Kamis, 21 Agustus 2025

Tak Usah Dibubarkan, Nanti Kami Mati Sendiri

Profesi ini tercatat telah ada semenjak masa perjuangan kemerdekaan RI, dibawa oleh imigran asal China lengkap dengan ilmu turun-temurun

Editor: Gusti Sawabi
zoom-inlihat foto Tak Usah Dibubarkan, Nanti Kami Mati Sendiri
int
ilustrasi

TRIBUNNEWS.COM - Pernahkah anda melihat sebuah kios dengan gambar gigi di kaca depannya. Biasanya berada di kawasan keramaian seperti pasar atau pecinan. Ya, itu adalah ruang praktek seorang tukang gigi.

Profesi ini tercatat telah ada semenjak masa perjuangan kemerdekaan RI, dibawa oleh imigran asal China lengkap dengan ilmu turun-temurun yang dimiliki. Dimana saat itu ilmu kedokteran gigi masih menjadi sulit dipelajari, karena harus pergi ke Belanda untuk menuntutnya.

Sekarang, profesi yang pernah menjadi idola masyarakat sudah sangat jarang ditemui. Terlebih yang masih asli menggunakan ilmu tradisional asal Tiongkok. Satu di antara sedikit yang bertahan adalah Ie Yoe Djiang. Pria 52 tahun ini adalah generasi ketiga pewaris usaha praktek pemasangan gigi buatan Ahli Gigi 'Sinar' yang dirintis kakeknya tahun 1958 silam.

Sejak tahun 1976 ia resmi menjadi pewaris keahlian ilmu pemasangan protase (gigi tiruan) yang didapatkan dari ayah dan kakeknya, warga asli Tiongkok yang bermigrasi di Yogyakarta kala itu. 
 
Tapi, pria dengan nama Indonesia Iwan Yulius Santoso ini sekarang ini menyimpan sedikit kerisauan. Sebab, anak semata wayangnya enggan mewarisi ilmu asal leluhurnya. Karena lebih memilih berkarier di bidang lain dengan gelar master yang saat ini sedang ditempuh di UGM Yogya.

"Tak ada lagi yang bisa saya ajari ilmu ini. Saya sadar, masa kejayaan profesi ini telah lewat. Jadi wajar jika anak muda lebih memilih profesi lain yang dirasa lebih menjanjikan masa depan lebih baik," ujar Iwan.

Kemajuan zaman dengan berbagai ilmu medis serta peralatan canggih, diakuinya menjadi satu diantara banyak faktor yang membuat profesi ini meredup. Apalagi, semakin banyakya dokter gigi dengan kemampuan lebih lengkap dengan sertifikat resmi sebagai tenaga medis.

"Menjadi sangat wajar jika masyarakat memilih pergi ke dokter gigi daripada kepada kami, para tukang gigi," tutur Iwan.

Dikisahkannya, rekan sejawat yang berprofesi seperti dirinya, dengan ilmu pemasangan protase asli dari Tiongkok yang ada di Yogyakarta saat tidak lebih dari 10 orang. Mayoritas adalah teman seangkatan saat mengikuti penataran kesehatan bagi tukang gigi yang diadakan oleh Kanwil Depkes DIY pada tahun 1979.

"Kondisi dari mereka pun sama, tidak memiliki generasi penerus yang bisa diwarisi ilmu ini. Putra-putrinya lebih memilih menekuni profesi lain," ucap Iwan.

Disinggung mengenai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 1871/Menkes/Per/IX/2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan No 339/ Menkes/Per/V/1989 tentang pelarangan praktek tukang gigi, ia mengatakan jika penertiban memang diperlukan. Terutama bagi tukang gigi yang melanggar kewenangan dengan melakukan praktek mencabut dan mengobati.

"Masalah cabut, tambal dan mengobati adalah kewenangan dokter gigi, karena itu membutuhkan penguasaan anatomi lebih dalam. Tukang gigi hanya memiliki kewenangan memasang protesa," urai Iwan.

Protesa sendiri terdiri dari dua jenis, yakni akrilik dan porselen (keramik). Untuk satu protesa akrilik berkisar Rp 200 ribu, sedangkan protesa porselen bisa mencapai dua kali lipatnya.

"Kalau tukang gigi seperti kami tidak usah dibubarkan. Pasti bakal mati sendiri kok, orang kami tidak punya generasi penerus," ujar Iwan.(Hendy Kurniawan)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan