Sering Diperas Bajak Laut, Nelayan Subang Takut Masuk Perairan Sumatera
Adik dan nelayan lainnya di kampung nelayan Blanakan ini hanya mencari ikan di sekitaran perairan Laut Jawa
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha
TRIBUNNEWS.COM – Suara riuh rendah sejumlah nelayan di Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, yang telah menurunkan hasil tangkapannya di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Blanakan, berkelindan dengan suara juru tawar dari KUD Mina Jaya Fajar Sidik yang melelang ikan-ikan hasil tangkapan nelayan tersebut pada Selasa (11/6/2103) pagi menuju siang. "Mustofa 1 kuintal 3 juta. Tasrifin 1 juta," teriak sang juru tawar melalui pengeras suara.
Di udara beraroma amis ikan laut di TPI, di lain tempat tidak begitu jauh dari TPI, Adik (38), nelayan asal Rembang, Jawa Tengah, yang bertelanjang dada di kapalnya dengan kulitnya yang hitam legam terbakar matahari di perairan Laut Jawa, sedang membenarkan jala bersama sejumlah rekannya. Mereka sebelumnya mencari ikan hingga 90 mil dari bibir pantai di kawasan Kecamatan Blanakan.
Belakangan, Adik dan nelayan lainnya di kampung nelayan Blanakan ini hanya mencari ikan di sekitaran perairan Laut Jawa. Paling jauh, ia melaut hingga 100-150 mil dari bibir pantai. Atau paling dekat, 90 mil ke arah utara, barat atau timur laut perairan Laut Jawa, atau di sekitar perairan Banten, Jakarta, hingga sekitar Jateng atau Jatim.
Padahal sebelumnya, mereka kerap melaut mencari ikan hingga perairan Sumatera. Namun karena perairan Sumatra belakangan ini sedang tidak aman lantaran banyaknya bajak laut yang menjegal mereka, Adik dan nelayan lain di Blanakan ini untuk sementara tidak melaut ke sana.
"Bajak laut itu ada, Mas. Itu di perairan Sumatera, biasanya di daerah perairan Lampung, Bangka Belitung, hingga perairan Batam. Mereka suka malakin nelayan," kata Adik.
Buang jauh-jauh sosok bajak laut seperti Johny Depp dalam film Pirates The Caribian. Tak ada lagi bajak laut yang memakai topi khas pelaut, bermata satu, dan tangan berkait. Yang sering berjumpa dengan Adik adalah bajak laut kelas teri yang tak jauh beda dengan preman di terminal bus. Para bajak itu kerap meminta sejumlah materi dari nelayan yang akan melintasi perairan tersebut.
"Mereka suka minta uang, minta ikan hasil tangkapan, sampai yang bikin meresahkan itu, mereka minta solar kepada kami, Mas. Kalau solar dikasihkan, kami khawatir enggak bisa pulang karena kehabisan solar," ujar Adik.
Siapa pembajak itu, Adik sendiri meyakini bahwa mereka bukan nelayan-nelayan setempat, melainkan preman-preman yang juga tidak jarang dibekingi oknum aparat. Pasalnya, saat mereka melakukan aksinya, Adik pernah melihat di antara mereka ada yang membawa senapan otomatis.
"Kalau bawa senapan otomatis gitu kan berarti bukan nelayan, Mas. Dan mereka juga bukan nelayan karena sesama nelayan ini, pastinya enggak akan kayak gitu," ujar Adik.
Suparmin (43), masih satu grup dengan Adik, mengatakan, para bajak laut itu beraksi ketika nelayan dari Jawa memasuki perairan Sumatra. Pasalnya, kata Parmin, nelayan asal Sumatera sendiri jarang mengalami hal itu.
"Kalau mau masuk perairan Sumatera, bayar dulu pada mereka. Ada yang bayar Rp 500 ribu hingga bayar Rp 2 juta lebih. Setelah itu, nelayan yang sudah membayar akan dikasih tanda berupa bendera bahwa kapal itu sudah bayar," ujarnya.
Hal itu diakui oleh Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Mina Jaya Fajar Sidik, Muhammad Ali. Pihaknya berharap jajaran Polri melakukan penindakan atas banyaknya bajak laut di perairan Sumatera, yang kerap kali memeras sejumlah nelayan dari Pulau Jawa yang mencari ikan di perairan tersebut.
"Khususnya nelayan kami dari Desa Blanakan, mereka sering dijegal oleh para bajak laut di perairan Sumatra Selatan. Kami harap Polri bisa bertindak karena preman itu tidak hanya ada di darat, tapi juga di laut," kata Ali di kantornya.
Begitulah nasib para nelayan, khususnya nelayan Blanakan, Subang. Selain harus berjibaku dengan ganasnya gelombang laut, mereka harus berhadapan dengan bajak laut di perairan yang banyak ikannya. Tak heran, mereka pun serba salah. Berlayar di dekat daerah mereka, hasil tangkapan kurang, tapi berlayar ke perairan Sumatera, risikonya besar.