauh dari kenyataan.
Penulis:
Abdi Ryanda Shakti
Editor:
Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Memeringati Hari Demokrasi Internasional, Lembaga kajian dan penelitian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) mengingatkan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia semakin merosot.
Sejak ditetapkan pada 2007, Hari Demokrasi Internasional tiap tahunnya diperingati setiap tanggal 15 September.
Memasuki peringatan ke-18 pada 2025, PVRI menilai tahun ini menjadi momen penting untuk mengingatkan kembali komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi yang kini semakin jauh dari kenyataan.
Hari Demokrasi, menurut Nazif, tidak boleh sekadar menjadi seremoni tahunan.
Momen ini dinilainya menjadi waktu bagi masyarakat sipil, akademisi, media, dan seluruh warga negara untuk menuntut kembali ruang partisipasi politik yang otentik, menegakkan etika dalam bernegara, serta menolak setiap bentuk penguatan fasisme dalam sistem demokrasi.
Tanda-tanda melemahnya demokrasi terlihat jelas di antaranya ruang publik untuk kritik makin sempit, oposisi di DPR RI praktis tidak ada, hingga integritas pemilu yang dinilai tak sebaik masa-masa sebelumnya.
“Itu tidak dalam satu malam. Terjun bebasnya demokrasi kita hari ini adalah hasil dari proses bertahun-tahun penguatan kembali kolusi negara dan oligarki yang kini telah mendomestifikasi kekuatan masyarakat sipil agama sebagai basis terbesar negeri ini,” kata Ketua Dewan Pengurus PVRI, Usman Hamid dalam keterangannya, Minggu (14/9/2025).
Usman mengingatkan potensi bangkitnya militerisme di tengah ketimpangan ekonomi.
Fenomena ini, menurutnya, bisa mengarah pada konsolidasi fasisme di Indonesia.
Ia mencontohkan pelibatan militer dalam urusan pemerintahan dan program sosial, pembentukan batalyon untuk urusan pertanian, patroli siber militer yang mengawasi percakapan warga, hingga aturan iklan politik pemerintah di bioskop.
“Itu semua menunjukkan sistem negara itu memakai demokrasi tetapi wujudnya justru mengarah pada gejala otoriterisme fasis,” tegas Usman.
Kultur Orde Baru Masih Bertahan
Baca juga: Mabes TNI Ungkap Alasan Pilih Berdamai dan Batalkan Proses Hukum Ferry Irwandi ke Polisi
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti PVRI, Muhammad Naziful Haq, menambahkan melemahnya demokrasi juga dipicu oleh kultur politik yang belum berubah sejak Orde Baru.
“Persoalannya sebenarnya lebih luas. Struktur oligarkis itu telah membentuk kultur dan mentalitas ‘Orde Baru’ tetap bertahan bahkan di era pasca Reformasi 1998. Anatomi institusi politik kita mungkin demokrasi, tetapi logika cara menjalankannya tetap hierarkis, patron-klien, imbal-jasa, dan sentralistik,” ujarnya.
Nazif menilai praktik seperti itu membuat meritokrasi hilang dari sistem politik Indonesia. Padahal, meritokrasi penting sebagai salah satu bentuk kontrol sosial.
“Ketika kultur dan praktik ini bertemu kesempatan politik yang dapat memperluas kekuasaan, rasa malu atas inkompetensi dan kejumudan diri bisa hilang. Meritokrasi sebagai penyaring kelayakan sebuah jabatan akhirnya hilang dari sistem yang dianggap demokrasi,” ujarnya lagi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.