Sri Sultan Ajak Generasi Muda Cintai Museum, Ini Berbagai Upaya yang akan Dilakukan Keraton
Sri Sultan Hamengku Buwono X menyebut saat ini pihak keraton Yogyakarta terus berupaya mengembalikan berbagai naskah atau manuskrip kuno asal Jogja
Editor:
Sugiyarto
Laporan Reporter Tribun Jogja, Agung Ismiyanto
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA- Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyebut saat ini pihak keraton Yogyakarta terus berupaya mengembalikan berbagai naskah atau manuskrip kuno milik asal Yogyakarta.
Berbagai cara ditempuh hingga ke luar negeri untuk menyempurnakan sejarah budaya Jawa.
Namun, minat generasi muda pada museum pun harus terus dipupuk sebagai tempat dimana manuskrip disimpan.
Hanya saja, berbicara manuskrip naskah kuno yang mesti terkait dengan museum, dimana manuksrip itu disimpan tidak berbanding lurus dengan tingkat kunjungannya.
Sultan menyebutkan, sejak memasuki sekolah, anak-anak sebenarnya sudah akrab dengan kata museum.
"Keakraban kosakata ini (museum) tidak berbanding lurus dengan minat kunjungannya, apalagi untuk mengkaji lebih dalam. Sebabnya, museum hanya terkesan sebagai tumpukan buku-buku lusuh dan berdebu, sehingga kaum milenial lebih memilih bercengkrama di mall dan cafe,” ujar Sultan saat membuka Simposium Internasional Budaya Jawa dan Naskah Keraton Yogyakarta di Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta, Selasa (5/3/2019).
Sultan pun berharap museum bisa diperbaharui penampilannya.
Hal ini untuk menarik minat kembali para siswa dan generasi milenial agar tetap tidak melupakan sejarah.
Diperlukan strategi mediasi dan sosialisasi yang menyesuaikan karakteristik pengunjung.
“Bisa berupa pameran tematik untuk daya tarik museum sebagai wisata edukasi. Atau dengan menggelar berbagai kegiatan menarik seperti pentas seni, seminar, konferensi hingga pertunjukan musik remaja yang berpusat di museum,” paparnya.
Upaya-upaya ini adalah satu dari beberapa cara untuk menjadikan museum sebagai pusat industri budaya, tempat kontemplasi yang inspiratif bagi munculnya karya kreatif.
Hal ini karena museum juga menjadi jembatan budaya antargenerasi sekaligus jendela budaya.
“Serta menjadi sarana untuk mengembangkan budaya dan peradaban bangsa ke depan,” urainya.
Pentingnya museum ini disampaikan Sultan HB X lantaran pihaknya berupaya untuk sejak awal mendapatkan kembali naskah-naskah kuno tersebut, bentuknya berupa apapun.
Dari informasi yang dihimpun Tribunjogja.com, simposium ini diselenggarakan di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta dalam memperingati Mangayubagya Sri Sultan Hamengku Buwono 30 Tahun Bertakhta.
Salah satu bentuk keberhasilan dari upaya tersebut ialah dengan dikembalikannya 75 naskah kuno milik Keraton Yogyakarta berupa digital oleh British Library, Inggris.
Lobi dan proses yang membutuhkan waktu lima tahunan ini diharapkan bisa diterapkan kembali ke depannya, baik oleh Keraton Yogyakarta maupun oleh daerah lain di Indonesia.
“Entah bentuknya asli dikembalikan, berupa fotokopian, bentuk digital atau apapun, yang penting kami tahu naskah-naskah itu kami dapat kembali. Karena sampai saat ini sepertinya masih susah untuk dikembalikan semuanya, saya lalu berpikiran, bagaimana kalau kita tulis kembali saja. Dari pada belum tentu yang asli kembali, kenapa tidak ditulis kembali saja, toh tenaga ada dan bisa,” jelas Ngarsa Dalem.
Dalam acara yang diadakan oleh Kawedanan Hageng Panitrapura ini, Sri Sultan pun menuturkan, selain 75 naskah digital, British Library juga mengembalikan 21 naskah kuno berupa mikrofilm dan naskah-naskah pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Hal ini dianggap beliau sebagai awal yang baik dan menjadi momentum untuk ada tindak lanjut lebih, dari setiap perjanjian antara Indonesia dengan negara manapun.
Baca: Museum Sejarah Purbakala Pleret Simpan Koleksi Peninggalan Mataram Islam
Sultan menyebut, naskah kuno adalah barang kehidupan bersejarah yang dianggap sebagai representasi dari berbagai sumber lokal yang paling otoritatif dan otentik, dalam memberikan informasi dan tafsir sejarah pada masa tertentu.
“Naskah kuno merupakan warisan budaya bangsa yang kandungan isinya mencerminkan beragam pemikiran pengetahuan adat istiadat dan perilaku masyarakat masa lalu,” jelasnya.
Dia juga mengatakan, dengan ditemukannya naskah kuno membuktikan bahwa sejak lama bangsa Indonesia sudah memiliki budaya literasi yang kini dikaji melalui pendekatan filologi.
Filologi ialah ilmu tentang bahasa kebudayaan pranata dan sejarah suatu bangsa yang bisa diketahui melalui penelitian untuk menafsir hakikat suatu tulisan.
Dalam kesempatan ini, Sultan juga menyampaikan terima kasih dan memberi apresiasi kepada para sejarawan dan peneliti yang berasal dari luar negeri atas perhatiannya untuk budaya Jawa.
Ketua Panitia Mangayubagya Sri Sultan Hamengku Buwono 30 Tahun Bertakhta, GKR Hayu mengatakan, upaya pengembalian naskah kuno milik Yogyakarta ini juga menimbulkan argumen tentang kemampuan untuk merawat.
Untuk saat ini, dengan telah dikembalikannya sebagian kecil naskah oleh British Library, Keraton Yogyakarta ingin membuktikan pemanfaatannya.
“Dengan hanya dikasih file digitalnya saja, kita ingin menunjukkan kalau kita juga bisa memanfaatkan itu untuk berbagai kegiatan, seperti simposium, bedah naskah, hingga mungkin saja bisa menghasilkan rekonstruksi tari misalnya. Yang jelas kita tidak diam saja,” paparnya.
Dia juga mengatakan, simposium ini ingin berfokus pada, sebenarnya Keraton kehilangan apa, atau Jogja kehilangan apa.
Dengan begitu, akan ada upaya inventarisasi apa saja yang hilang dan keberadaanya di mana, termasuk naskah-naskah kuno.
“Kalau sudah begitu, baru bisa dibenahi dengan mulai mencari satu-satu. Dan dari pengalaman mencari ke British Library, kendalanya ialah naskah kuno yang diinginkan ternyata tersebar, bahkan ada yang menjadi milik individu-individu. Kalau ditanya harapan, tentu maunya kembali semua, tapi kan tidak semudah itu,” imbuhnya. (TRIBUNJOGJA.COM)