Dulu Kaya Raya, Kini Nenek Tetty Hidup Sebatang Kara Setelah Diusir Anak
"Anak saya sendiri justru melakukannya. Sakit sekali rasanya,” kata Tetty.
Editor:
Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribun Jogja, Agung Ismiyanto
TRIBUNNEWS.COM, MAGELANG - Hidup sebatang kara setelah “diusir” oleh anak-anaknya, membuat hati seorang nenek bernama Tetty Mudjiati, hancur. Roda kehidupan yang terus berputar pun membuat dirinya semakin tak berdaya.
Wajah keriput perempuan yang akrab disapa Tetty itu menunjukkan usia yang tak lagi muda. Di hadapan nenek tua itu, teronggok beberapa bekakas yang dibungkus dalam plastik warna hitam.
Ada beberapa koran bekas, triplek, kardus, yang menjadi teman setia nenek berusia 78 tahun ini untuk sekedar membaringkan tubuhnya di Poskamling Perumahan Rejo Indah PGRI, Desa Japunan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang.
Ya, begitulah Tetty menikmati usia senjanya dengan hidup sebatang kara di bekas poskamling berukuran sekitar 3x3,2 meter itu. Bangunan dengan cat putih, tanpa pintu, tanpa jendela, beratap seng yang sudah keropos, dan kotor itu, sangat tidak layak untuk ditinggalinya.
Tetty sudah terbiasa hidup meringkuk seorang diri tanpa bisa melihat tayangan televisi, bercengkrama bersama keluarganya, ataupun menikmati kudapan yang disediakan anak-anak dan cucunya. Kebahagiaan dan impian itu sirna bersamaan dengan rasa kedinginan, kepanasan, dan bocornya air hujan dari atap seng tempatnya tinggal.
"Saya tidur pakai triplek sama gulungan koran untuk bantal. Kalau kasur ini tidak saya pakai, takut kotor,” ujarnya, sembari menahan isak tangis saat sejumlah wartawan mengnjunginya.
Untuk sekedar makan, dia mendapatkan belas kasihan dari warga sekitar yang memberinya makanan, minuman dan uang sekadarnya. Sementara, untuk sekedar mandi dan buang air besar, Tetty biasanya pergi ke toilet di sebuah masjid tidak jauh dari poskamling itu.
"Warga di sini cukup baik. Saya makan seadanya kalau dikasih tetangga, kadang ada juga yang ngasih uang Rp 2 ribu, tapi kalau tidak ada yang ngasih saya engga makan, pernah dua hari engga makan," katanya.
Mata Tetty sembab saat menceritakan beban hidupnya selama ini. Dia terpaksa hidup seperti “gelandangan” setelah “diusir” oleh anak kandungnya. Dia bahkan mengaku kerap disakiti, ditendang, dan hingga diusir keluar rumah.
“Saya tidak pernah dijahati oleh orang. Tetapi, anak saya sendiri justru melakukannya. Sakit sekali rasanya,” kata Tetty yang mengaku memiliki empat anak, tiga anak perempuan dan satu laki-laki.
Dia menjelaskan, tiga anak perempuannya masing-masing sudah mandiri tinggal di Kalimantan, Kabupaten Rembang dan Karanggading, Kota Magelang. Sedangkan sang suami, sudah meninggal sejak belasan tahun lalu.
Jauh sebelum hidup di poskamling, Tetty mengaku pernah bekerja menjadi agen teh merek terkenal dan memiliki dua buah kios kelontong di Kota Magelang. Dia juga pernah memiliki usaha agen surat kabar dan majalah. Saat itu, hidupnya bergelimpangan harta dan berada.
Roda kehidupan berputar, keadaan berbalik setelah musibah kebakaran melanda kios miliknya. Ia bangkrut dan menjual rumahnya. Apesnya, uang hasil menjual rumah amblas ditipu seseorang. Dia kemudian tinggal bersama anak keduanya bernama Heru.