Senin, 24 November 2025

Kerbau di Indonesia Disebut Sudah “SOS”, Dikhawatirkan Punah Tahun 2031

Populasi kerbau Indonesia turun drastis dari 2,4 juta ke 1,37 juta ekor. Jika tren berlanjut, kerbau terancam punah pada 2031.

Penulis: willy Widianto
HO/IST
POPULASI KERBAU - Mantan Ketua Umum HKTI Siswono Yudo Husodo berbicara dalam diskusi tentang peternakan kerbau di Serang, Banten, Rabu (19/11/2025). Ia menyoroti populasi kerbau Indonesia yang terus menyusut dan mengancam ketahanan plasma nutfah nasional. 

Ringkasan Berita:
  • Populasi kerbau Indonesia anjlok drastis, dari jutaan ekor kini tinggal separuhnya.
  • Siswono Yudo Husodo sebut kondisi sudah “SOS”, ancam punah sebelum 2031.
  • Peternak terjebak sistem cut and carry, kalah bersaing dengan daging impor.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Populasi kerbau di Indonesia terus menyusut, dari sekitar 2,4 juta ekor pada tahun 2000 menjadi hanya 1,37 juta ekor pada 2022.

Mantan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo menyebut kondisi ini sudah “SOS” — istilah internasional Save Our Souls yang menandai situasi darurat — dan memperingatkan, jika tren tidak dihentikan, kerbau Indonesia bisa punah pada 2031.

Menurut Siswono, masalah utama bukan pada alam atau pakan, melainkan rendahnya minat peternak melakukan breeding, yakni proses pengembangbiakan atau perbibitan ternak secara terencana untuk menjaga populasi.

“Minat peternak melakukan breeding rendah. Populasi turun terus, dampaknya impor makin besar,” ujarnya dalam diskusi di Serang, Banten, belum lama ini.

Ia menambahkan, mayoritas peternak masih menggunakan sistem cut and carry (pakan dipotong lalu dibawa ke kandang) yang sulit bersaing dengan produksi murah dan berkualitas.

“Mayoritas peternak kita masih cut and carry. Sulit bersaing. Yang menang adalah yang bisa produksi murah dan berkualitas. Sistem paling efisien itu ranch. Dan kerbau? Ini sudah kondisi SOS. Kalau tidak ada langkah tegas, lima tahun lagi kerbau Indonesia bisa punah,” paparnya.

Siswono mencontohkan penerapan sistem ranch yang ia kembangkan di Ranch Bukit Waru Wangi, Serang, Banten. Ranch adalah sistem peternakan berbasis padang rumput terbuka, di mana ternak digembalakan langsung di lahan luas. Model ini dipandang lebih efisien dalam penggunaan pakan dan pengelolaan ternak dibanding sistem tradisional cut and carry, sehingga menjadi salah satu alternatif perbibitan masa depan.

Peringatan ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan tren penurunan populasi kerbau dari 2,4 juta ekor pada tahun 2000 menjadi 1,37 juta ekor pada 2022.

Menanggapi hal itu, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Kementerian Pertanian, Harry Suhada, menegaskan hulu peternakan harus jadi fokus utama.

“Breeding itu fondasi. Tidak bisa digantikan. Kalau hulu lemah, populasi tidak akan pernah naik,” katanya.

Ia menyebut pemerintah sedang menyiapkan skema insentif lebih kuat untuk memperbaiki sektor perbibitan nasional.

Baca juga: Sosok 3 Peneliti Indonesia Temukan Rafflesia Hasseltii, Namanya Tak Disebut University of Oxford

Data BPS 2022 juga menunjukkan konsumsi protein hewani Indonesia hanya 10,5 kilogram per kapita per tahun, jauh di bawah standar 15 kilogram. Rinciannya, konsumsi daging sapi hanya 2,2 kilogram per kapita dan ayam 8,3 kilogram per kapita. Angka ini tertinggal dibanding Malaysia, yang mencatat konsumsi sapi 5,72 kilogram per kapita dan ayam 50,48 kilogram per kapita.

Kerbau sebenarnya dikenal efisien dalam mengubah pakan kasar menjadi daging berkualitas tinggi. Daging kerbau memiliki kandungan protein lebih tinggi, lemak lebih rendah, dan kolesterol lebih rendah dibandingkan sapi. Namun, populasinya terus menurun.

Suara peternak juga menegaskan dilema yang mereka hadapi. Mengutip laporan Serambinews.com, peternak rakyat mengetahui permintaan pasar sangat tinggi, tetapi tetap kesulitan menembus pasar karena kalah bersaing dengan daging impor. Kondisi ini membuat usaha peternak lokal semakin berat, meski peluang bisnis sebenarnya besar.

Pada 1970-an, Indonesia bahkan pernah mengekspor sapi ke Hong Kong dan negara tetangga, karena saat itu populasi ternak kuat dan hulu tertata dengan baik. Namun sejak 1980-an, impor sapi dari Australia mulai masuk dengan harga lebih murah, membuat Indonesia beralih dari eksportir menjadi importir. Kini sekitar 30 persen kebutuhan daging disuplai dari Australia dan India.

Para tokoh pertanian sepakat, jika breeding tidak segera diperkuat, Indonesia bukan hanya akan terus bergantung pada impor, tetapi juga bisa kehilangan kerbau sebagai plasma nutfah bangsa.

 

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved