Program Makan Bergizi Gratis
Kepala BGN Tolak Usulan Program MBG Diganti Bantuan Uang Tunai ke Orang Tua, Ini Alasannya
Kepala BGN Dadan Hindayana menegaskan pemerintah tidak akan mengganti skema program MBG menjadi bantuan uang tunai langsung ke orang tua.
Ringkasan Utama
- BGN tolak usulan program MBG diganti uang tunai karena berpotensi menghilangkan manfaat utama
- BGN khawatir anggaran MBG justru tidak digunakan sesuai tujuan peningkatan gizi anak bila diganti uang tunai
- Orang tua siswa usulkan program MBG diganti uang tunai
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menegaskan pemerintah tidak akan mengganti skema program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi bantuan uang tunai langsung ke orang tua penerima manfaat.
Sejumlah orang tua siswa mengusulkan program MBG diganti dengan uang tunai yang bisa dikelola orang tua.
Usulan masyarakat tersebut muncul setelah ada sejumlah kasus keracunan dalam program MBG.
Dadan Hindayana mengatakan mekanisme program MBG diganti dengan uang tunai berpotensi menghilangkan manfaat utama program dan gagal membangun ekosistem pangan yang berkelanjutan.
“Kita tidak menggunakan metode di mana uang dikirim ke orang tua dan orang tua suruh masak,” ujar Dadan dalam paparan virtualnya, Selasa (7/10/2025).
Baca juga: Program MBG Bikin Harga Daging Ayam Naik, Kepala BGN: Bukan Sebuah Masalah
Dadan menjelaskan, jika dana MBG diberikan langsung dalam bentuk uang, maka efektivitas program akan sulit diawasi.
Ia khawatir sebagian besar anggaran justru tidak digunakan sesuai tujuan peningkatan gizi anak.
“Satu sisi kita ada kekhawatiran bahwa uang ini akan tidak tepat (sasaran), juga yang kedua tidak mampu membuat ekosistem,” kata Dadan.
Baca juga: Program MBG di Manado Jadi Sarana Edukasi Gizi Sejak Dini ke Siswa Sekolah
Ia menegaskan, tujuan program MBG bukan hanya memberi makan kepada anak-anak.
Akan tetapi juga menciptakan sistem ekonomi pangan yang menyejahterakan masyarakat bawah.
“Kalau kita tidak menggunakan metode seperti sekarang, uang yang besar hanya digunakan untuk memberi makan anak-anak. Itu hanya satu sisi saja. Tapi dengan cara ini kita membangun rantai pasok dan menciptakan kebutuhan baru,” jelasnya.
Menurut Dadan, skema MBG melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) justru membuka peluang ekonomi di tingkat akar rumput.
Satu SPPG melayani ribuan penerima manfaat di sekitar sekolah dan diberi tanggung jawab penuh untuk menyediakan makanan bergizi setiap hari.
“Dengan satu SPPG melayani sekitar 3.000 penerima manfaat, terbentuklah new demand atau kebutuhan baru, atau boleh dikatakan juga sebagai new emerging market. Karena 3.000 orang itu yang bertumbuh dalam satu tempat, dilayani, itu akan membutuhkan kebutuhan yang luar biasa,” ucapnya.
Ia menambahkan, model seperti ini membuat uang negara benar-benar berputar di daerah.
“Kita menciptakan kebutuhan baru sekaligus menjamin pemasarannya. Jadi ekonomi sudah bergerak di level paling bawah,” ujarnya.
Dadan menyebut, setiap satuan SPPG rata-rata mendapatkan anggaran Rp10 miliar per tahun.
Sekitar 45 persen digunakan untuk membeli bahan baku makanan, dan 99 persen bahan baku tersebut berasal dari produk pertanian lokal.
Ia menilai, pola MBG dengan SPPG jauh lebih berkelanjutan ketimbang bantuan tunai yang efeknya hanya sesaat.
“10,5 persen (anggaran) digunakan untuk membayar seluruh relawan yang bekerja termasuk nasional, dimana disitu ada ibu-ibu yang selama ini tidak bekerja menjadi bisa bekerja, kemudian mendapatkan tambahan penghasilan sehingga kemiskinan ekstrem bisa dihilangkan di lokasi dimana SPPG berdiri," ucapnya.
Usulan MBG Diganti Uang Tunai
Usulan program MBG diganti uang tunai diusulkan sejumlah warga.
Di antaranya Asri, seorang orang tua siswa di Pondok Aren, Tangerang Selatan.
"Kalau saya sih mending diganti uang aja. Jadi saya tahu makanan apa yang dimakan anak saya. Lebih hemat juga, enggak dibuang,” kata Asri, Kamis (2/10/2025).
Wanita yang akrab disapa Mama Banyu itu berujar, makanan MBG kerap dibuang karena tidak dimakan dan sudah basi saat tiba di rumah.
“Sayang banget, kadang nyampe rumah udah basi. Ya akhirnya dibuang. Enggak bisa dimakan lagi," ucapnya.
Meski begitu, ia menilai pengelolaan makanan MBG sudah membaik, seperti penggunaan mayonaise dalam kemasan saset agar lebih tahan lama.
“Sekarang udah mulai pakai sasetan. Dulu dicampur langsung, cepat basi,” ujarnya.
Usulan MBG diganti uang tunai pun datang dari Forum Orangtua Siswa (Fortusis) Jawa Barat.
Mereka mendesak pemerintah memberikan uang kepada orang tua daripada disediakan makanan di sekolah dalam Program MBG.
Hal tersebut menyikapi peristiwa keracunan massal di sejumlah daerah, termasuk di Jawa Barat.
Ketua Fortusis Jabar, Dwi Subawanto, mengatakan Program MBG pada prinsipnya bagus untuk diterapkan di negara yang kemiskinannya tinggi.
Namun, harus benar tim ahli gizi yang memasaknya, semisal sewaktu uji coba yang dilakukan TNI saat itu dan berhasil.
Tapi, ketika diserahkan ke masyarakat, akhirnya justru yang ada euforia.
Lebih lanjut, nuansa proyeknya lebih dominan dan berpikirnya mencari keuntungan melalui spek-spek yang ditentukan dalam hal jenis makanannya.
"Setiap daerah tentu berbeda-beda, jangan disamaratakan. Misal biasanya di daerah itu memakai beras apa, sehingga saat dimasak pagi hari sampai siangnya itu nasinya tak berubah rasa atau basi. Jadi, jika ada gagasan diganti saja dengan uang itu lebih bagus, kami mendukung," kata Dwi saat dihubungi, Selasa (23/9/2025) dikutip dari Tribunjabar.id.
Ketika orangtua menerima uangnya, kata Dwi, mereka akan dapat menentukan speknya sesuai kesukaan anaknya, termasuk pemilihan pengolahan dagingnya, seperti direbus, digoreng, atau lainnya tergantung selera.
"Intinya, kami lebih senang orang tua diberikan uangnya. Artinya, yang masak itu orangtuanya sendiri. Sebab, orang tua tahu selera lidah anaknya. Orangtua bisa masak pagi hari, dan si anak pukul 07.00 WIB sudah di sekolah, tapi orangtua belum selesai masak, maka nanti makanan itu bisa diantarkan sewaktu jam istirahat," ucap dia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.