Liputan Khusus Aceh
Hiburan Plus di Kota Medan Jadi Daya Tarik Masyarakat Aceh Membelanjakan Uangnya
kehadiran masyarakat provinsi paling ujung Sumatera ini ke ibu kota Sumut itu cenderung meningkat, khususnya pada setiap akhir pekan.
“Kalau ke Medan pasti nonton. Biasanya di Sun atau Palladium. Tapi sekarang karena ada yang baru, lebih milih nonton di Center Point (MCP),” kata Iskandar.
Ia menganggap hal itu lumrah karena di Sigli, atau bahkan di Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi tak ada lagi bioskop.
Seiring perkembangan zaman, warga Aceh ternyata juga mulai memburu dan memenuhi diskotik, ruang karaoke, hingga panti pijat yang menjamur di Medan.
Dalam beberapa kesempatan investigasi, pengunjung asal Aceh secara tak sengaja bertemu teman sekampungnya ketika mengunjungi sebuah diskotik modern yang dipadu dengan panti pijat bertarif tinggi.
“Kalau ke sini (Medan) kita harus pandai-pandai. Bisa-bisa satu meja (bertemu) sama saudara dari kampung,” ujar seorang pengunjung asal Banda Aceh saat diwawancarai Serambi seusai keluar dari sebuah ruang karaoke.
Namun tidak semua warga Aceh merasa senang dengan lengkapnya fasilitas hiburan di Medan. Sebab, cap surga duniawi yang sudah telanjur melekat pada Kota Medan ternyata menimbulkan keresahan sendiri bagi beberapa kalangan.
“Pas duduk di lobi kadang-kadang didatangi wanita. Banyak yang ditawarkannya, mulai pijat atau cuma mengawani duduk saja,” kata seorang pejabat Aceh yang ditemui di sebuah hotel berbintang empat di Medan.
Terkadang, kata dia, situasi itu membuat istrinya was-was setiap dirinya mendapat tugas ke Medan. Setiap waktu sang istri selalu menelepon untuk mengecek keberadaan dirinya.
“Kita ke Medan memang kepentingan kerja. Tapi karena sudah ada cap kayak gini, istri pun curiga,” ujar pria yang meminta identitasnya tidak dipublikasikan.
Ya, begitulah, warga Aceh tidak hanya menghabiskan uang ke Medan untuk sekadar berbelanja memenuhi kebutuhan pokok, melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan tersier, misalnya hiburan.(mad)