Kamis, 30 Oktober 2025

Petani Minta Presiden Benahi Tata Kelola Sawit Sesuai Aturan Hukum

petani sawit pun meminta Presiden Prabowo Subianto segera menata ulang kebijakan tata kelola sawit dan kehutanan 

Tribun Kaltim/Fachmi Rachman
Petani sawit mengangkut hasil kebun mereka untuk dibawa ke lokasi loading Terima Buah Sawit (TBS) di Desa Semoi III, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (28/8/2019). Kalangan petani sawit pun meminta Presiden Prabowo Subianto segera menata ulang kebijakan tata kelola sawit dan kehutanan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang menyita sekaligus mendenda banyak kebun sawit karena dianggap berada di dalam kawasan hutan dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.

Maka, kalangan petani sawit pun meminta Presiden Prabowo Subianto segera menata ulang kebijakan tata kelola sawit dan kehutanan.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Sawitku Masa Depanku (Samade), Abdul Aziz mengatakan, banyak kebun yang disita justru telah mengantongi sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) maupun sertifikat tanah resmi yang dikeluarkan negara. 

Sehingga, kondisi ini mencerminkan ketidakjelasan tata batas kawasan hutan yang menjadi dasar hukum tindakan Satgas PKH. 

“Harapan kami sederhana. Karena masalah ini bukan terjadi di era Pak Prabowo, inilah kesempatan emas bagi beliau untuk menertibkan tata kelola sawit agar sesuai aturan hukum. Kalau Kementerian Kehutanan tertib, hukum bisa ditegakkan, rakyat tenang, dan negara diuntungkan,” ujar Abdul Aziz dalam keterangannya, Rabu (29/10/2025).

Aziz menjelaskan, setelah Perpres No 5/2025 diterbitkan, pemerintah membentuk Satgas PKH yang mulai melakukan penyitaan terhadap lahan-lahan perkebunan sawit. 

Awalnya yang disasar adalah perusahaan besar, namun kini merembet hingga lahan masyarakat seluas 10 hektar ke atas. Satgas PKH telah menyita 3,4 juta hektar lahan sawit yang dinilai masuk kawasan hutan. 

“Begitu plang bertuliskan ‘lahan dalam penguasaan negara’ dipasang, petani langsung dipanggil Satgas, diperiksa, bahkan disodorkan surat penyerahan lahan. Suratnya undangan klarifikasi, tapi gayanya seperti pemeriksaan,” jelasnya.

Diketahui, Samade merupakan asosiasi yang beranggotakan 15.000 petani sawit di 10 provinsi di Indonesia. 

Menurutnya, tindakan tersebut tidak hanya menimbulkan keresahan, tetapi juga berdampak serius terhadap produktivitas dan ekonomi petani

Tak hanya itu, banyak petani menghentikan perawatan dan pemupukan kebun karena takut usahanya disita. 

“Di Riau misalnya, keresahan sudah tinggi. Petani berhenti merawat kebun, dan banyak yang kesulitan membayar cicilan ke bank. Dampaknya luar biasa, bukan hanya di Riau tapi juga di Jambi, Sumut, dan Kalteng,” ungkap Aziz.

Selain Perpres 5/2025, Aziz juga menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025 yang disebutnya lebih mengerikan karena mengatur sanksi denda dan penyitaan sekaligus.

“Substansi PP 45 ini tetap sama: berbasis pada klaim kawasan hutan yang belum jelas status hukumnya. Kalau kawasan hutannya tidak dikukuhkan, dasar hukum PP itu lemah. Jadi, kami tidak terlalu tertarik membahas PP 45 karena dasarnya saja sudah tidak jelas,” tegasnya.

Aziz mengaku sudah menyalurkan aspirasi petani sawit melalui berbagai jalur konstitusional.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved