Senin, 13 Oktober 2025

Pasal 21 UU Tipikor Dinilai Miliki Tafsir Kabur, 18 Akademisi Hukum Ajukan Amicus Curiae ke MK

18 akademisi hukum pidana dari berbagai universitas di Indonesia menyerahkan dokumen amicus curiae atau sahabat pengadilan ke MK.

(Kompas.com/Fitria Chusna Farisa)
POTRET GEDUNG MK - Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat. 18 akademisi hukum pidana menyerahkan dokumen amicus curiae atau sahabat pengadilan ke MK. 
Ringkasan Berita:
  • Akademisi menilai Pasal 21 UU Tipikor tidak memiliki batasan hukum yang jelas
  • Akademisi meminta MK memberikan tafsir pembatasan terhadap pasal 21 UU Tipikor
  • Pasal 21 UU Tipikor dinilai buka peluang terjadi kriminalisasi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - 18 akademisi hukum pidana dari berbagai universitas di Indonesia menyerahkan dokumen amicus curiae atau sahabat pengadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Nomor 136/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 163/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Hasto Kristiyanto

Diketahui, perkara ini menguji Pasal 21  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Tipikor yang mengatur delik obstruction of justice. 

Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor berbunyi:

"Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 

Para akademisi menilai pasal tersebut mengandung norma yang kabur, melanggar asas legalitas, dan berpotensi menyebabkan kriminalisasi berlebihan.

Baca juga: DPR Kritik Pasal UU Tipikor yang Jerat Hasto: Multitafsir, Bisa Dipakai Sesuai Kepentingan

Dalam dokumen setebal puluhan halaman, para akademisi menyoroti frasa ‘mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung’ dalam 

Ketidakjelasan ini dianggap bertentangan dengan asas lex certa dan lex stricta dalam hukum pidana.

"Tidak ada parameter yang pasti mengenai perbuatan apa yang tergolong ‘tidak langsung’. Akibatnya, aparat penegak hukum bisa menafsirkan secara bebas bahkan terhadap tindakan yang sah seperti pengajuan praperadilan, nasihat advokat, atau sikap diam," tulis para amici yang disampaikan Prof Deni Setya Bagus Yuherawan dari Universitas Trunojoyo Madura dalam keterangan yang diterima, Minggu (12/10/2025).

Baca juga: Hakim MK Heran, DPR Justru Sepakat dengan Hasto yang Sebut Pasal 21 UU Tipikor Inkonstitusional

Dokumen amici, lanjut Prof Deni, sudah diserahkan ke MK pada Kamis (9/10/2025).

Mereka menegaskan tafsir bebas tersebut melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi dan menimbulkan praktik over kriminalisasi. 

Para akademisi juga menyoroti tidak adanya unsur ‘melawan hukum’ dalam pasal tersebut.

Sehingga, tindakan legal seperti pembelaan diri di pengadilan dapat dianggap menghalangi penyidikan. 

Mereka juga mempertanyakan proporsionalitas ancaman pidananya. 

"Pasal 21 bukanlah tindak pidana korupsi pokok, melainkan delik umum. Namun ancamannya justru paling berat, sehingga tidak proporsional," kata para amici.

Para ahli hukum yang terdiri dari profesor dan doktor seperti Prof Tongat dari Universita Muhammadiyah Malang, Prof Mahmutarom HR dari Universitas Wahid Hasyim Semarang, dan Prof Rena Yulia dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, meminta MK memberikan tafsir pembatasan terhadap pasal ini. 

Mereka mengusulkan agar pasal ini hanya menjerat perbuatan dengan niat jahat yang dilakukan melalui kekerasan, intimidasi, atau pemberian keuntungan tidak semestinya, sesuai dengan Article 25 Konvensi PBB Antikorupsi.

"Pemberantasan korupsi harus berjalan dalam koridor hukum yang pasti, adil, dan proporsional. Norma yang kabur justru melemahkan keadilan dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan," tulisnya.

Mereka juga mengingatkan bahwa bahasa hukum tidak pernah netral dan kekaburan rumusan dapat mengakibatkan penafsiran sepihak oleh aparat.

"Ketika aparat penegak hukum memiliki posisi dominan dalam menafsirkan bahasa norma pidana, peluang kriminalisasi akan terbuka lebar," tulis para ahli mengutip teori Paul Scholten dan JA Pontier.

Sekilas Tentang Amicus Curiae 

Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan adalah salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana.

Amicus curiae sendiri tidak secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Namun, amicus curiae saat ini berpegang pada Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

"Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat".

Permohonan Hasto Kristiyanto ke MK

Dalam permohonannya, Hasto Kristiyanto meminta MK menambahkan frasa baru di dalam Pasal 21 UU Tipikor

Pasal 21 UU Tipikor diketahui pernah menjerat Hasto sebagai terdakwa di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara dugaan perintangan penyidikan kasus suap Harun Masiku kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. 

Hasto juga sempat dijerat pasal penyuapan karena diduga menyiapkan uang Rp 400 juta untuk Harun Masiku terkait suap Wahyu.

Ia pun divonis 3,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta atas perkara suap.

Hasto Kristiyanto saat ini sudah bebas setelah dirinya menerima amnesti dari Prabowo Subianto.

Permohonan ini didaftarkan pada 24 Juli 2025, sehari sebelum majelis hakim membacakan putusan perkara dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dan dugaan perintangan penyidikan yang menjerat Hasto. 

Dalam permohonannya, Hasto meminta MK menyatakan bahwa ancaman pidana dalam Pasal 21 yang saat ini berbunyi “paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun” harus diubah menjadi “paling lama 3 tahun”.

Ia juga meminta MK menafsirkan ulang frasa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” yang ada dalam pasal tersebut. 

Hasto berpendapat frasa itu seharusnya dimaknai secara kumulatif, bukan alternatif.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved