Sisi Lain Budaya Sumba: Pria Berparang Ada Dimana-mana, Namun bukan Untuk Berperang
Parang yang dibawa berukuran panjang dan diselipkan di pinggang dengan dibalut kain. Hampir semua parang panjangnya sekitar 40 cm.
Penulis:
Yulis Sulistyawan
Nono Nale, Yusuf Kanata dan para pria lainnya mengatakan sama, bahwa katopo bukan untuk berkelahi atau menakut-nakuti orang lain.
Baca: Menengok Makam Besar nan Megah di Depan Rumah Warga Sumba, Isinya Bisa Belasan Jenazah
"Justru kami aman membawa katopo ini. Tidak pernah ada ceritanya kami berkelahi. Di sini kami saudara semua. Di larang keras berkelahi apalagi memakai katopo untuk berkelahi,"ujar Nono Nale.
Namun katopo tak berlaku di sekolahan.
Semua guru pria dan para siswa tak ada yang membawa katopo."Tak boleh membawa katopo ke sekolahan," ujar Simon Bebuma, kepala sekolah SDN Mata Wee Tame, Desa Lolomano.

Meski demikian, sepulang sekolah anak-anak pria diberi katopo untuk membantu orangtuanya berladang.
"Kalau berladang dan bekerja lainnya kita bawain katopo. Tapi untuk bermain-main tidak boleh," ujar Kristina.
Tribunnews juga berkesempatan mendatangi acara potong hewan sebagai penghormatan anggota keluarga yang baru saja meninggal.
Tepatnya di Desa Waimangga, Sumba Barat.
Saat itu terlihat puluhan pria memotong dua sapi dan dua kerbau. Mereka saling bahu menyembelih dan memotong daging dengan menggunakan katopo.

Belis
Tribunnews juga mendatangi desa adat, yakni Desa Tarung yang masih mempertahankan adat-istiadat Sumba.
Delapan pria saat itu sedang berkumpul di rumah wakil ketua adat yakni Rato Amalede.
Baca: Saat Gadis-gadis Cantik Terjun ke Pedalaman untuk Mengajar: Rela Kepanasan Hingga Riasan Luntur
Hadir juga ketua adat mereka yakni Rato Sugarbani Jala Amalale.