Rabu, 5 November 2025

Kisah Pria-pria Pemeran Karakter Perempuan, Berjuang di Balik Stigma Negatif ‘Kemayu’

Mereka memilih jadi liku dengan berbagai kontroversinya untuk menyambung hidup sekaligus memperbaiki perekonomian keluarganya.

Editor: Dewi Agustina
Istimewa
I Komang Muliadi Jusnaedi saat berhias dengan nama panggung Gek Rempongs (kiri) dan I Gede Komang Kartonoyasa saat berhias dengan nama panggung Gek Sekar Tono (kanan). 

Setelah itu, dia diajak bergabung dengan Sanggar Canging Mas, Tabanan.

Hingga saat ini masih terus menerima job manggung sendiri atau bersama grup Canging Mas.

"Saya sudah menari liku sekitar satu setengah tahun terakhir, hasilnya lumayan lah. Hal ini diawali dari ngayah ke berbagai pura dan kegiatan keagamaan," terangnya.

Sama dengan Jusna, I Gede Komang Kartonoyasa (26) asal Banjar Buahan Kaja, Desa Buahan, Kecamatan Tabanan, juga mendapatkan penolakan dari keluarganya dalam memerankan liku.

Pria dengan nama beken di atas panggung, Gek Sekar Tono, itu bahkan harus sembunyi-sembunyi agar bisa menari.

I Gede Komang Kartonoyasa
I Gede Komang Kartonoyasa saat tidak berhias, nama panggung Gek Sekar Tono.

"Saya pernah menari dengan Arja Kampus IKIP PGRI Bali, Sekaa Widyaksara ke Jakarta, saya tidak bilang di rumah untuk menari jadi liku, tapi ada kegiatan lain," ujarnya.

Pria yang kini kuliah S2 di UNHI Denpasar pada jurusan Ilmu Agama dan Kebudayaan itu bahkan harus bersiasat agar keluarga bisa menerimanya menjalankan lakon liku.

Kartono menyebutkan, dia harus menyiapkan rokok di sebuah tas untuk diberikan kepada kakaknya ketika pulang ke rumah.

"Setiap habis manggung menjadi liku selalu dikasih rokok, saya pulang dan simpan di tas. Nah, kakak selalu menanyakannya," ujarnya.

Bungsu dari tiga bersaudara itu setiap hari selalu membeli rokok dan disimpan dalam tas, tas yang disebutnya tas liku.

"Hingga saya tawarkan kepada kakak untuk mengambil rokok dalam tas," kata Kartono.

Dia menilai, dengan selalu diambilnya rokok dalam tas liku, pihak keluarga perlahan-lahan bisa menerima jalan hidupnya menjadi seorang liku.

"Hingga sekarang saya bersyukur keluarga bisa terima," jelasnya.

Ia pernah merasa cemas karena menjadi sosok yang kemayu.

Hal itu ditandai kesukaan Kartono saat muda melihat orang merias wajah.

Sumber: Tribun Bali
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved