Minggu, 5 Oktober 2025

Program Makan Bergizi Gratis

Prof Sulfikar Amir Sebut Program MBG Prabowo Oversize: Harusnya Targeted, Enggak Semua Orang Butuh

Prof Sulfikar Amir menyebut program MBG oversize atau terlalu besar ukurannya karena melihat dari cara MBG itu didistribusikan ke sekolah-sekolah.

Penulis: Rifqah
Editor: Nuryanti
Tangkap layar YouTube/Forum Keadilan TV
PROGRAM MBG - Profesor Sains dari Nanyang Technological University (NTU), Prof. Sulfikar Amir, dalam program Dialektika Madilog Forum yang diunggah di kanal YouTube Forum Keadilan TV, Rabu (14/5/2025). Prof Sulfikar Amir menyebut program MBG oversize atau terlalu besar ukurannya karena melihat dari cara MBG itu didistribusikan ke sekolah-sekolah. 

TRIBUNNEWS.COM - Sosiolog Nanyang Technological University (NTU) Singapore, Profesor Sulfikar Amir, menyebut program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi unggulan Presiden Prabowo Subianto itu bermasalah, setelah maraknya kasus keracunan MBG di berbagai wilayah di Indonesia.

Proyek MBG, sebut Sulfikar, dinilainya sangat tidak wajar akibat ribuan kasus keracunan itu, meskipun Prabowo sebelumnya menyatakan bahwa jumlah kasus keracunan yang terjadi masih di bawah satu persen, yakni 0,007 persen dari total 30 juta penerima manfaat.

Prabowo pun mengklaim bahwa jumlah kasus keracunan itu tidak lantas menandakan kegagalan program MBG ini.

Namun, bagi Sulfikar, pernyataan Prabowo tersebut tidak ada artinya, karena menurut dia ketika sedang bicara soal kasus keracunan ini, mau sebanyak apapun korbannya, tidak bisa dipersentasekan.

"Proyek MBG ini bermasalah dan mengakibatkan kasus keracunan sampai ribuan orang gitu. Sangat tidak wajar, walaupun dinormalisasi oleh Prabowo kemarin ketika dia mengatakan bahwa kasus ini itu cuma 0,0017 persen," kata Sulfikar, dikutip dari YouTube Abraham Samad SPEAK UP, Jumat (3/10/2025).

"Buat saya pernyataan itu tidak bermakna, tidak ada artinya. Ketika kita bicara tentang krisis ya, berapapun kecilnya ya, itu kan manusia, jadi enggak bisa, kita enggak bicara persentase," imbuhnya.

Sulfikar pun menyebut bahwa program MBG itu oversize atau terlalu besar ukurannya, karena melihat dari cara MBG tersebut didistribusikan ke sekolah-sekolah.

Dia kemudian menjelaskan, program kesejahteraan biasanya didistribusikan dengan dua cara, yakni secara universal atau mencakup semua kalangan dan targeted yakni hanya kalangan tertentu saja.

"Program MBG atau proyek MBG ini oversale dan oversize, ukurannya terlalu gede. Kenapa saya bilang begitu? Kita lihat pendekatan yang diambil oleh Prabowo untuk mendistribusikan program makanan sekolah," ujarnya.

"Biasanya dalam program kesejahteraan itu ada dua pendekatan distribusi. Pertama yang bersifat universal, di mana semua orang dapat. Kedua yang bersifat targeted, di mana sekelompok orang yang dapat," jelasnya.

Menurut Sulfikar, untuk hal-hal yang bersifat ketimpangan seperti MBG yang tujuannya untuk memperbaiki gizi buruk di Indonesia, seharusnya didistribusikan secara targeted untuk yang benar-benar membutuhkan saja.

Baca juga: Menkes Budi Gunadi Akan Cek Rutin Dapur MBG Seminggu Sekali: Kita Didik Semua SPPG Supaya Patuh

Pasalnya, kata Sulfikar, tidak semua orang membutuhkan hal yang sama.

"Nah, untuk hal-hal yang bersifat ketimpangan biasanya itu program kesejahteraannya bersifat targeted. Jadi orang yang benar-benar membutuhkan saja. Universal misalnya pendidikan dan kesehatan, semua orang harus dapat karena kebutuhan kita sama, itu universal ya, makanya program asuransi kesehatan, program pendidikan gratis, itu untuk semua orang, universal," jelas Sulfikar.

"Tapi kalau untuk hal-hal yang bersifat memitigasi ketimpangan, itu nggak bisa disebutnya secara universal karena tidak akan terjadi pemborosan karena tidak semua orang memiliki kebutuhan yang sama."

"Jadi hanya orang yang butuh saja, yaitu orang-orang yang mengalami atau kelompok-kelompok populasi yang rentan terhadap malnutrisi atau kekurangan gizi. Jadi mestinya program makan sekolah ini harusnya bersifat targeted," imbuhnya.

Program MBG ini merupakan program makan siang gratis Indonesia yang dicetuskan pada masa pemerintahan Prabowo dan dirancang dengan tujuan untuk membangun sumber daya unggul, menurunkan angka stunting, menurunkan angka kemiskinan, dan menggerakkan ekonomi masyarakat.

Selain itu, program ini bertujuan untuk memastikan bahwa kebutuhan gizi harian masyarakat, terutama di kalangan anak-anak dan ibu, dapat tercukupi dengan baik sesuai dengan standar Angka Kecukupan Gizi (AKG).

Melalui program ini, Prabowo juga akan mewujudkan  visi Indonesia Emas 2045 yang menargetkan terciptanya generasi emas dari bonus demografi, yang mampu membawa Indonesia menjadi negara maju.

Program ini mulai digulirkan sejak tanggal 6 Januari 2025 di 26 provinsi Indonesia dengan menargetkan siswa-siswi PAUD hingga SMA serta ibu hamil dan menyusui, dengan harapan dapat memberikan manfaat kepada 82,9 juta penerima.

Kata Kepala BGN soal Keracunan MBG 

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, sebelumnya menyebutkan, sebagian besar insiden keracunan tersebut terjadi akibat kelalaian dapur MBG atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan.

"Dengan kejadian-kejadian ini kita bisa lihat bahwa kasus banyak terjadi di dua bulan terakhir. Dan ini berkaitan dengan berbagai hal. Kita bisa identifikasi bahwa kejadian itu rata-rata karena SOP yang kita tetapkan tidak dipatuhi dengan seksama," ujar Dadan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/10/2025).

Dadan kemudian menjelaskan pelanggaran SOP terjadi mulai dari tahap pembelian bahan baku hingga proses distribusi makanan. 

Ada ketidaksesuaian waktu pembelian bahan baku yang seharusnya dilakukan dua hari sebelum pengolahan (H-2), tetapi ditemukan ada yang melakukannya empat hari sebelumnya (H-4).

"Seperti contohnya pembelian bahan baku yang seharusnya H-2, kemudian ada yang membeli H-4. Kemudian juga ada yang kita tetapkan processing masak sampai delivery tidak lebih dari 6 jam, optimalnya 4 jam."

"Seperti di Bandung, itu ada yang memasak dari jam 9 dan kemudian delivery-nya ada yang sampai jam 12, bahkan ada yang lebih dari jam 12," jelasnya.

Oleh karena itu, sebagai bentuk tindakan tegas, BGN memutuskan untuk menutup sementara operasional SPPG yang terbukti lalai dan menyebabkan kegaduhan di tengah masyarakat.

Penutupan sementara ini tidak memiliki batas waktu yang pasti, durasinya akan bergantung pada seberapa cepat masing-masing SPPG mampu melakukan penyesuaian dan perbaikan internal, serta menunggu hasil investigasi yang sedang berjalan.

"Kita tutup sementara sampai semua proses perbaikan dilakukan. Penutupan bersifat sementara tersebut waktunya tidak terbatas, tergantung dari kecepatan SPPG dapat mampu melakukan penyesuaian diri dan juga menunggu hasil investigasi," ucapnya.

Sebagai informasi, data keracunan makanan MBG menunjukkan angka yang signifikan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat 9.089 korban dari 55 Kejadian Luar Biasa (KLB) hingga akhir September 2025. 

Sementara, data BGN per 30 September 2025, menunjukkan ada 6.457 kasus keracunan dengan 72 kejadian sejak Januari.

Perbedaan ini juga disorot oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), yang mencatat 8.649 anak terdampak, dengan lonjakan 3.289 kasus dalam dua pekan terakhir September.

JPPI menilai keracunan hanyalah gejala dari masalah sistemik dalam pelaksanaan MBG. Temuan mereka mencakup pengadaan menu di bawah standar, pengurangan harga per porsi, konflik kepentingan, dan minimnya partisipasi sekolah dalam pengawasan.

(Tribunnews/Rifqah/Chaerul)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved