Minggu, 24 Agustus 2025

Piala Dunia 2022

Jalan Terjal Menuju Puncak Klasemen

Kini, di Piala Dunia 2022, Louis van Gaal kembali menangani skuad Oranye. Ia optimis bahwa Belanda cukup bagus untuk memenangkan Piala

Editor: Yudie Thirzano
AFP/ADRIAN DENNIS
(Dari atas, Kiri) Penjaga gawang Belanda Andries Noppert, bek Belanda Nathan Ake, bek Belanda Denzel Dumfries, bek Belanda Daley Blind, bek Belanda Virgil van Dijk dan penyerang Belanda Cody Gakpo, (dari kiri bawah) gelandang Belanda Davy Klaassen, gelandang Belanda Frenkie De Jong, gelandang Belanda Teun Koopmeiners, penyerang Belanda Steven Bergwijn dan bek Belanda Jurrien Timber berpose menjelang pertandingan sepak bola Grup A Piala Dunia 2022 Qatar antara Belanda dan Ekuador di Stadion Internasional Khalifa di Doha pada 25 November 2022. (ADRIAN DENNIS / AFP) 

Oleh Willy Kumurur
Penikmat bola

TRIBUNNEWS.COM - Tatkala Belanda mencapai final di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, dunia bola merasa yakin, bahwa inilah saat bagi The Orange untuk meraih tropi pertama sebagai juara dunia, juara dengan mahkota.

Seluruh dunia terhentak dan terpukau dengan gaya permainan Johan Cruyff, Johan Neskens, Ruud Krool, Jan Jongbloed di Piala Dunia 1974 yang digelar di Jerman Barat.

Di bawah pimpinan pelatih top mereka, Rinus Michels, Belanda tampil trengginas sejak babak awal.

Baca juga: Frenkie de Jong Sabet MOTM Laga Timnas Belanda vs Ekuador di Piala Dunia 2022

Sebuah filosofi baru sepakbola dunia lahir dari tangan Michels, total football; sebuah sistem dan gaya permainan yang tak hanya menyihir dunia saat itu, namun melegenda sampai saat ini.

Postulat Michels tentang sistem total football yang selalu diinjeksikan ke jantung pasukannya, adalah: “Jangan tebas musuhmu dengan pedang jika kalian bisa menggilasnya dengan tank!!!” Dan setiap lawan yang digilas oleh De Oranje “menikmati kematiannya” dengan indah.

Dengan aksioma itulah, Belanda berangkat ke final menghadapi Jerman Barat yang dilatih oleh Helmut Schoen dengan jenderal lapangannya yang elegan, Franz Beckenbauer.

Kita kemudian tahu, bahwa Jerman Barat-lah yang meraih Piala Dunia 1974, menaklukkan Belanda dan total football. Namun akibat sistem dan keindahan permainan Belanda, dunia bola mengakui bahwa Belanda-lah juaranya: juara tanpa mahkota.

Tanpa Rinus Michels dan Johan Cruyff, Belanda perkasa memasuki final Piala Dunia 1978 menghadapi tuan rumah Argentina. Lagi-lagi pasukan oranye takluk. Pencinta keindahan bersedih, sambil bertanya-tanya, “Mestikah keindahan itu kalah dan selalu menjadi pecundang?”

Lama setelah itu Belanda kehilangan tajinya, dan kemudian era keemasannya kembali di tahun 2010, saat Tim Oranye tampil di final Piala Dunia 2010 Afrika Selatan.

Lawannya adalah Spanyol, yang mengadopsi gaya permainan Belanda.

Ketika melatih FC Barcelona, Johan Cruyff memodifikasi sistem total football menjadi tiki-taka, sebuah gaya yang menghentar Barcelona merajai pentas Eropa dan dunia selama bertahun-tahun.

Pelatih Spanyol Vicente del Bosque, yang memasang 7 pemain Barcelona di skuadnya, memainkan Jabulani, bola resmi Piala Dunia 2010 dengan konsep tiki-taka.

Sampai menit ke-86, skor masih tetap imbang 0-0. Namun Andres Iniesta, jenderal lapangan tengah El Barca, memupus impian tim asuhan Bert van Marwijk. La Furia Roja lah yang meraih tropi bergengsi itu. Koran-koran di Belanda memasang headline: Derde Trauma (trauma ketiga).

Di Piala Dunia 2014, Louis van Gaal mendapat kritik pedas dari Johan Cruyff karena van Gaal dianggap mengkhianati filosofi bola Belanda dengan meninggalkan total football. Van Gaal menggantinya dengan Power Football, sehingga di mata Cruyff permainan Belanda tak berbeda dengan tipe permainan Jerman.

Halaman
12
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan