Viral Mahar Cek Rp3 Miliar, Ini 5 Jenis Mahar Nikah yang Dilarang dalam Islam
Jenis mahar yang dilarang dalam Islam menurut panduan KUA dan ulasan dari Kementerian Agama RI, lengkap dengan hukum dan syarat mahar sesuai syariat.
TRIBUNNEWS.COM - Dalam Islam, mahar atau maskawin merupakan bagian penting dari akad nikah yang berfungsi sebagai bentuk penghormatan dan keseriusan seorang laki-laki terhadap calon istrinya.
Menikah adalah awal mendulang kebahagiaan, di mana salah satu dari beberapa syarat yang harus dipenuhi saat hendak menikah, yakni adanya mahar atau maskawin.
Mahar bukan sekadar simbol, tetapi juga hak mutlak perempuan yang harus diberikan secara sah, jelas, dan bermanfaat.
Kementerian Agama RI melalui Kantor Urusan Agama (KUA) telah menegaskan, meski bentuk mahar bisa beragam, namun ada beberapa jenis mahar yang secara tegas dilarang dalam Islam karena bertentangan dengan prinsip keadilan, kejelasan, dan keberkahan dalam pernikahan.
Kasus viral Mbah Tarman yang memberikan cek senilai Rp3 miliar sebagai mahar dalam kabar viral pernikahan dari Pacitan, Jawa Timur, menjadi sorotan publik dan pemicu diskusi tentang keabsahan bentuk mahar.
Meski nominalnya fantastis, banyak pihak mempertanyakan apakah cek tersebut benar-benar sah sebagai mahar, terutama jika tidak dapat dicairkan atau tidak memiliki nilai riil.
Dari kasus ini, masyarakat diingatkan untuk memahami jenis-jenis mahar yang tidak diperbolehkan dalam Islam agar tidak terjebak dalam praktik yang merugikan atau bahkan membatalkan hak-hak perempuan.
Jenis Mahar Nikah yang Dilarang dalam Islam
Berikut adalah lima jenis mahar yang dilarang dalam Islam menurut panduan KUA dan ulasan dari Kementerian Agama RI:
1. Mahar dari Benda Haram
Islam melarang mahar yang berasal dari benda haram, seperti minuman keras, narkoba, atau hasil dari transaksi yang tidak halal.
Mahar harus berasal dari sesuatu yang halal dimiliki dan digunakan, karena pernikahan adalah ibadah dan tidak boleh dicemari oleh unsur yang bertentangan dengan syariat.
Baca juga: Masa Lalu Mbah Tarman Terbongkar, Eks Napi Kasus Penipuan Jual Beli Samurai Seharga Rp20 Triliun
Memberikan mahar dari sumber haram tidak hanya merusak keberkahan pernikahan, tetapi juga bisa menjadi dosa yang berkelanjutan.
2. Mahar yang Tidak Jelas atau Tidak Bernilai
Mahar harus memiliki nilai yang jelas dan dapat dimanfaatkan oleh pihak perempuan.
Memberikan mahar berupa janji kosong, benda yang tidak bisa dimiliki, atau seperti dalam kasus Mbah Tarman cek yang belum tentu bisa dicairkan, termasuk dalam kategori mahar yang tidak sah.
KUA menyarankan agar mahar dicatat secara rinci dan disertai bukti nilai, terutama jika berupa benda non-tunai seperti cek, emas, atau surat berharga.
3. Mahar Titipan untuk Orang Lain (Bukan untuk Calon Istri)
Islam melarang mahar yang diberikan kepada pihak ketiga, seperti ayah atau wali perempuan, tanpa persetujuan dan manfaat langsung bagi calon istri.
Sebab mahar adalah hak penuh perempuan, bukan bentuk “uang terima kasih” kepada keluarga.
Praktik ini bisa menimbulkan kesalahpahaman dan konflik dalam rumah tangga, serta bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam.
4. Mahar yang Terlalu Memberatkan
Mahar yang terlalu tinggi hingga memberatkan pihak laki-laki juga tidak dianjurkan.
Islam mendorong kesederhanaan dalam mahar agar tidak menjadi beban dan penghalang pernikahan.
Rasulullah SAW bersabda bahwa “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.”
Mahar yang memberatkan bisa menimbulkan tekanan psikologis, utang, atau bahkan niat tidak tulus dalam pernikahan.
5. Mahar yang Berlebihan
Selain yang memberatkan, Rasulullah juga tidak menyukai mahar yang berlebihan.
Sebaliknya mahar yang sederhana atau sewajarnya, justru menunjukan kemurahan hati si mempelai wanita.
Hukum dan Syarat Mahar Nikah sesuai Syariat
Merujuk penjelasan dari laman KUA Sembalun, mahar tidak wajib disebutkan dalam akad nikah.
Artinya, jika akad dilakukan tanpa menyebutkan mahar secara eksplisit, pernikahan tetap sah.
Hal ini didasarkan pada ayat Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah ayat 236 yang menyatakan bahwa tidak ada dosa bagi seseorang yang menceraikan istrinya sebelum terjadi hubungan dan sebelum mahar ditentukan.
Para ulama sepakat bahwa mahar bukan rukun nikah, melainkan kewajiban yang menyusul setelah akad.
Namun, meskipun tidak disebutkan dalam akad, mahar tetap harus diberikan.
Mahar bukanlah transaksi jual beli, melainkan bentuk pemberian yang menunjukkan keseriusan dan kesiapan suami dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Imam Nawawi dalam kitab Raudhah ath-Thalibin menyatakan bahwa mahar bukan rukun nikah, berbeda dengan harga dalam jual beli.
Oleh karena itu, pernikahan tetap sah meskipun mahar belum disebutkan, selama tidak ada syarat yang membatalkan.
Dalam praktiknya, ada dua kondisi yang sering dibahas ulama terkait mahar: pertama, ketiadaan mahar sebagai syarat dari pihak suami; dan kedua, kerelaan istri untuk tidak menerima mahar.
Dalam kondisi pertama, mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa pernikahan tetap sah, namun syarat tersebut batal.
Suami tetap berkewajiban memberikan mahar.
Sebaliknya, mazhab Maliki berpendapat bahwa mahar adalah rukun nikah, sehingga pernikahan tanpa mahar yang disyaratkan bisa dianggap tidak sah.
Adapun dalam kondisi kedua, jika istri merelakan maharnya, maka pernikahan tetap sah.
Ini dikenal sebagai nikah tafwidh, di mana istri tidak menuntut mahar dan memberikannya secara sukarela.
Hal ini diperkuat oleh ayat dalam Surah An-Nisa ayat 4 yang menyatakan bahwa mahar adalah pemberian yang harus diberikan dengan penuh kerelaan, dan jika istri menyerahkan sebagian atau seluruhnya kepada suami dengan senang hati, maka hal itu sah dan halal.
Secara hukum, mahar harus memenuhi syarat berikut:
- Halal dan bermanfaat: Tidak boleh berasal dari benda haram atau yang tidak sah dimiliki.
- Diketahui nilainya: Harus jelas bentuk dan nilainya, baik berupa uang, barang, atau jasa.
- Diberikan kepada istri: Mahar adalah hak penuh perempuan, bukan untuk pihak lain.
- Tidak memberatkan: Islam menganjurkan kesederhanaan dalam mahar agar tidak menjadi beban.
Jika memahami hukum dan syarat mahar secara syariat, umat Islam dapat menjalankan pernikahan dengan lebih bijak, adil, dan penuh keberkahan.
Pelajaran dari Kasus Cek Rp3 Miliar Mbah Tarman Kasus Mbah Tarman menjadi contoh nyata bagaimana bentuk mahar yang tidak jelas bisa menimbulkan polemik.
Apabila cek tersebut, tidak memiliki dana yang cukup atau tidak bisa dicairkan, maka secara hukum Islam, mahar tersebut tidak sah dan harus diganti dengan mahar yang riil dan bermanfaat.
KUA menekankan pentingnya verifikasi mahar sebelum akad nikah agar tidak terjadi sengketa atau pelanggaran hak istri di kemudian hari.
Sebagai penutup, masyarakat diimbau untuk memahami bahwa mahar bukan ajang pamer kekayaan, melainkan bentuk tanggung jawab dan penghormatan dalam ikatan suci pernikahan.
Memilih mahar yang sah, jelas, dan bermanfaat adalah langkah awal membangun rumah tangga yang berkah dan diridhai Allah SWT.
(Tribunnews.com/Muhammad Alvian Fakka)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.