Kasus Korupsi PLTU Kalbar
Dirut PLN Era SBY, Fahmi Mochtar Jadi Tersangka Korupsi PLTU Kalbar, Rugikan 62,4 Juta Dolar AS
Bareskrim Polri menetapkan Dirut PLN 2008-2009, Fahmi Mochtar jadi tersangka kasus korupsi PLTU Kalbar tahun proyek 2008-2018.
TRIBUNNEWS.COM - Bareskrim Polri menetapkan Direktur Utama (Dirut) PLN 2008-2009, Fahmi Mochtar atau FM sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat yang berkekuatan 2x50 megawatt tahun proyek 2008-2018.
Adapun kasus ini merupakan take over dari Polda Kalbar yang telah melakukan penyelidikan sejak tahun 2021 lalu.
Kemudian, kasus korupsi tersebut dilimpahkan ke Bareskrim Polri pada Mei 2024.
Setelah itu, Bareskrim Polri baru menetapkan Fahmi Mochtar sebagai tersangka pada Jumat (3/10/2025).
"Kita lakukan penyelidikan hingga November 2024. Kemudian setelah berjalannya kemarin tanggal 3 Oktober 2025 melalui mekanisme gelar terhadap tersangka FM (Fahmi Mochtar), artinya yang bersangkutan Direktur PLN saat itu," kata Kakortastipidkor, Irjen Cahyono Wibowo dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (6/10/2025).
Cahyono menyebut adanya pihak swasta yang turut ditetapkan menjadi tersangka yakni berinisial HK dan RR.
HK merupakan Presiden Direktur (Presdir) PT Bumi Rama Nusantara dan RR adalah Direktur Utama (Dirut) PT Bumi Rama Nusantara.
Kemudian, tersangka lain yang ditetapkan yakni Dirut PT Praba Indo Persada berinisial HYL.
Baca juga: KPK Periksa Gubernur Kalbar Ria Norsan Terkait Korupsi Jalan Mempawah
Akibat dugaan korupsi yang dilakukan, negara ditaksir mengalami kerugian mencapai 62.410.523 (62,4 juta) dolar AS serta Rp323.199.898.518 (Rp323,1 miliar).
Adapun kerugian di atas berdasarkan hitung-hitungan yang telah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Cahyono mengungkapkan proyek ini adalah kerjasama antara PLN dengan PT Bumi Rama Nusantara; perusahaan asal Singapura, Alton; serta perusahaan asal Rusia, OJSC.
"Nanti dari tim kami dari Hubinter akan menghubungi pihak-pihak mereka," ujarnya.
Di sisi lain, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Duduk Perkara
Pada kesempatan yang sama, Direktur Penindakan Kortas Tipikor, Brigjen Totok Suharyanto, menjelaskan duduk perkara kasus korupsi ini.
Totok menuturkan pada tahun 2008, PLN mengadakan proyek PLTU yang berlokasi di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.
Lalu, saat proses lelang, Fahmi Mochtar yang saat itu menjabat sebagai Dirut PLN, melakukan pemufakatan jahat dengan memenangkan PT Bumi Rama Nusantara agar bisa mengerjakan proyek tersebut.
Padahal, kata Totok, perusahaan tersebut tidak memenuhi syarat.
"Selanjutnya dalam pelaksanaan lelang, diketahui bahwa panitia pengadaan atas arahan Direktur Utama PLN tersangka FM telah meloloskan KSO BRN, Alton, dan OJSC meski tidak memenuhi syarat teknis administrasi."
"Selain itu diduga kuat bahwa perusahaan Alton OJSC tidak tergabung dalam KSO (Kerja Sama Operasi) yang dibentuk dan dikepalai PT BRN (Bumi Rama Nusantara)," kata Totok.
Totok mengatakan pada tahun 2009, ketika adanya penandatanganan kontrak, KSO BRN telah mengalihkan proyek PLTU ke PT Praba Indo Persada.
Selanjutnya, Dirut PT Praba Indo Persada yang juga tersangka berinisial HYL menjadi pemegang keuangan KSO BRN.
Padahal perusahaan yang dipimpin HYL tidak memiliki kompetensi untuk mengerjakan proyek PLTU tersebut.
Masih di tahun yang sama, Fahmi Mochtar melakukan tanda tangan kontrak dengan RR terkait proyek PLTU dengan total nilai mencapai 80,8 juta dolar AS dan Rp507.424.168 (Rp507,4 miliar).
"Kemudian pada tanggal 24 Juni 2009, dilakukan tanda tangan kontrak oleh tersangka FM selaku Dirut PLN dengan tersangka RR selaku Dirut PT BRN dengan nilai kontrak 80.488.341 USD dan Rp507.424.168 atau total kurs saat itu Rp1,24 triliun saat itu," ujar Totok.
Dalam kontrak tersebut, pengerjaan PLTU Kalbar dilakukan dari 28 Desember 2009-28 Februari 2012.
Namun, hingga akhir kontrak, KSO BRN dan PT Praba Indo Persada tidak mampu menyelesaikan proyek itu meski telah dilakukan 10 kali amandemen.
"Akan tetapi faktanya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,25 persen. Sehingga PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta dolar AS. Itulah yang merupakan total loss," katanya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.