Menteri Nusron Tinjau Perumahan Cluster Tambun yang Digusur Paksa, Begini Duduk Perkaranya
Nusron menyatakan bahwa lima pemilik rumah yang mengalami penggusuran paksa tersebut merupakan korban konflik kepemilikan lahan di masa lalu.
Penulis:
Rizki Sandi Saputra
Editor:
Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid mendatangi lokasi pemukiman 5 warga di Cluster Setia Mekar II, Desa Setia Mekar, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, yang jadi korban penggusuran paksa di atas lahan sengketa.
Nusron yang tiba bersama jajaran Kementerian ATR/BPN di lokasi pada pukul 09:16 WIB, termasuk Kepala Kantor Pertanahan (Kantah) Kabupaten Bekasi, Darman Satia Halomoan Simanjuntak bertemu 3 perwakilan pemilik bangunan.
Mereka adalah Asmawati, Yaldi, dan Mursiti. Nusron lalu membeberkan duduk perkara munculnya sengketa tanah di perumahan cluster tersebut.
Kata dia, kasus ini bermula pada tahun 1973 silam, ketika saat itu seseorang bernama Djuju memiliki tanah seluas 3,6 hektare.
Kemudian, pada tahun 1976 Djuju melakukan jual beli atas tanah tersebut dengan mengeluarkan Akta Jual Beli kepada seorang bernama Abdul Hamid.
"Akan tetapi Abdul Hamid yang sudah almarhum tidak langsung membalik nama. Kemudian, pada 1982, Djuju nakal (melakukan kecurangan)."
"Tanah (yang) sudah dijual kepada Abdul Hamid, dijual lagi kepada orang namanya Kayat," kata Nusron di lokasi penggusuran, kepada awak media, Jumat (7/2/2025).
Setelah membeli tanah tersebut dari Djuju, Kayat yang sudah memegang AJB dari pembelian tanah itu, langsung membuat sertifikat dan membalik nama.
"Kayat karena merasa punya AJB kemudian membalik nama. Akibat balik nama muncul sertifikat. Kemudian terbit (sertifikat) 704, 705, 706, dan 707," kata Nusron.
"Berlima ini dulunya diklaim sebagai orang yang di 706. Jadi ada sertifikat induknya 706. Itu kejadian 1982," sambung dia.
Singkat cerita, anak dari almarhum Abdul Hamid sebagai pihak pertama yang membeli tanah Djuju yakni Mimi Jamilah melayangkan gugatan kepada Kayat.
Gugatan itu dilakukan untuk membatalkan AJB yang terbit pada tahun 1982 karena sebelumnya AJB sudah terbit terlebih dahulu atas jual beli Djuju dengan Abdul Hamid.
Baca juga: MUI Soroti Penggusuran Lahan Warga Terkait Proyek PIK 2: Pemerintah Pro Pengusaha Daripada Rakyat
"Di dalam gugatannya itu, AJB-nya tahun 82 batal, karena sebetulnya sudah ada AJB tahun 1976."
"Kemudian, oleh pengadilan sampai MA dimenangkan oleh Mimi sebagai ahli waris Abdul Hamid. Kemudian ada eksekusi pengadilan (penggusuran)," kata Nusron.
Atas adanya keputusan tersebut akhirnya kata Nusron, ada eksekusi penggusuran tersebut oleh pihak pengadilan.
Nusron menyatakan bahwa lima pemilik rumah yang mengalami penggusuran paksa tersebut merupakan korban konflik kepemilikan lahan di masa lalu.
Baca juga: Kepala Otorita soal Kabar Penggusuran Warga Sekitar IKN: Semua Nanti Kami Sosialisasikan dengan Baik
Karena sejatinya, mereka membeli rumah tersebut dengan cara yang sah dan tidak mengetahui permasalahan di masa lampau.
"Beliau ini kalaupun berkonflik adalah korban, beliau nggak terlibat di situ. Seharusnya kalau mau eksekusi pun harus menggunakan prinsip kemanusiaan, tidak dengan prinsip tidak kemanusiaan main gusur gitu aja."
"Kan itu ada orangnya, harusnya dia urus dulu diganti dulu ke hakiman dan sebagainya," tandas dia.
Sertifikat SHM Tetap Sah di Mata BPN
Nusron Wahid menegaskan, Sertifikat Hak Milik (SHM) atas lahan warga Kampung Bulu, Desa Setia Mekar, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat, yang digusur tetap sah di mata Pemerintah.
“Ini di mata BPN, sah. Masih sah, meskipun sudah ada keputusan MA (Mahkamah Agung),” ungkap Nusron usai meninjau lokasi penggusuran rumah warga, Jumat (7/2/2025).
Mengutip Kompas.com, Nusron menegaskan, SHM tersebut sah karena tidak ada perintah dari MA maupun Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Cikarang untuk membatalkannya.
Karena itu, Mimi Jamilah selaku ahli waris Abdul Hamid sebagai pemegang Akta Jual Beli (AJB) pertama kali menang dalam perkara harus mendatangi pengadilan agar dilakukan penetapan.
Penetapan tersebut meminta agar Kementerian ATR/BPN membatalkan SHM warga karena mendapatkan perintah dari pengadilan.
“Kan dalam ammar keputusan itu mengatakan, AJB-nya tahun 1982 itu dianggap tidak sah, tidak punya kekuatan hukum,” ungkap Nusron Wahid.
Karena itu, dia mengungkapkan, Kementerian ATR/BPN tidak bisa menafsirkan sendiri kemauan Mimi.
“Kalau enggak diperintah ya enggak bisa. BPN ini bukan alih tafsir. Undang-undang (UU), ia (BPN) pelaksana. Nanti kalau diperintah, dieksekusi, langsung dibatalkan, tidak ada perintah pengadilan, salah, nanti dikira korupsi,” kata dia.
Setelah SHM dibatalkan, tentunya pengadilan bisa langsung mengeksekusi penggusuran atau pengosongan lahan.
Sebelum eksekusi dilakukan pun juga ada prosedur yang dilakukan berupa pengukuran lahan atas lokasi tanah sengketa.
Setelah diukur, pengadilan pun berkirim surat tembusan kepada Kementerian ATR/BPN untuk memberitahukan hal ini.
“Lima lokasi tanah ini, rumah ini tadi kami cek, ternyata di luar peta daripada obyek yang disengketakan. (SHM nomor) 706 tadi, di luar itu. Ternyata, oke? Karena keliru, beli dari masyarakat. Oke ya, jelas ya?,” jelas Nusron.
Langkah selanjutnya akan dikoordinasikan antara Kementerian ATR/BPN dengan PN Kabupaten Bekasi.
Nusron Wahid
penggusuran
Tambun
Djuju
Abdul Hamid
Lahan Sengketa
korban penggusuran paksa
pembelian tanah
AJB
membuat sertifikat dan membalik nama
Sertifikat Hak Milik
warga Kampung Bulu
Nurdin Halid Sebut Isu Munaslub Golkar Dikembangkan Orang-orang Frustasi untuk Meraih Kekuasaan |
![]() |
---|
Bahlil dan Nusron Wahid Kompak Bantah Isu Munaslub Golkar |
![]() |
---|
Cak Imin Candai Nusron Wahid yang Kini Dekat dengan Habaib: Pak Prabowo Saja Ragu |
![]() |
---|
Menteri Nusron: 48 Persen dari 55,9 Juta Hektare Lahan Bersertifikat di RI Dikuasai 60 Keluarga |
![]() |
---|
Menteri Nusron Wahid Koordinasi dengan KKP Lakukan Sertifikasi Pulau Kecil Terluar |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.