Selasa, 28 Oktober 2025

Semangat Guru Diana, Nyalakan Asa Siswa di Pedalaman Papua, Kolaborasi Jadi Kunci

Di tengah keterbatasan di Kampung Atti, Kabupaten Mappi, Papua Selatan, guru Diana Cristiana Da Costa Ati menyalakan harapan lewat pendidikan.

|
ISTIMEWA/DIANA CRISTIANA DA COSTA ATI
SEMANGAT GURU DIANA - Diana Cristiana Da Costa Ati saat mengajar di SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Diana adalah salah satu guru kontrak dalam program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) sekaligus penerima apresiasi 14th Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2023 dari PT Astra International Tbk. 

Di tengah keterbatasan di Kampung Atti, Diana Cristiana Da Costa Ati menyalakan harapan lewat pendidikan. Bersama masyarakat, pemerintah, dan berbagai pihak, ia membuktikan bahwa kolaborasi bisa menembus batas pedalaman.

TRIBUNNEWS.COM - Di sebuah ruang kelas yang cukup lapang — hanya ada beberapa meja dan satu kursi — seorang bocah bernama Rino Pasim berdiri, dikelilingi teman-temannya. Dari jendela dan pintu yang setengah terbuka, sejumlah orang tua tampak mengintip ke dalam, penasaran dengan apa yang terjadi.

Siang itu, Rino yang mengenakan kaus jersey hijau, celana pendek bermotif, dan tanpa alas kaki, bukan sedang dihukum. Ia hanya diminta membaca beberapa kata yang tertulis di papan tulis.

"Tanah... air... ku... tidak... kulupakan, kan ter... terkenang... selama... hidupku," ucap Rino. Setelah menarik napas sebentar, Rino kembali membaca. "Biarpun... saya... pergi... jauh, tidak... kan hi... hilang dari kalbu. Tanah... ku... yang... ku cintai, engkau... ku... hargai," lanjut Rino.

Suara tepuk tangan lantas bersahutan sebagai apresiasi kepada Rino. Meski terbata-bata, siswa SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan ini berhasil melafalkan kata demi kata yang merupakan penggalan lirik lagu Tanah Airku, ciptaan Ibu Sud dengan penuh kesungguhan.

Selain Rino, beberapa anak lainnya seperti Ceman Amkai, Yusuf Amkai, Jeklina Amkai, Viktor Pasim, dan Martinus Surume juga diminta melakukan hal serupa. Beberapa kali, seorang guru bernama Diana Cristiana Da Costa Ati membantu Ceman dkk mengeja. Namun lebih sering, mereka membaca sendiri.

lihat fotoMEMBACA LIRIK LAGU - Tangkap layar momen Rino Pasim, siswa SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan saat membaca lirik lagu Tanah Airku di kelasnya.
MEMBACA LIRIK LAGU - Tangkap layar momen Rino Pasim, siswa SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan saat membaca lirik lagu Tanah Airku di kelasnya. (YouTube.com/Guru Penggerak Pedalaman Papua)

Tes membaca itu bukanlah tanpa alasan. Diana sengaja melakukannya ketika para orang tua bergotong royong, memperbaiki bangunan sekolah. 

Melalui momen sederhana itu, Diana ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa inilah hasil nyata dari pendidikan. Dengan bersekolah, anak-anak di Kampung Atti kini mahir membaca, juga menulis dan berhitung.

"Saya kumpulkan orang tua yang lagi kerja merehab sekolah. Saya minta anak-anak untuk membaca satu per satu. 'Bacalah, biar orang tua kalian lihat,'" kata Diana saat ditemui Tribunnews.com, Jumat (3/10/2025).

Tak disangka, langkah kecil yang dilakukan Diana membuat mata ayah Rino, Willem Pasim berkaca-kaca. Usai kegiatan sekolah, pria yang juga anggota Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) Atti itu menghampiri Diana.

Ia menggenggam erat tangan sang guru sembari berkata, "Sa pu anak su baca (saya punya anak sudah bisa baca), Bu Guru e… terima kasih." Mendengar ucapan tersebut, giliran Diana yang tak kuasa menahan haru.

Baca juga: Kembali Dilantik Jadi Bupati Mappi, Kristosimus Yohanis Fokus Percepatan Pembangunan

Kemampuan Calistung yang Rendah

SEMANGAT GURU DIANA - Diana Cristiana Da Costa Ati, guru kontrak di Kabupaten Mappi, Papua Selatan bersama siswanya di SDN Atti, Distrik Minyamur.
SEMANGAT GURU DIANA - Diana Cristiana Da Costa Ati, guru kontrak di Kabupaten Mappi, Papua Selatan bersama siswanya di SDN Atti, Distrik Minyamur. (ISTIMEWA/DIANA CRISTIANA DA COSTA ATI)

Kisah kecil di ruang kelas itu hanyalah satu dari banyaknya perubahan semenjak kedatangan perempuan asal Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu ke Kampung Atti pada tahun 2021.

Sebelum ia dan dua guru asal NTT lainnya, yakni Fransiska Bere dan Oktofianus Halla datang, kegiatan belajar mengajar di kampung ini sering terhenti berbulan-bulan.

SDN Atti, satu-satunya sekolah di kampung tersebut, hanya dibuka saat ujian tiba. Di luar waktu itu, pintunya tertutup. Tak ada suara anak-anak mengeja huruf, membaca cerita, atau menghitung angka. 

Kondisi ini rupanya tak hanya terjadi di Kampung Atti, tetapi juga di sejumlah daerah terpencil di Mappi. Bahkan, bukan sesuatu aneh apabila siswa kelas 5 dan kelas 6 SD belum lancar membaca, menulis, dan berhitung.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mappi, Maria Goreti Letsoin mengungkapkan, salah satu alasan kemampuan calistung anak-anak di Mappi sangat rendah adalah ketiadaan guru.

"Guru-gurunya secara administrasi ada, tetapi mereka tidak berada di tempat (sekolah), sehingga proses belajar mengajar tidak berjalan seperti yang idealnya kita lakukan," tutur Maria.

Hal senada juga disampaikan Bupati Mappi periode 2017–2022 dan 2025–2030, Kristosimus Yohanes Agawemu. Menurutnya, proses pendidikan di sebagian besar sekolah dasar di Kota Sejuta Rawa tidak berjalan dengan baik.

"Infrastruktur gedungnya tidak memadai, para guru pun tidak aktif, sehingga masa depan anak-anak terancam dalam hal buta huruf dan seterusnya. Kebutuhan terhadap fasilitas perumahan guru juga tidak memadai," ungkap Kristosimus.

lihat fotoPETA KABUPATEN MAPPI - Peta Kabupaten Mappi, Papua Selatan yang diambil dari akun Instagram Gugus Tugas Papua UGM, Minggu (26/10/2025).
PETA KABUPATEN MAPPI - Peta Kabupaten Mappi yang saat itu masih masuk Provinsi Papua tahun 2019, diambil dari akun Instagram Gugus Tugas Papua UGM, Minggu (26/10/2025). 

Kristosimus lantas menginisiasi program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) pada tahun 2017. Bekerjasama dengan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM), mereka menyeleksi para lulusan sarjana dari berbagai daerah di Indonesia untuk mengabdi sebagai guru kontrak di Mappi.

Mereka ditempatkan ke kampung-kampung terpencil, termasuk Kampung Atti. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 160/P/2021 tentang Daerah Khusus Berdasarkan Kondisi Geografis, Kampung Atti termasuk ke dalam daerah khusus atau daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal).

Nah, satu dari ratusan anak muda yang lolos seleksi program GPDT adalah Diana. Maka pada 3 Oktober 2018, lulusan jurusan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Nusa Cendana Kupang itu tiba di Bumi Cendrawasih. 

"Dari dulu, saya selalu tertarik dengan Papua dan program guru mengajar di tempat terpencil. Ketika tahu informasi ada GPDT, tanpa pikir panjang, saya langsung mendaftar," ucap Diana saat ditanyai alasannya.

Kala itu, penempatan pertamanya bukan di Kampung Atti, melainkan Kampung Kaibusene, Distrik Haju yang berbatasan dengan Kabupaten Asmat. Pada tahun 2021, Diana menandatangani kontrak baru dan berpindah tugas ke Kampung Atti.

Selama pengabdiannya, Diana mendapatkan gaji sebesar Rp 4 juta per bulan. Namun nilai tersebut harus dipotong pajak pendapatan 5 persen.

"Saat itu, Bapak Bupati bilang, 'sebenarnya sebagai kepala daerah, saya malu menggaji kalian dengan nominal sekian. Tapi karena ini misi kemanusiaan, mari kita bergerak bersama-sama,'" kata Diana menirukan ucapan Kristosimus.

Kampung Terpencil

lihat fotoSEMANGAT MENGAJAR - Tangkap layar momen Diana Cristiana Da Costa Ati, guru kontrak di Kabupaten Mappi, Papua Selatan melewati jembatan yang rusak di Kampung Atti.
SEMANGAT MENGAJAR - Tangkap layar momen Diana Cristiana Da Costa Ati dan rekannya yang merupakan guru kontrak di Kabupaten Mappi, Papua Selatan melewati jembatan yang rusak. (YouTube.com/Guru Penggerak Pedalaman Papua)

Diana berkisah, Kampung Atti dikelilingi hutan lebat dan rawa-rawa luas. Perjalanan menuju ke sana dari Kepi, Ibu Kota Kabupaten Mappi memakan waktu berjam-jam, menembus jalur air dan daratan.

"Lama perjalanan pun sangat bergantung pada musim. Saat musim kemarau, waktu tempuh menjadi jauh lebih panjang dibanding musim hujan," jelas Diana yang saat ini sedang menempuh pendidikan Magister Manajemen dan Kebijakan Publik di UGM.

Dari Kepi, perjalanan dimulai dengan melintasi jalan beraspal, menggunakan ojek atau mobil travel selama 30 menit menuju Pelabuhan Agham. Perjalanan dilanjutkan menggunakan perahu ketinting, menyusuri Sungai Mappi menuju Kampung Khaumi selama tiga hingga empat jam.

Jalur ini hanya bisa dilalui saat musim hujan. Ketika sungai meluap, airnya justru menjadi jalan bagi perahu untuk melintas. Setiba di Kampung Khaumi, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 1,5 jam, melewati rawa-rawa dengan air setinggi lutut dan jembatan rusak menuju Kampung Atti.

Sesampainya di Kampung Atti, Diana masih harus berjalan lagi sekitar 300-400 meter menuju mes yang masih satu lokasi dengan SDN Atti. Di mes inilah, Diana dan dua rekan guru lainnya tinggal.

lihat fotoMENGAJAR DI PEDALAMAN - Suasana SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Tampak ada bangunan mes yang menjadi tempat tinggal para guru program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT).
MENGAJAR DI PEDALAMAN - Suasana SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Tampak ada bangunan mes yang menjadi tempat tinggal para guru program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT). (YouTube.com/Guru Penggerak Pedalaman Papua)

Sementara saat musim kemarau, Diana dkk akan menaiki perahu ketinting terlebih dahulu dari Kampung Ima ke Kampung Koba selama kurang lebih satu jam. Dari Kampung Koba, tidak ada moda transportasi yang dapat digunakan, sehingga harus berjalan kaki selama hampir 3 jam menuju Kampung Atti.

Untuk penerangan, warga Kampung Atti sebelumnya mengandalkan mesin diesel. Sayangnya, mesin itu tidak menyala setiap hari karena pasokan solar bergantung pada ketersediaan dana dan inisiatif kepala kampung atau warga yang membeli bahan bakar tersebut.

Kini, kebutuhan penerangan warga juga ditopang oleh panel surya. Empat unit panel telah dipasang: dua untuk kampung, satu untuk sekolah, dan satu lagi di mes guru. 

Begitu pula dengan jaringan internet yang mulai masuk pada tahun 2023, ditandai dengan pembangunan sebuah menara BTS di dekat sekolah. Meski begitu, sinyal masih sering hilang timbul.

Perubahan Dimulai

Saat ini, Kampung Atti dihuni oleh sekitar 500 hingga 700 jiwa yang tersebar dalam 80-an Kepala Keluarga (KK). Sebagian besar laki-laki menggantungkan hidup dari hasil mencari gaharu atau berburu di hutan, sedangkan kaum perempuan memangkur sagu.

Sering kali, anak-anak mereka ikut masuk keluar hutan, membantu orang tua. Kebiasaan ini membuat tingkat partisipasi untuk bersekolah di Kampung Atti cukup rendah, selain karena alasan terbatasnya sarana pengajar.

"Datanya kocar-kacir. Secara administrasi, jumlahnya 80an murid, tapi di lapangan, bisa kurang dari jumlah itu. Secara usia, mayoritas dari mereka seharusnya sudah SMP atau SMA," sebut Diana seraya melanjutkan, data tersebut baru bisa tertata rapi pada tahun 2023.

Ia juga mengakui, dukungan dari orang tua agar anak-anak bersekolah masih sangat minim. Pendidikan dasar di rumah hampir tidak pernah diberikan. Hal ini tak lepas dari keyakinan yang hidup di tengah masyarakat. Bahwa tanpa bersekolah pun, mereka tetap bisa makan karena alam telah menyediakan segalanya.

"Di hutan ada sagu yang melimpah, ikan tinggal mancing di sungai, mau makan daging hewan, tinggal berburu. Mereka potong logika berpikir tentang pendidikan, bahwa akhir dari proses pendidikan untuk makan," ungkapnya.

lihat fotoSUASANA KAMPUNG ATTI - Tangkap layar suasana Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 160/P/2021 tentang Daerah Khusus Berdasarkan Kondisi Geografis, Kampung Atti termasuk ke dalam daerah khusus atau daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal).
SUASANA KAMPUNG ATTI - Tangkap layar suasana Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 160/P/2021 tentang Daerah Khusus Berdasarkan Kondisi Geografis, Kampung Atti termasuk ke dalam daerah khusus atau daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). (YouTube.com/Guru Penggerak Pedalaman Papua)

Setelah mengetahui sejumlah masalah yang terjadi, Diana dkk melakukan sejumlah perubahan. Kegiatan belajar mengajar yang telah lama mati suri, dihidupkannya lagi.

Mereka membuka sekolah yang terdiri dari tiga ruang kelas itu setiap hari mulai pukul 08.00 hingga 12.00 waktu setempat. Siapapun siswa yang datang sekolah akan diterima, tanpa mengutip bayaran sepeser pun.

Diana berinisiatif meningkatkan kemampuan membaca dan menulis serta berhitung siswa melalui pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika agar bisa mengejar ketertinggalan. 

"Meskipun sudah kelas 5 dan 6, nyatanya sebagian besar dari mereka belum lancar membaca. Bahkan menulis saja, mereka kebolak-balik, dari kanan ke kiri," urai Diana.

Hampir setiap hari, ia melatih siswa membaca, memanggil mereka satu per satu, dan memastikan setiap anak mendapatkan perhatian yang sama. Anak yang sudah mahir membaca akan dijadikan contoh sekaligus motivasi bagi siswa yang belum lancar.

Pembiasaan membaca lirik lagu, baik lagu-lagu nasional maupun lagu daerah turut dilakukan sebelum melatih anak-anak bernyanyi. Tujuannya agar meningkatkan ketepatan dan kecepatan anak-anak dalam membaca.

Diana tak menepis, banyak tantangan yang dihadapi di awal mengabdi. Ada sejumlah masalah sempat membuatnya jengkel dan lelah. Salah satunya ada beberapa murid yang menaikkan kaki ketika Diana tengah mengajar.

lihat fotoSEMANGAT GURU DIANA - Diana Cristiana Da Costa Ati, guru kontrak program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) di Kabupaten Mappi, Papua Selatan bersama siswa SDN Atti, Distrik Minyamur.
SEMANGAT GURU DIANA - Diana Cristiana Da Costa Ati serta Oktofianus Halla, dua guru kontrak program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) di Kabupaten Mappi, Papua Selatan bersama anak-anak Kampung Atti, Distrik Minyamur.

"Terkadang memang menjengkelkan, tapi ya harap maklum sajalah. Saat mengajar pun rasanya capek banget, karena mereka nggak paham-paham. Rasanya kayak ngajar sama dinding," jelas perempuan kelahiran 12 Februari 1996 itu.

Meski demikian, semangat para siswa dalam menimba ilmu patut diacungi jempol. Di tengah keterbatasan sarana prasarana, mereka tetap rajin ke sekolah, belajar sembari duduk di lantai, tanpa meja maupun kursi.

Ucapan dari Bupati Kristosimus saat melepas Diana dkk sebagai pengajar di kampung terpencil juga menjadi penguatnya. Orang nomor satu di Mappi itu pernah mengatakan, "barang siapa bekerja tulus di tanah Papua, hidupnya akan diberkati, karena ini adalah tanah yang dijanjikan Tuhan."

"Melayani Papua memang harus pakai hati. Tapi sekalinya ke sana, bakal kecanduan," ujar Diana.

Dalam mengajar siswa SDN Atti, Diana menerapkan kurikulum pendidikan yang kontekstual, menyesuaikan dengan budaya dan kebiasaan para siswa. Saat mengajarkan perbedaan antara herbivora, karnivora, dan omnivora, misalnya, ia menggunakan contoh hewan yang dikenal anak-anak.

"Kami tidak pernah ngajarin materi yang berat karena tidak berlaku di sana. Fokus kami adalah A, B, C, tambah, kurang, perkalian 1x10, pembagian, dan tiap hari harus diulang," ungkapnya.

Mata pelajaran yang lain baru akan diberikan Diana setelah siswanya lancar membaca dan menulis serta menguasai dasar-dasar berhitung. Hal ini sebagai bekal mereka agar layak melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

Upaya Diana juga tak berhenti hanya di ruang kelas. Di luar pelajaran, ia juga berusaha menanamkan kebiasaan sederhana. Hal kecil seperti merawat tubuh pun diajarkan.

"Jangankan cara mandi atau menggunting kuku, bermimpi saja kami ajarkan ke mereka, kok. Ya, karena mereka tidak sibuk dengan keinginan. Dulu, saat ditanya apa cita-citamu, mereka jawab aparat desa. Hampir tidak ada yang menjawab dokter, tentara, guru," ungkap dia.

lihat fotoKEGIATAN BELAJAR MENGAJAR - Suasana kegiatan belajar mengajar di SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Terlihat para siswa belajar dengan duduk di lantai dan tanpa memakai seragam.
KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR - Suasana kegiatan belajar mengajar di SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Terlihat para siswa belajar dengan duduk di lantai dan tanpa memakai seragam.

Selain dengan siswa, Diana juga melakukan pendekatan langsung dengan orang tua. Dari rumah satu ke rumah lain, Diana mengetuk pintu, memberikan edukasi kepada orang tua tentang pentingnya bersekolah.

Ia meminta agar anak-anak tak lagi diajak ke hutan. "Kami bersikeras berkata kepada orangtua, 'cukup mace dan pace saja ke hutan, anak dorang dengan kita belajar, supaya besok-besok mereka bisa beli beras, kasih pace dorang makan,'" kata Diana menirukan ucapannya kala itu.

Tentu, ia tak datang dengan tangan kosong. Anak-anak yang sudah lancar calistung dijadikan contoh agar orang tua semakin percaya dan sadar terhadap pentingnya bersekolah.

Dengan sabar, ia meyakinkan mereka bahwa menyekolahkan anak bukan sekadar soal belajar, tapi tentang memberi kesempatan untuk hidup lebih baik.

"Saya berinteraksi dengan masyarakat, saya bilang 'kalau mau jadi bupati, jadi menteri, jadi presiden, jadi pejabat besar hanya bisa kita lakukan lewat sebuah proses pendidikan pace, mace. Tanpa bersekolah, tidak mungkin bupati yang mencetuskan program ini (GPDT), dia menjadi bupati'. Jadi pendekatan itu yang kami lakukan, dengan sering bersosialisasi sama mereka," jelas Diana.

Memiliki Dampak Besar

lihat fotoSEMANGAT GURU DIANA - Diana Cristiana Da Costa Ati, guru kontrak program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) di Kabupaten Mappi, Papua Selatan mengajar para siswa SDN Atti, Distrik Minyamur.
SEMANGAT GURU DIANA - Diana Cristiana Da Costa Ati, guru kontrak program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) di Kabupaten Mappi, Papua Selatan mengajar para siswa SDN Atti, Distrik Minyamur.

Dengan sejumlah pendekatan yang dilakukan, perubahan mulai tampak pada anak didik Diana. Yang pasti, kemampuan calistung mereka mulai meningkat. Sebagian besar lulusan SDN Kampung Atti kini lancar membaca. Bahkan siswa dari kelas bawah seperti kelas 2 SD, sudah banyak yang bisa membaca.

"Bagi kami, ketika mereka mampu menyebutkan huruf A-Z, rasanya sangat membahagiakan. Apalagi mereka tak sekadar hafal atau membaca, tapi juga memahami isi bacaan," ujar dia. 

Dampak lainnya, jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan ke SMP yang dulu bisa dihitung pakai jari, kini semakin bertambah setiap tahunnya. Meski harus menempuh perjalanan jauh ke kota, tapi semangat menimba ilmu tetap menyala.

Perubahan lain yang terasa adalah meningkatnya minat anak untuk membaca. Kini, mereka tak lagi takut membuka buku, bahkan sering meminta waktu tambahan untuk belajar dengan cara mendatangi tempat tinggal Diana setiap sore.

"Sambil bawa satu ikat kayu untuk kami memasak, mereka bilang, 'Ibu, sa (saya) mau belajar,'" ujarnya. Jika sudah seperti itu, Diana hanya bisa mengangguk dan mempersilakan.

Mereka lantas mengambil buku dan bersama-sama membacanya di dapur sembari menunggu Diana selesai memasak kue sagu campur gula. Kudapan ini akan diberikan sebagai hadiah atas kegigihan mereka.

Pun dengan para orang tua yang mulai percaya pada hasil pendidikan. Bagi mereka, kehadiran Diana memberikan harapan baru di tengah keterbatasan dan minimnya akses pendidikan.

Sebagai balasan, para orang tua kerap memberikan sagu hingga hasil buruan kepada para guru. Setiap hari, ada seorang lansia bernama Nenek Joana yang tak pernah absen membawakan ikan untuk Diana dkk. Baginya, itu cara sederhana untuk berterima kasih kepada guru yang telah membuka jalan bagi anak-anak Kampung Atti agar bisa belajar.

Terkait hal ini, ada satu momen yang sangat membekas di ingatannya. Kala itu, ada seorang wali murid yang memberinya daging ayam beku dengan alasan, Diana sudah lama tak memakan makanan tersebut.

"Dari situ saya berpikir, bahwa orang Papua berbagi bukan hanya saat kelebihan. Saat mereka kekurangan pun, mereka masih berpikir untuk berbagi dengan orang lain," tambahnya.

Saking dekatnya dengan masyarakat, banyak yang tak rela kala Diana dan kedua rekannya berpamitan karena masa tugasnya di Kampung Atti telah selesai pada Oktober 2024. Bahkan ada seorang warga yang menuliskan permintaan agar Diana dkk 'dikembalikan' ke Mappi melalui media sosial.

"Surat terbuka untuk bupati dan dinas pendidik
Tolong kembalikan kami punya guru vian dan guru diana ke kampung ati," tulis akun Delsi Rawa di grup Facebook, Info Kejadian Mappi.

Kolaborasi Banyak Pihak

lihat fotoMAHIR MEMBACA - Satu di antara siswa SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan tengah membaca buku.
MAHIR MEMBACA - Satu di antara siswa SDN Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan tengah membaca buku.

Diana mengungkapkan, keberhasilannya mengabdi dan meningkatkan kemampuan calistung pada anak-anak di Kampung Atti tak lepas dari kolaborasi banyak pihak.

Ada Bupati Kristosimus yang selalu berada di pihak para guru dan menjamin keselamatan mereka. Juga masyarakat Kampung Atti yang kini sepenuhnya menyerahkan tanggung jawab mendidik anak-anak Kampung Atti kepada Diana dkk.

Begitu pula dengan Gugus Tugas Papua UGM yang telah menerjunkan total lebih dari 400-an guru dari 4 angkatan ke Mappi. Para guru mengisi sekolah-sekolah dasar dan menengah pertama yang sudah lama tidak aktif di kampung-kampung. Sebagian di antara mereka saat ini telah menetap dan menjadi guru PNS atau PPPK di sana. 

Sejumlah pihak lain, satu di antaranya PT Astra International Tbk ikut terlibat.

Ya, berkat pengabdiannya yang tak kenal lelah untuk anak-anak di pedalaman Papua Selatan, Diana mendapatkan sejumlah penghargaan. Satu di antaranya datang dari PT Astra International Tbk melalui apresiasi 14th Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2023.

Perempuan kelahiran Dili, Timor Leste itu meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2023 kategori bidang pendidikan. Diana tak pernah menyangka apalagi bermimpi, usaha dan kerja kerasnya di kampung terpencil berbuah penghargaan dan menuai banyak sorotan. 

"Ini pertama kali saya tampil berbicara berhadapan dengan orang-orang hebat dan luar biasa. Saya tidak menyangka, saya berada di panggung semegah ini. Saya dari pedalaman tidak menyangka itu," kata Diana sembari terisak saat acara AstraTalks di Menara Astra, Rabu, 1 November 2023.

"Mohon maaf saya menangis bukan karena lebay, ini ekspresi saya sesungguhnya," lanjut dia.

Tak berhenti hanya pada saat penghargaan, Diana mengaku mendapatkan banyak hal dari PT Astra International Tbk untuk mendukung kegiatan belajar mengajar di Kampung Atti. Di antaranya sejumlah buku untuk menunjang kegiatan pembelajaran, buku cerita, ensiklopedia, gawai hingga seragam sekolah. 

"Bahkan anak-anak pertama kali pakai seragam sekolah ya dari Astra," ucap Diana seraya menambahkan, penghargaan dari Astra menjadi motivasinya untuk melanjutkan studi hingga ke jenjang S2.

Astra juga membukakan jalannya untuk bertemu dengan sejumlah pemangku kepentingan yang memiliki perhatian terhadap pendidikan. Bersama Prof. Fasli Jalal, Rektor Universitas YARSI dan Guru Besar Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta sekaligus dewan juri 14th SATU Indonesia Awards 2023, mereka bertemu dengan Dirjen di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk menyuarakan kesetaraan pendidikan di Papua.

"Bagi saya, kontribusi Astra sangat luar biasa dan lebih dari cukup. Astra memberikan sesuatu hal yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Lewat bantuan-bantuan tersebut, Astra menembus batas pedalaman yang tidak ditembus oleh banyak orang," tegas Diana.

Berharap Terus Berlanjut

lihat fotoSEMANGAT GURU DIANA - Diana Cristiana Da Costa Ati, guru kontrak program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) di Kabupaten Mappi, Papua Selatan bersama siswa di SDN Atti, Distrik Minyamur.
SEMANGAT GURU DIANA - Diana Cristiana Da Costa Ati, guru kontrak program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) di Kabupaten Mappi, Papua Selatan bersama siswa di SDN Atti, Distrik Minyamur.

Usaha yang dilakukan Diana untuk mencerdaskan anak-anak di kampung terpencil, di Papua tentu tak berhenti sampai di sini. Selesai melanjutkan pendidikan S2, Diana berencana kembali ke Papua.

"80 persen kembali (ke Papua), karena ada sesuatu yang belum tuntas," ujar Diana.

Meski masa tugasnya sebagai guru kontrak telah usai, Diana masih menyimpan harapan besar agar program GPDT di Kabupaten Mappi tidak berhenti di tengah jalan.

"Rasanya sia-sia kalau program sebagus ini tidak dilanjutkan," ujarnya. "Ini investasi jangka panjang—bukan hanya untuk pendidikan, tapi juga untuk masa depan Mappi." (*)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved