Selasa, 28 Oktober 2025

Pengamat Hukum Ingatkan Demokrasi Harus Berdiri di Atas Kebenaran, Bukan Kebencian

Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli, menyoroti dinamika demokrasi yang berkembang akhir-akhir ini.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
Istimewa
Mantan Ketua Komisi III DPR, Pieter C. Zulkifli Simabuea. Pieter merupakan mantan politisi Partai Demokrat yang juga mantan anggota DPR RI periode 2009-2014. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli, menyoroti dinamika demokrasi yang berkembang akhir-akhir ini.

Di mana, dia mengingatkan demokrasi hanya bisa matang jika semua pihak bersedia bersaing secara sehat, bukan dengan cara menjatuhkan karakter lawan.

Dia mencontohkan, adanya narasi negatif terhadap Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dan keluarganya belakangan ini.

Pieter C. Zulkifli merupakan mantan politisi Partai Demokrat yang juga mantan anggota DPR RI periode 2009-2014.

Pada 2013, dia  ditetapkan sebagai Ketua Komisi III DPR menggantikan Gede Pasek Suardika.

Dirinya menyebut, hal tersebut ada kaitannya dengan strategi politik menghadapi pemilihan presiden (pilpres) 2029.

"Gelombang fitnah terhadap mantan Presiden Jokowi dan keluarga diduga bukan sekadar kritik, tapi strategi politik menjelang Pilpres 2029," kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Kamis (23/10/2025).

Dia menyinggung dugaan ijazah palsu Jokowi menjadi contoh kasus paling mencolok, bagaimana isu tersebut bisa berkembang liar di ruang publik. 

Padahal, berulang kali Mahkamah Konstitusi (MK), perguruan tinggi, dan lembaga hukum menyatakan tidak ada kejanggalan.

Ia juga menilai, fenomena tersebut menunjukkan mudahnya ruang digital dikapitalisasi oleh kepentingan politik yang ingin menggiring persepsi publik. 

"Inilah tantangan terbesar pemerintahan pasca-Jokowi, yakni menjaga rasionalitas publik agar tidak larut dalam gelombang disinformasi yang diproduksi secara sistemik," ujarnya.

Menurutnya, harus diakui ada agenda tertentu yang bermain di balik narasi-narasi destruktif itu. 

Dia menduga, ada sebuah kekuatan politik yang berupaya menciptakan opini publik negatif terhadap Jokowi, agar tersingkir dari gelanggang politik 2029.

"Taktik yang digunakan klasik; adu domba, framing media, dan eksploitasi sentimen publik melalui buzzer dan akun anonim," ucapnya.

Untuk itu, Pieter Zulkifli mengingatkan demokrasi hanya akan matang jika semua pihak bersedia bersaing secara sehat, bukan dengan cara menjatuhkan karakter lawan.

"Fitnah mungkin bisa mengubah persepsi sesaat, tapi sejarah akan menilai siapa yang bekerja dan siapa yang hanya berisik," kata dia.

Dia berpendapat ujian terbesar pasca-Jokowi bukan soal siapa yang berkuasa, melainkan bagaimana bangsa ini menjaga akal sehatnya. 

Sehingga menurutnya publik harus cerdas memilah informasi.

"Karena pada akhirnya, demokrasi yang sejati berdiri di atas kebenaran bukan kebencian," pungkasnya.

Tak hanya menyasar Jokowi, ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang notabene merupakan putra sulung Jokowi, digugat secara perdata oleh warga sipil bernama Subhan Palai.

Subhan menggugat Gibran dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena keduanya dinilai melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran cawapres yang dahulu tidak terpenuhi.

Baca juga: 2 Kali Bilang Mau Tunjukkan Ijazah di Pengadilan, Jokowi Kini Tak Hadiri Sidang CLS di PN Solo

Gibran dan KPU dituntut untuk membayar uang ganti rugi senilai Rp125 triliun kepada negara.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved