Pilpres 2019
KPU Ungkap Kelemahan Aturan Penggunaan Dana Asing dalam Kampanye Pilpres 2019
Komisioner KPU RI Hasyim Asyari menjelaskan kelemahan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 terkait penggunaan dana asing oleh peserta Pilpres 2019
Penulis:
Danang Triatmojo
Editor:
Adi Suhendi
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner KPU RI Hasyim Asyari menyebut sekalipun kandidat pasangan calon Pilpres 2019 mendapatkan aliran dana asing, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk membatalkan kepesertaannya.
Sebab dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, tidak mengatur ketentuan soal sanksi administratif yang bisa membatalkan mereka sebagai peserta Pilpres.
"Saya bilang Undang-Undang Pemilu kita tidak ada ketentuan sanksi administratif yang bisa membatalkan pasangan calon," ujar Hasyim Asyari dalam diskusi bertema Mengawal Integritas Pemilu, Hak Pilih, Akuntabilitas Dana Politik, dan Penegakkan Hukum Pemilu di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, Jumat (5/4/2019).
Baca: Kronologi Pembunuhan Mbah Mentil oleh Kekasih Brondongnya Terungkap dalam Reka Ulang Kejadian
Namun, jika ada laporan dan ditemukan salah satu pasangan calon menerima sumbangan pihak asing, maka dana tersebut tidak boleh digunakan.
Kemudian pihak penerima harus menyetorkan dana yang didapat ke kas negara paling lambat 14 hari sejak dana diterima.
"Kalau ditemukan, pertama tidak boleh digunakan. Kedua, dilaporkan kepada KPU. Ketiga, disetorkan kepada kas negara paling lambat 14 Hari sejak diterimanya dana," kata Hasyim.
Persoalannya kemudian adalah kapan aliran dana itu diketahui.
Baca: Polisi Tangkap Terduga Teroris di Bandung Barat, 4 Polisi Terluka
Bila Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mendapat informasi tersebut dan kemudian disampaikan ke KPU.
KPU dalam hal ini tidak bisa langsung mengeksekusi.
Mereka hanya bisa sebatas menyampaikan kepada Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk mengaudit laporan tersebut.
"KPU dalam hal ini tidak bisa kemudian langsung mengeksekusi. KPU hanya bisa menyampaikan kepada Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk untuk audit," terang dia.
Baca: Macau Tower Arena Melompat Tertinggi di Dunia Serta Rasakan Keseruan Memakai Pakaian Cina
Prinsipnya, Laporan Akhir Dana Kampanye atau Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) akan diserahkan peserta Pilpres ke KPU paling lambat 15 hari sejak pemungutan suara dilakukan.
Artinya, tanggal 2 Mei 2019 adalah batas penyerahan LPPDK tadi.
Usai dilaporkan ke KPU, KAP sebagai auditor baru bisa menjalankan tugasnya.
Namun, jika peserta Pilpres mendapat aliran dana asing, hal paling mungkin terjadi ialah dana tersebut pastinya sudah digunakan dalam masa kampanye.
Baca: PPATK: Asuransi Kecelakaan Jadi Modus Caleg Lakukan Politik Uang
Dalam kondisi ini, pertanyaannya adalah kapan dana asing itu disetor ke kas negara?
"Terus kapan menyetorkannya ke kas negara apakah bisa ditagihkan dan seterusnya? Itu jadi problem," jelas Hasyim.
Sebab sekali lagi ia tekankan, UU Pemilu tidak mengatur soal sanksi administratif yang diterima peserta Pilpres 2019 jika memanfaatkan dana asing.
"Kalau ditemukan sumbangan dana asing bisa menjadikan calon presiden gugur, ketentuan undang-undang tidak ada yang mengatur (sanksi administratif)," kata dia.
Sumbangan asing
Komisioner KPU RI Hasyim Asy'ari menegaskan dana kampanye tidak boleh berasal dari sumbangan pihak asing.
Aturan tersebut tertuang dalam PKPU Nomor 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye.
"Sumbangan ini, salah satu yang tidak boleh itu dari pihak asing," kata Hasyim dalam diskusi bertema Mengawal Integritas Pemilu, Hak Pilih, Akuntabilitas Dana Politik, dan Penegakkan Hukum Pemilu di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, Jumat (5/4/2019).
Baca: MK Akan Berpihak Pada Keadilan Saat Menangani Sengketa Pemilu
Dalam peraturan tersebut, dijelaskan siapa saja yang dimaksud pihak asing.
Di antaranya warga negara asing, pemerintah asing, Non Government Organization (NGO) atau organisasi masyarakat asing, serta korporat perusahaan asing.

Sedangkan ketentuan pelarangan sumbangan dari korporat perusahaan asing disebut sering menjadi perdebatan.
Baca: Relawan Millenial Jokowi-Maruf Doakan Prabowo Subianto Sehat
Sebab ada beberapa perusahaan yang dimiliki dua negara, baik Indonesia maupun negara lain.
Makanya, jika perusahaan tersebut adalah perusahaan terbuka, KPU akan meminta informasi lebih mendalam terkait bagaimana komposisi sahamnya.
Baca: Minta TNI Kooperatif, Komnas HAM Singgung Sejumlah Jenderal TNI yang Pernah Memenuhi Panggilan
"Kalau misalnya perusahaan itu terbuka sahamnya bareng-bareng bisa disebut perusahaan Indonesia atau perusahaan asing, itu kira-kira komposisi sahamnya seperti apa. Itu kan yang butuh informasi lebih mendalam," ujarnya.