Rabu, 10 September 2025

Belajar di Bawah Tekanan: Ketika Stres Mengintai Siswa dan Solusi Sederhana yang Sering Diabaikan

Memahami bahwa stres belajar bukan sekadar masalah malas atau kurang disiplin adalah langkah awal yang sangat penting.  Ini tips mengatasinya dari GO.

Editor: Sri Juliati
ISTIMEWA/GANESHA OPERATIONS
BELAJAR DI BAWAH TEKANAN - Memahami bahwa stres belajar bukan sekadar masalah malas atau kurang disiplin adalah langkah awal yang sangat penting. Simak tips mengatasi belajar di bawah tekanan dari Ganesha Operation (GO). 

oleh: Agus Saputro
Pengajar Biologi Ganesha Operation

TRIBUNNEWS.COM - Hampir setiap pagi, ratusan ribu siswa di Indonesia memulai harinya dengan jadwal belajar yang padat, tugas sekolah yang menumpuk, serta berbagai ujian yang semakin mendekat. 

Tuntutan prestasi kian tinggi, sementara waktu untuk diri sendiri semakin sempit. 

Tak sedikit dari mereka yang akhirnya mengalami stres belajar, bahkan sejak usia belia. 

Fenomena ini bukan sekadar keluhan biasa, sebab dalam ilmu biologi, stres yang berkepanjangan dapat memengaruhi kesehatan otak dan tubuh secara signifikan.

Ketika seseorang mengalami stres, tubuh secara otomatis memberikan respons melalui suatu sistem biologi yang dikenal sebagai respons stres, salah satunya dengan melepaskan hormon kortisol

Hormon ini diproduksi oleh kelenjar adrenal atau kelenjar anak ginjal sebagai bagian dari mekanisme pertahanan alami tubuh. 

Dalam jumlah yang tepat dan pada situasi yang sesuai—misalnya saat harus waspada dalam menghadapi ujian atau menyelesaikan tugas penting—kortisol menjadi sangat bermanfaat. 

Hormon ini meningkatkan fokus, mempercepat respons tubuh, dan membantu kita tetap terjaga serta siap menghadapi tantangan.

Namun, masalah muncul ketika stres berlangsung terus-menerus, seperti tekanan belajar yang tak kunjung reda. 

Pada kondisi ini, kortisol berubah dari bermanfaat menjadi berbahaya. 

Baca juga: Menciptakan Pembelajaran yang Menarik dan Efektif di Era Digital

Produksi kortisol yang berkepanjangan membuat tubuh berada dalam kondisi siaga tinggi secara terus-menerus, yang pada akhirnya sangat menguras energi. 

Konsentrasi yang semula tajam mulai mengabur, kemampuan mengingat pelajaran melemah, dan bahkan sistem kekebalan tubuh perlahan menurun. 

Tubuh yang seharusnya memperbaiki dirinya saat istirahat justru terus bekerja, membuat siswa lebih rentan terhadap penyakit, kelelahan kronis, dan gangguan tidur.

Dampaknya tidak hanya terlihat dari sisi fisik. Banyak siswa yang awalnya penuh semangat dan berprestasi mulai mengalami penurunan motivasi. 

Mereka menjadi mudah tersinggung, menarik diri dari lingkungan sosial, dan kehilangan gairah belajar. 

Sering kali, mereka disalahpahami sebagai pemalas atau tidak berkomitmen. Padahal kenyataannya mereka sedang mengalami kelelahan fisik maupun mental.

Selain kortisol, hormon lain yang juga berperan dalam situasi stres adalah adrenalin dan norepinefrin. 

Kedua hormon ini dilepaskan pada tahap awal stres untuk memberikan dorongan energi cepat dengan meningkatkan denyut jantung, aliran darah ke otot, dan pelebaran saluran napas. 

Namun, seperti kortisol, produksi berlebihan dan berkepanjangan dari hormon-hormon ini dapat menyebabkan jantung bekerja terlalu keras, pernapasan menjadi pendek, dan perasaan cemas yang berlebihan.

Dalam jangka panjang, ketidakseimbangan hormon ini dapat mengganggu berbagai sistem tubuh, termasuk sistem pencernaan, sirkulasi, dan saraf. 

Kondisi ini disebut sebagai stres kronis, yang jika tidak ditangani dengan baik dapat berujung pada gangguan kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, dan student burnout.

Memahami bahwa stres belajar bukan sekadar masalah malas atau kurang disiplin adalah langkah awal yang sangat penting. 

Tubuh dan pikiran siswa memerlukan waktu untuk pulih, bernapas, dan merasa aman dari tekanan. 

Memberikan waktu istirahat, membangun lingkungan belajar yang sehat, serta membuka ruang diskusi tentang kesehatan mental merupakan kebutuhan dasar demi menjaga keseimbangan hormon dan kehidupan itu sendiri.

Baca juga: Belajar Semangat Riset Indonesia lewat Momen Terbangnya Sang Gatotkaca

Salah satu strategi yang terbukti secara ilmiah mampu membantu meringankan stres adalah metode break atau jeda belajar. 

Otak manusia, layaknya otot, memiliki batas kemampuan fokus. Saat digunakan terus-menerus tanpa istirahat, performanya akan menurun drastis. 

Karena itu, memberikan jeda selama 5–10 menit setelah belajar 25–50 menit terbukti mampu menyegarkan kembali otak, memperbaiki fungsi memori, dan meningkatkan daya serap materi. 

Aktivitas gelombang otak menjadi lebih stabil, tubuh dapat rileks sejenak, dan ketika kembali belajar, hasilnya pun lebih optimal.

Berbagai teknik relaksasi dan break seperti deep breathing, relaksasi otot, meditasi sederhana, hingga penggunaan video relaksasi terbukti efektif untuk menurunkan tingkat stres belajar siswa di berbagai jenjang pendidikan. 

Teknik-teknik ini membantu menenangkan pikiran dan tubuh secara menyeluruh, mengurangi gejala fisik stres seperti tegang otot dan kelelahan, meningkatkan konsentrasi, serta membantu siswa lebih siap menghadapi tekanan akademik seperti ujian.

Efektivitas teknik relaksasi tersebut dibuktikan oleh beberapa penelitian, antara lain:

  • Skor stres siswa menurun drastis dari 87,5 menjadi 47,5 setelah dua siklus penerapan relaksasi (Sari, 2020).
  • Deep breathing terbukti secara signifikan menurunkan stres ujian dan meningkatkan aliran oksigen ke otak (Nadila, 2023).
  • Penggunaan video relaksasi di SMP berhasil mengurangi stres belajar siswa secara signifikan (Agussalim, 2019).

Break yang berkualitas bukan sekadar waktu istirahat pasif, melainkan dapat berupa kegiatan relaksasi aktif seperti latihan pernapasan atau tontonan relaksatif. 

Untuk itu, guru dan sekolah perlu menyediakan waktu serta media relaksasi sebagai bagian dari strategi pembelajaran yang sehat dan berkelanjutan. 

Intervensi sederhana seperti video atau sesi napas dalam dapat dilakukan di kelas sebelum ujian atau setelah belajar intensif.

Sayangnya, tidak semua siswa mengetahui cara mengatur waktu belajar dan jeda secara efektif. Di sinilah peran bimbingan belajar menjadi sangat penting. 

Bimbel bukan hanya tempat untuk menambah materi pelajaran, tetapi juga wadah pembentukan pola belajar yang sehat dan efisien. 

Dalam sistem bimbingan yang baik, siswa dibimbing untuk tidak hanya mengejar nilai, tetapi juga menjaga keseimbangan mental, ritme belajar, serta strategi menghadapi ujian dengan lebih tenang dan terarah.

Salah satu lembaga yang konsisten membangun ekosistem belajar yang sehat adalah Ganesha Operation

Dikenal luas sebagai bimbingan belajar terbesar dan terpercaya di Indonesia, Ganesha Operation tidak hanya fokus pada pencapaian akademik, tetapi juga pada kesiapan mental dan pengembangan karakter siswa. 

Di GO, setiap anak diperlakukan secara personal dengan pendekatan belajar yang disesuaikan dengan gaya belajar dan kemampuan masing-masing. 

Tidak ada tekanan yang memaksa; yang ada adalah strategi, arahan, dan dukungan yang menyeluruh.

Salah satu siswa Ganesha Operation, Lexa (kelas 12 SMAN 4 Malang), mengaku metode belajar di GO sangat membantunya keluar dari tekanan. 

"Sebelumnya saya sering merasa kebingungan saat belajar sendiri, apalagi menjelang UH. Tapi di GO, saya belajar pakai sistem jeda dan diajari cara mengatur waktu. Sekarang belajar jadi lebih ringan dan hasil try out juga meningkat.”

Dengan sistem belajar terstruktur, tenaga pengajar profesional, serta suasana belajar yang nyaman, siswa tidak hanya lebih siap menghadapi ujian, tetapi juga lebih percaya diri. 

Di balik metode belajar yang dirancang matang, Ganesha Operation juga membangun kesadaran akan pentingnya istirahat dan manajemen waktu yang seimbang. 

Hal-hal sederhana seperti metode break pun diajarkan dan dibiasakan agar belajar bukan lagi menjadi beban, melainkan proses yang dapat dinikmati.

Kesimpulan

Stres belajar pada siswa merupakan masalah serius yang melibatkan mekanisme biologis tubuh, terutama produksi hormon seperti kortisol, adrenalin, dan norepinefrin. 

Dalam kondisi wajar, hormon-hormon ini membantu meningkatkan fokus dan kewaspadaan, namun produksi berlebihan akibat tekanan belajar yang berkepanjangan dapat memicu stres kronis. 

Dampaknya mencakup gangguan fisik seperti kelelahan, penurunan daya tahan tubuh, dan gangguan tidur, serta gangguan mental seperti menurunnya motivasi, mudah tersinggung, dan menarik diri dari lingkungan sosial.

Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan strategi belajar yang sehat, salah satunya melalui metode break atau jeda belajar, yang dibuktikan efektif meningkatkan kinerja otak dan mengurangi stres. 

Teknik relaksasi seperti deep breathing dan meditasi sederhana juga dapat membantu menjaga keseimbangan mental siswa. 

Lembaga seperti Ganesha Operation telah membuktikan bahwa pendekatan personal, manajemen waktu yang baik, dan dukungan menyeluruh dapat membuat proses belajar menjadi lebih menyenangkan, seimbang, dan berdampak positif pada kesiapan akademik maupun kesehatan mental siswa. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan