Tahun Ajaran Baru
Asyiknya Bermain Permainan Tradisional di Hari Pertama Masuk Sekolah
Hari pertama masuk, siswa kelas 1 SD Negeri Simomulyo V disuguhi permainan tradisional seperti ular tangga, congklak, gobak sodor hingga egrang batok.
Editor:
Y Gustaman
Laporan Wartawan Surya, Neneng Uswatun Hasanah
SURYA.CO.ID, SURABAYA - Hari pertama masuk, siswa kelas satu SD Negeri Simomulyo V disuguhi permainan tradisional seperti ular tangga, congklak, gobak sodor hingga egrang batok.
Seluruh siswa di sekolah ini sudah menggunakan seragam merah putih lengkap memakai kartu penanda nama yang dikalungkan di leher.
Tawa riuh muncul dari dalam dan luar kelas saat mereka asyik bermain permainan tradisional, Defi Anggraini Saputri (7) misalnya. Ia serius memasukkan biji di papan congklak.
Sesekali ia malu-malu melirik guru pendampingnya, kemudian tersenyum.
"Bisa main congklak saja, di rumah juga main. Tapi tadi kalah, sekolahnya asik," cerita Defi tentang pengalaman hari pertama sekolah kepada Surya, Senin (18/7/2016).
Kepala SD Negeri Simomulyo 5, Matrai Faridhin menjelaskan kebiasaan memainkan permainan tradisional sudah setahun terakhir dilakukan di sekolahnya.
"Kami menginginkan anak-anak di hari pertamanya menimbulkan efek ketagihan sekolah lagi. Dengan tren banyak permainan modern, kami ingin mengenalkan kembali permainan tradisional yang bisa dijangkau anak-anak dan orang tua," ujar Matrai.
Mantan Kepala SD Negeri Kertajaya 7 ini menambahkan, permainan tradisional sesuai dengan lingkungan sekolah yang didominasi orang tua dari ekonomi menengah ke bawah.
Selama istirahat siswa diizinkan memainkan permainan-permainan tradisional. "Ini juga membantu siswa untuk bisa bekerja sama secara baik," ungkap dia.
Orangtua yang datang mengantarkan anaknya bersekolah juga antusias. Rupanya mereka terdorong menyerahkan anak didiknya langsung ke pihak sekolah.
"Jadi seperti halal bihalal guru sama orang tua juga," sambung dia.
Tahun ini SD Negeri Simomulyo V menerima 73 anak untuk siswa kelas 1. Siswa ini dibagi menjadi tiga rombongan kelas, agar proses belajar mengajar lebih efektif.
"Anak di daerah sini 20 persennya belum bisa membaca dan menulis, jadi kami tidak terlalu banyak rombelnya (rombongan belajar, red)," ungkap Matrai.