Kirab Kerbau Bule Kyai Slamet Melegitimasi Keraton
Keraton Kasunanan Surakarta kembali menggelar ritual kirab Kyai Slamet dan pusaka lainnya, Selasa (7/12) menyambut satu Suro.
Editor:
Iswidodo
TRIBUNNEWS.COM, SOLO – Keraton Kasunanan Surakarta kembali menggelar ritual kirab Kyai Slamet dan pusaka lainnya, Selasa (7/12). Tradisi tersebut diselenggarakan untuk menyambut datangnya Tahun Baru Jawa 1 Sura.
Tradisi yang acara intinya mengarak pusaka keraton berwujud kerbau dengan nama Kyai Slamet ini sudah berlangsung turun temurun. Kerbau atau Kebo Bule yang diarak itu berwarna seperti kulit bule sehingga orang Jawa biasa menyebut Kebo Bule.
Drs. Sudarmono SU dosen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UNS Surakarta ketika ditemui di rumahnya menjelaskan, mengarak keliling atau kirab Kyai Slamet sudah ada sejak masa pemerintahan Pakubuwono (PB) IX.
Acara kirab Kyai Slamet merupakan salah satu upaya raja untuk melegitimasi kekuasaan. Dalam perkembangannya, Kerbau bule kemudian dianggap sebagai pusaka keraton Kasunanan. Karena dianggap sebagai pusaka, kerbau bule Kyai Slamet kemudian memperoleh hak istimewa dari warga Surakarta.
“Salah satunya adalah tidak ada orang yang berani mengusir apabila Kyai Slamet memakan sesuatu,” kata Sudarmono.
Hingga saat ini, pamor Kyai Slamet masih dipercaya kesakralannya. Suami dari Tri Darmani ini kemudian mencontohkan, ketika kerbau tersebut buang hajat saat dikirab, maka kotorannya menjadi rebutan warga. Tidak jarang kerbau-kerbau tersebut juga memakan tanaman padi milik petani atau sayuran milik pedagang.
“Saat itu tidak ada yang berani mengusir dan melarang. Bahkan ada sebagian dari mereka yang merasa senang ketika tanaman atau dagangannya dimakan Kyai Slamet,” jelas Sudarmono.
Sejarawan UNS ini sebenarnya menyayangkan adanya kepercayaan mistik yang diyakini oleh masyarakat Surakarta terhadap kerbau bule koleksi Kasunanan Surakarta ini. Ia menyarankan agar seluruh elemen masyarakat Surakarta memahami kandungan filosofis dan ajaran yang terkandung dalam kirab tersebut.
Salah satunya adalah ketika kirab Kyai Slamet dilakukan dengan diam atau membisu. “Diam yang dimaksudkan adalah introspeksi diri dan berdoa,” tuturnya.
Sudarmono menambahkan, kerbau bule di Surakarta ini mirip dengan kerbau bule yang ada di Tana Toraja atau Tedong Bonga. Kerbau bule semacam ini masuk dalam kelompok kerbau lumpur yang hanya terdapat di Tana Toraja. Namun ia sendiri tidak bisa memastikan apakah kerbau milik keraton Surakarta mempunyai hubungan langsung dengan Tedong Bonga di Toraja atau tidak.
Kanjeng Pangeran Edy Wirabumi, salah satu kerabat keraton Solo memberikan pendapat tersendiri terkait dengan Kyai Slamet. Suami dari Gusti Mung ini menuturkan, Kyai Slamet milik Keraton Kasunanan sudah dimiliki sejak jaman Kartasura.
“Bedanya, saat itu kirabnya tidak semeriah sekarang. Dulu kirabnya hanya di lingkup keraton,” ujarnya.
Ia menceritakan, prosesi kirab Kyai Slamet sempat hilang. Itu terjadi pada masa pemerintahan PB VII dan PB VIII. Pada masa pemerintahan kakak beradik yang memerintah Kasunanan sejak 1830-1861 itu keraton Surakarta mengalami kemunduran. “Pada masa itu banyak ritual rutin ditinggalkan karena tidak adanya kekuatan finansial,” jelas Edy Wirabumi.
Kirab Kyai Slamet kembali dilaksanakan pada masa PB IX. Saat itu rute yang dilewati hanya mengitari benteng keraton Kasunanan. Ritual baru diselenggarakan secara megah pada masa pemerintahan PB XII, ketika Orde Baru mulai berkuasa.
Untuk menyelenggarakan acara tahunan ini, Keraton Kasunanan Surakarta membutuhkan dana sedikitnya Rp 200 juta. Dana tersebut diperoleh dari sumbangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) sebesar Rp 40 juta dan sisanya merupakan hasil sumbangan dari kerabat keraton. (*)