Jumat, 12 September 2025

Polisi Stres Bunuh Dua Anaknya

Terkait Polisi Mutilasi Anak Kandung, Ini Fakta Mengejutkan Survei Kesehatan Gangguan Jiwa

Sebuah data saat temu media Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2014 'Living with Schizophrenia' di Jakarta angka menunjukkan hal yang mengejutkan.

Editor: Robertus Rimawan
Tribun Pontianak/Zulkifli
Tim Inafis Polda Kalbar bersama Reskrim Polres Melawi saat menggelar olah TKP rumah korban pembunuhan polisi, Jumat (26/2/2016). Proses ini berlangsung tertutup. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus Brigadir Petrus Bakus, anggota Sat Intelkam Polres Melawi, Kalimantan Barat menjadi pusat perhatian.

Setelah peristiwa mengerikan terjadi pada Jumat (26/2/2016) sekitar pukul 00.40 WIB dini hari dua anak kandung dibunuh dengan cara keji semua mata tertuju pada Melawi.

Banyak berharap ada kejelasan terkait kondisi pelaku agar kemudian hari tak terulang atau bisa diantisipasi.

Sebelumnya Kapolda Kalimantan Barat (Kalbar) Brigjen Pol Arief Sulistyanto mengatakan, ada dugaan Brigadir Petrus terkena penyakit mental skizofrenia.

Sementara Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti meralat dan menyatakan kalau pelaku tidak mengalami gangguan jiwa melainkan hanya kesurupan.

Bila ternyata benar pelaku mengalami penyakit mental yang disebut Skizofrenia perlu dilakukan evaluasi dan penanganan secara medis yang sesuai.

Sebuah data yang dirilis pada 20 Oktober 2014 saat temu media Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2014 'Living with Schizophrenia' di Jakarta angka menunjukkan hal yang mengejutkan.

Angka berdasar survei kesehatan dasar 2013 gangguan jiwa berat dan masuk di antaranya skizofrenia.

Hasil Riskesda 1-2 diantara 1.000 orang pernah mengalami gangguan jiwa berat.

Hasil prevalensi (red: seberapa sering suatu penyakit atau kondisi terjadi pada sekelompok orang) 2-3 persen sehingga angka under report di bawah, pemerintah menetapkan 1 per 100 orang.

Angka tersebut menunjukkan terjadi kemungkinan dari 100 orang ada satu penderita gangguan mental.

Dalam pertemuan tersebut pemerintah didesak untuk memberikan layanan atau treatment seperti pengobatan di seluruh tingkat pelayanan kesehatan.

Kebijakan Kemenkes sektor kesehatan untuk meningkatkan ases termasuk kesehatan jiwa, apalagi menyusul lahirnya UU No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.

Khususnya untuk Skizofrenia, pemerintah akan mendekatkan akses kesehatan apalagi riset 14,3 persen orang dengan gangguan jiwa pernah dipasung, artinya lebih dari 50 ribu orang penduduk Indonesia.

Berikut kajian dari dokter spesialis kedokteran jiwa.

Berdasar arsip Tribun temu media tersebut Dr A A Ayu Agung Kusumawardhani SpKJ(K) yang saat itu ia menjabat sebagai Ketua Seksi Skizofrenia Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengatakan, gangguan ini bisa diobati, bukan hal akhir dari segala-galanya.

Ia menyebut skizofrenia adalah gangguan di bagian otak.

Penyakit ini dipicu sebuah masalah dan ia memiliki masalah di bagian otak, bukan guna guna kutukan atau santet.

Gangguan ini serius tapi bisa diobati. Ini memang mengganggu cara berfikir, mengekpresikan, situasi lingkungannya sehingga menganggu sistem otak.

Skizofrenia merupakan suatu penyakit jiwa berat dan seringkali berlangsung kronis.

Adapun gejala utama berupa gangguan proses pikir sehingga pembicaraan sulit dimengerti, isi pikir yang tidak sesuai realita (delusi / waham), disertai gangguan persepsi panca indera yaitu halusinasi, dan disertai tingkah laku yang aneh, seperti berbicara atau tertawa sendiri.

Gejalanya ditandai penurunan fungsi kognotif mood dalam rasa.

Bisa dipicu penyalahgunaan zat sehinggga menyebabkan disfungsi sehingga pasien itu tidak bisa berkomunikasi dengan sekitarnya.

Jika tidak menjalani perawatan dengan baik fungsi belajar jadi terganggu.

Lebih lanjut ia mengatakan, gangguan jiwa ini kerap muncul di usia produktif yaitu 15-25 tahun.

Penyakit mental ini prlu dilakukan terapi sedini mungkin, agar dapat meningkatkan kemungkinan pemulihan yang sempurna.

Berdasarkan penelitian, dua tahun pertama mendapatkan terapi  yang benar maka pemulihan bisa cepat.

"Kalau telat diatas 2 tahun sembuhnya sedikit, sedangkan kalau lima tahun lebih sedikit susah," ujar Dokter Agung, saat temu media Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2014 'Living with Schizophrenia' di Jakarta.

Saat remaja mulai gejala-gejala waham halusinasi.

Waham didefinisalkan mempersepsikan kejadian aneh.

Ini adalah gangguan isi pikir yang ditandai omong sulit dimengerti atau tidak nyambung.

Bukan Guna-guna

Dijelaskan, kata skizofrenia berakar dari bahasa Yunani, schizein (terbelah) dan phren- (pikiran).

Penderitanya akan memiliki kesulitan memproses pikirannya sehingga timbulah halusinasi, delusi, pikiran yang tidak jelas dan tingkah laku atau bicara yang tidak wajar.

Gejalanya ditandai penurunan fungsi kognotif mood dalam rasa.

Bisa dipicu penyalahgunaan zat sehinggga menyebabkan disfungsi sehingga pasien itu tidak bisa berkomunikasi dengan sekitarnya.(*)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan