UU KIP Wajibkan TNI Beberkan Surat DKP ABRI soal Prabowo
Anggota Komisi Informasi Pusat (KIP) Rumadi Ahmad mengatakan Mabes TNI harus menghormati kebebasan publik untuk mendapatkan informasi.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi Informasi Pusat (KIP) Rumadi Ahmad mengatakan Mabes TNI harus menghormati kebebasan publik untuk mendapatkan informasi. Oleh karena itu, Mabes TNI harus membuka dokumen pemecatan Prabowo Subianto dari ABRI ke publik.
"TNI tidak boleh tertutup dengan permohonan informasi," ujar Rumadi kepada wartawan di Jakarta, Rabu (11/6/2014).
Hal itu dinyatakannya untuk menanggapi adanya sejumlah pegiat dan keluarga korban penculikan aktivis 1997-1998 yang telah meminta secara resmi kepada Mabes TNI agar dokumen pemecatan Prabowo dibuka ke publik.
Namun sayang, Panglima TNI Jenderal Moeldoko belum juga membuka dokumen pemecatan Prabowo yang dikeluarkan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) tahun 1998. Padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menegaskan bahwa dokumen pemecatan Prabowo bukan rahasia, sehingga bisa dibuka ke publik.
Rumadi mengatakan, Jenderal Moeldoko seharusnya membuka dokumen pemecatan Prabowo ke publik. Apalagi fotokopi dokumen sudah tersebar di masyarakat. Menurutnya, Moeldoko tidak bisa juga selalu bersikeras menolak untuk membuka dokumen pemecatan Prabowo.
Menurut Rumadi, Jenderal Moeldoko dan Mabes TNI harus tunduk terhadap Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik (KIP) terutama Pasal 17. Dengan aturan itu, Mabes TNI tidak boleh mengecualikan secara sepihak dokumen pemecatan Prabowo sebagai informasi yang tidak boleh dibuka ke publik.
"Dalam Pasal 17 UU KIP memang dikenal informasi yang dikecualikan dan itu hak Badan Publik dalam hal ini TNI untuk mengklaim itu. Tapi hal itu tidak bisa hanya dengan klaim. TNI harus melakukan uji konsekuensi, kenapa informasi itu dikecualikan," ujar Rumadi.
Menurutnya, Mabes TNI harus juga menaati instruksi Presiden Yudhoyono sebagai panglima tertinggi TNI yang menyatakan bahwa dokumen pemecatan Prabowo bukan rahasia.
"Tidak ada pilihan lain, Panglima TNI harus menjelaskan dokumen itu," ujarnya.
Tidak hanya itu, Rumadi mengatakan, keterbukaan informasi dari Mabes TNI terkait dokumen pemecatan Prabowo dari ABRI perlu dibuktikan. Sebab, fotokopi dokumen sudah tersebar di masyarakat, dan bila tidak segera ditanggapi, akan menimbulkan kesimpangsiuran.
Rumadi mengingatkan Mabes TNI untuk segera merespons permintaan masyarakat agar dokumen pemecatan Prabowo dibuka. Bila tidak dilakukan, Mabes TNI bisa diperkarakan karena telah menutup informasi publik yang sudah diminta oleh masyarakat.
"Dalam UU Keterbukaan informasi diatur, surat permohonan harus dijawab 10 hari kerja. Kalau tidak pemohon bisa mengajukan keberatan. Sampai kemudian diajukan sengketa ke Komisi Informasi," kata Rumadi.
Sebelumnya, Direktur Program Imparsial Al Araf menegaskan, dokumen pemecatan Prabowo bukan termasuk rahasia negara, sehingga publik harus mengetahuinya. Al Araf juga menekankan, dokumen pemecatan Prabowo bukan rahasia negara sehingga harus dibuka atau diperlihatkan kepada masyarakat karena tidak mengancam keselamatan bangsa, mengganggu stabilitas nasional, apalagi mengganggu keamanan nasional.
Diketahui, sudah beredar kopian surat rekomendasi pemberhentian Letnan Jenderal Prabowo Subianto dari ABRI, berkop Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Dewan Kehormatan Perwira, bernomor KEP/03/VIII/1998/DKP. Surat ditetapkan tanggal 21 Agustus 1998.
Dalam surat itu disebutkan bahwa DKP sudah memeriksa Letjen Prabowo, dan menemukan bahwa yang bersangkutan secara sengaja melakukan kesalahan dalam analisa tugas terhadap ST Kasad nomor STR/41/1997 tanggal 4 Februari 1997 dan STR/92/1997 tanggal 11 Maret 1997 walaupun mengetahui bahwa Kasad sebagai Pembina tidak berwenangan untuk pemberian tugas tersebut.