Joki di UGM
Nyanyian Joki Ungkap Sisi Hitam UGM
Inilah kesaksian mantan joki
Editor:
Dahlan Dahi

Sebenarnya, peristiwa itu bukanlah hal baru. Beberapa kampus swasta favorit di Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta beberapa daerah lainnya beberapa kali berhasil menggagalkan aksi perjokian.
Seorang mantan mantan tim penjaring calon mahasiswa menceritakan pengalamannya selama menekuni bisnis tersebut kepada wartawan Tribun Jogja (TRIBUNnews.com Network).
Tidak cukup sulit untuk menemukan konsumen, terbukti ia sempat memperoleh dua orang calon mahasiswa yang hendak masuk ke jurusan favorit di sebuah universitas swasta di Yogyakarta.
Dalam tahapan tersebut, menurut Irman, pihaknya belum menentukan besaran tarif yang akan dibebankan kepada si calon mahasiswa.
Selain dari tingkat kemampuan para konsumennya, besaran tarif juga dihitung berdasarkan tingkat akreditasi jurusan yang dituju serta bonafid dan tidaknya kampus yang dijadikan sasaran. Sehingga wajar saja, untuk setiap kampus memiliki perhitungan yang berbeda, berkisar antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.
“Sedangkan untuk penjaringan, saat itu saya dibayar Rp 10 juta untuk dua mahasiswa, tapi akhirnya tidak jadi karena konsumennya juga mengurungkan niat menggunakan jasa joki,” ungkapnya, saat ditemui pada Minggu (15/7/2012) siang.
Sementara itu, untuk para calon mahasiswa yang hendak menggunakan jasa joki, modusnya tidak jauh berbeda dengan yang terungkap kemarin di UGM. Baik itu joki maupun konsumen joki diharuskan menggunakan kerudung dan lengan panjang. Sedangkan bagi para joki, diharuskan memiliki pembawaan yang tenang.
Hal ini diutarakan seorang yang pernah ditawari menjadi Joki. Sebut saja namanya, Dian. Ia sempat ditawari menjadi joki sekitar tahun 2005 sewaktu dirinya hendak mendaftar di sebuah perguruan tinggi negeri. Namun berdasarkan pengamatannya, si perekrut memang cukup berhati – hati saat memilih siapa yang hendak dijadikan kaki tangannya.
Dian melanjutkan, saat itu ia tiba-tiba dihampiri seseorang yang belum ia kenal. Setelah bercakap-cakap, pada akhirnya ia ditawari untuk menjadi joki namun dengan cara yang lebih aman. Setelah sempat dipikir berulang kali, akhirnya Dian menyanggupi tawaran itu dengan imbalan sebesar Rp 1,5 juta, yang dibayarkan beberapa hari kemudian setelah tes berakhir.
Beberapa hari sebelum pelaksanaan ujian dimulai, para eksekutor lapangan ini mendapatkan briefing terlebih dahulu untuk mengetahui cara penggunaan peralatan komunikasi yang dihubungkan ke seorang operator yang ia sendiri tidak mengetahui siapa dan dimana keberadaannya.
Dari keduanya, terungkap bahwa praktik perjokian maupun berbagi jawaban, sebenarnya dipraktikan pula di beberapa universitas swasta yang ada di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Terutama di kampus-kampus yang memiliki jurusan-jurusan unggulan semisal paling banyak yakni kedokteran. (*)