Senin, 1 September 2025

Penambangan Minyak Sumur Tua di Blora Hasilkan Rp 2 Miliaran Per Bulan

Deru suara mesin truk Mercedes Benz terdengar kencang di sekitar lokasi sumur penambangan minyak tradisional di Desa Ledok, Kecamatan Sambong.

Editor: Dewi Agustina
Tribun Jateng
Aktivitas penambangan minyak bumi di sumur tua di Desa Ledok, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora Jawa Tengah. 

TRIBUNNEWS.COM, BLORA - Deru suara mesin truk Mercedes Benz terdengar kencang di sekitar lokasi sumur penambangan minyak tradisional di Desa Ledok, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora.

Alat itu dimodifikasi sedemikian rupa agar bisa dipakai menimba minyak yang masih bercampur lumpur dan air.

Hasil penambangan itu selanjutnya disaring supaya bisa mendapatkan minyak mentah dan dikirim ke Pertamina.

Penambangan minyak tradisional masih dilakukan warga di wilayah itu sejak puluhan tahun silam, meski kini telah dibentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Blora Patra Energi (BPE) dalam pengelolaan penambangan minyak di sumur tua peninggalan zaman penjajahan Belanda itu.

Direktur Utama PT BPE, Christian Prasetya mengatakan, kehadiran BUMD dalam pengelolaan penambangan minyak di sumur tua itu adalah untuk memenuhi amanat peraturan menteri (Permen) Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) 1/2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Bumi Pada Sumur Tua.

Baca: Bawaslu Telusuri Dugaan Mahar Pilkada Jatim, Cirebon dan Kalteng

"Kami mendapatkan izin pengelolaan sumur tua di Ledok sejak 2017," katanya, kepada Tribun Jateng, baru-baru ini.

Selain di lapangan Ledok, Desa Ledok, Kecamatan Sambong, Christian menuturkan, PT B‎PE di Blora juga mendapatkan izin pengelolaan sumur tua di lapangan Semanggi dan Banyuasin, Kecamatan Jepon.

Di Ledok, BUMD yang berdiri pada 2008 itu mendapat izin pengelolaan 196 sumur.

Sementara di lapangan Semanggi dan Banyuasin, PT BPE mendapat izin pengelolaan 80 titik sumur.

Menurut dia, dari jum‎lah sumur yang ada di Ledok, baru 108 yang berproduksi.

Sedangkan di Jepon, dari 80 sumur yang ada, baru lima titik yang berproduksi.

"Pada 2018 ini kami ingin meningkatan produksi di Ledok dengan mengaktifkan produksi sekitar 30-40 sumur lagi," sambungnya.

Baca: Pria Tiga Anak Berperilaku Seks Menyimpang Sejak SMA Setelah Jadi Korban Temannya

Christian menyatakan, saat ini profil terbaik ‎pengelolaan sumur tua ada di lapangan Ledok.
Sehingga, tak heran pada 2017 para pengelola sumur di Ledok ini menyabet penghargaan pengeloaan terbaik dari Pertamina.

"Di sini lingkungan terjaga, karena kami sepenuhnya menggunakan alat tradisional untuk menambang. Semua menggunakan timba, tak ada yang pakai pompa," jelasnya.

Produksi
Christian mengungkapkan, pada ‎kurun waktu Juli-Desember 2017, produksi sumur tua di Ledok serta Semanggi dan Banyuasin mampu menghasilkan 29.962,48 barel.

Rinciannya, 27.915,37 dari 108 sumur di Ledok, serta 2.047,11 barel dari lima sumur di Semanggi.

"Dari hasil produksi tersebut, PT BPE memperoleh pendapatan dari bagi hasil sebesar ‎Rp 516,33 juta," tuturnya.

Menurut dia, PT BPE mendapat bagian 4 persen dari hasil produksi.

Baca: Yakuza Semakin Mati Kutu di Kalangan Perbankan dan Sekuritas Jepang

Sementara, perkumpulan sebagai operator mendapatkan 94,65 persen. Sisanya, 1,35 persen menjadi hak desa, sebagai dana pengembangan desa.

"Untuk bagian perkumpulan, rinciannya adalah 77 persen untuk penambang, 4,66 persen untuk truk tangki pengangkut, BPJS sebesar 1,76 persen, HSE (health and safety environmental) 6,02 persen, dan masuk ke perkumpulan 5,23 persen. Sistem bagi hasil yang sama, juga diterapkan di lapangan Semanggi dan Banyuasin," paparnya.

Dengan penghasilan yang diperoleh PT BPE itu bisa diketahui total hasil produksi di dua desa itu dalam enam bulan terakhir mencapai sekitar Rp 12,9 miliar.

Perhitungannya: jika nilai 4 persen sekitar Rp 516 juta, berarti 100 persen adalah Rp 12,9 miliar.

Bagi Pertamina, Christian mengatakan, mengelola sumur tua bisa dikatakan tak feasible secara hitung-hitungan ekonomi.

Namun, bagi BUMD dan terutama para penambang, profil sumur tua cukup menjanjikan pemasukan yang layak.

Baca: Pelajar Ikut Pesta Seks Kaum Homo di Kawasan Cianjur: Saya Dipaksa, Saya Masih Normal

"Untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat ‎lokal, ini sangat menarik, karena hampir semua pekerja di tambang minyak sumur tua adalah penduduk lokal. Ke depan prospeknya masih cerah untuk menjadi sumber pendapatan masyarakat," ungkapnya.

Selain mengutamakan penduduk lokal, semua pekerja yang terlibat di penamba‎ngan minyak sumur tua di bawah naungan BUMD PT BPE juga terdaftar sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan.

Pengawas Lapangan Perkumpulan Penambang Sumur Timba Ledok, Suprihantono bercerita, dirinya mengelola setidaknya delapan sumur tua.

Tetapi dari sejumlah itu, baru tiga sumur tua yang bisa berproduksi.

"Dari penghasilan tiga sumur tua, serta bekerja mengurus produksi di perkumpulan, satu bulan saya bisa mengantongi Rp 4 juta sampai Rp 5 juta tiap bulan," tuturnya.

Bersyukur
Supri mengaku bersyukur bisa mengantongi penghasilan bulanan sebesar itu.

Ia pun teringat‎ masa-masa sulit saat masih proses mencari sumur tua, dan sumur yang ada belum siap produksi.

"Dulu, habis gali-gali untuk menemuakan sumur, pulangnya nyari-nyari kayu bakar atau ngumpulin batu untuk dijual. Ya untuk mencukupi kebutuhan kehidupan sehari-hari, dulu memang 'rekoso'," ucapnya.

‎Dia menambahkan, penghasilan Rp 4 juta-Rp 5 juta per bulan saat ini dengan asumsi harga minyak mentah adalah Rp 2.454 per liter.

Baca: Tiga Syarat Prabowo untuk Calon Kepala Daerah, Salah Satunya soal Dana

"Saat harga minyak dulu sedang tinggi-tingginya, penghasilannya ya bisa mencapai Rp 7 juta," imbuhnya.

Meski demikian, Supri mengawali berkecimpung dalam pengelolaan sumur tua di Ledok dengan tidak mudah.

"Awalnya penasaran tentang tata cara produksi minyak di sumur tua. Pada 2007, ‎saya mulai tertarik mempelajarinya. Lama-lama, saya tertarik untuk berkecimpung langsung," ceritanya.

Ia kemudian meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta di Surabaya.

‎"Padahal waktu itu harga minyak mentah sedang jeblok, berkisar di Rp 385/liter," cerita ayah satu anak itu.

Pada 2007 itu, Supri pun masih terlibat dalam pencarian keberadaan sumur tua.

Ia dan kelompoknya yang beranggotakan total 17 orang kemudian berhasil menemukan titik sumur tua.‎

"Proses saya dulu mencari sumur tua itu hingga hampir satu tahun baru menemukan.‎ Pernah harus menggali hingga kedalaman 14 meter dengan peralatan manual seperti linggis, cangkul, dan semacamnya," tuturnya.

Usai ditemukan, sumur tak bisa langsung untuk berproduksi. Sebab, banyak kotoran maupun bekas peralatan yang sengaja ditimbun oleh Belanda pada waktu itu.

"Setelah ditemukan, butuh proses selama 4,5 tahun untuk siap produksi. Kenapa lama, karena kami biayanya swadaya, urunan, kalau kehabisan modal ya kami berhenti dulu dari ngerjain sumur, ngumpuli modal. Setelah modal siap, kami lanjut kerjain lagi," terangnya. (tribunjateng/lipsus/cetak)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan