DPP GMNI Tolak Keputusan KLHK Tentang Perubahan Fungsi Cagar Alam Mutis Timau NTT
Kementerian LHK sampai dengan saat ini tak pernah merencanakan pembangunan atau investasi wisata alam dalam bentuk yang masif di Taman Nasional Mutis
Penulis:
Imanuel Nicolas Manafe
Editor:
Hasiolan Eko P Gultom
DPP GMNI Tolak Keputusan KLHK Tentang Perubahan Fungsi Cagar Alam Mutis Timau Timor NTT
Nico Manafe/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menyatakan penolakannya terkait keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI yang tertuang dalam Keputusan Menteri KLHK Nomor 946 Tahun 2024 yang mengubah status Cagar Alam Mutis Timau di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi Taman Nasional.
Selain itu, GMNI juga menolak perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi Taman Nasional yang terkandung di dalam keputusan tersebut.
Menurut Ketua Bidang Kaderisasi DPP GMNI Patra Dewa, Gunung Mutis yang terletak di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), bukan hanya memiliki nilai ekologis yang tinggi, tetapi juga merupakan simbol spiritual dan budaya yang mendalam bagi masyarakat adat Timor.
Dia mengatakan gunung tersebut telah lama dianggap sebagai tempat sakral, berfungsi sebagai pusat kehidupan dan sumber kearifan lokal bagi masyarakat Timor.
"Tempat-tempat ritual adat yang ada di sekitar Gunung Mutis telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat Timor," ujarnya dalam keterangan yang diterima, Sabtu (9/11/2024).
Dengan mempertimbangkan nilai filosofis dan sejarah peradaban masyarakat Timor yang terhubung erat dengan Gunung Mutis, Patra mengatakan perubahan fungsi kawasan ini dapat mengancam kelestarian tradisi dan keberlanjutan hidup masyarakat adat.
"Kami percaya bahwa keputusan ini tidak mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat, serta pentingnya pelestarian warisan budaya yang telah ada berabad-abad lamanya," Ujar Patra.
DPP GMNI mendesak agar Pemerintah Republik Indonesia, khususnya KLHK, untuk melakukan evaluasi ulang terhadap keputusan ini dan mempertimbangkan dengan seksama kepentingan budaya, sosial, dan spiritual masyarakat adat Timor.
GMNI juga mendorong agar proses pengambilan keputusan terkait kawasan ini melibatkan partisipasi aktif masyarakat adat dan melibatkan kajian yang lebih mendalam mengenai aspek sosial dan budaya yang terkandung di dalamnya.
Patra Dewa berharap agar Gunung Mutis tetap dihormati dan dilindungi sebagai warisan budaya yang tidak hanya bernilai ekologis tetapi juga bernilai tinggi bagi kehidupan masyarakat Timor.
"Sebagai generasi muda yang peduli dengan pelestarian lingkungan dan budaya, kami siap untuk terus menyuarakan penolakan terhadap keputusan yang dapat merugikan masyarakat adat Timor dan keberagaman budaya Indonesia," tutur Patra.

Bukan Penurunan Status Kawasan Hutan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam siaran persnya beberapa waktu lalu telah menegaskan, perubahan fungsi cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional bukan penurunan status kawasan hutan.
KLHK lebih fokus terhadap upaya pelestarian Taman Nasional Mutis Timau yang terdiri dari wilayah eks Cagar Alam dan Hutan Lindung, perlu dikelola sebagai sebuah kesatuan bentang alam melalui sistem zonasi.
Hal ini penting untuk mempertahankan kondisi habitat, biofisik serta landscape kawasan Cagar Alam dengan tambahan ruang yang lebih luas dari eks kawasan hutan lindung.
KLHK mengklarifikasi kalau dalam terminologi Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, perubahan fungsi dari Hutan Lindung dan Cagar Alam menjadi Taman Nasional, tidak dikenal istilah penurunan fungsi.
Hal yang dilakukan dengan perubahan fungsi tersebut merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan dan kegiatan eksisting yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Dengan fungsi sebagai Cagar Alam maka aktivitas pemanfaatan yang dapat dilakukan hanya untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
Sedangkan aktivitas eksisting yang telah dilakukan oleh masyarakat setempat, antara lain mengambil madu hutan, mengambil kayu bakar, mengambil lumut dan jamur, pemanfaatan air, menggembalakan ternak, melakukan acara ritual agama/budaya/religi serta wisata alam, dengan fungsinya sebagai Cagar Alam maka semua aktifitas tersebut tidak dimungkinkan.
Menurut KLHK, upaya perubahan fungsi menjadi taman nasional akan mengakomodasi semua kepentingan tersebut.
KLHK mengungkapkan akan dilakukan alokasi kawasan untuk kepentingan perlindungan sistem penyangga kehidupan serta pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya pada zona inti dan zona rimba pada saat setelah dilakukan pengaturan zonasi pengelolaan.
Di sisi lain, aktivitas masyarakat selama ini akan diakomodasi dan dimungkinkan secara legal melalui alokasi zona tradisional, zona religi dan zona pemanfaatan. Tidak semua bagian kawasan akan dijadikan sebagai zona pemanfaatan untuk kepentingan wisata.
Dalam proses pengaturan zonasi, KLHK menegaskan akan dilakukan upaya konsultatif dengan semua unsur masyarakat termasuk masyarakat adat dan pemerintah melalui konsultasi publik.
Kemudian, KLHK menegaskan proses perubahan fungsi Hutan Lindung Mutis Timau dan Cagar Alam Mutis Timau ditempuh sesuai prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.
Proses tersebut meliputi usulan atau proposal, penelaahan dokumen usulan pada Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, pembentukan tim terpadu, studi atau penelitian lapangan oleh tim terpadu, penyampaian laporan dan rekomendasi oleh Timdu kepada Menteri LHK, proses penelaahan laporan serta penerbitan Keputusan Menteri LHK.
Tim terpadu menurut KLHK memiliki pilihan untuk tidak merekomendasikan perubahan fungsi, merekomendasikan sebagian ataupun merekomendasikan seluruhnya.
Tim Terpadu Perubahan Fungsi Hutan Lindung Mutis Timau dan Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional Mutis Timau melalui salah satu anggotanya Dr. Kayat, seorang peneliti BRIN menjelaskan bahwa Tim terpadu yang dibentuk Kementerian LHK meliputi unsur Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Kemudian Perguruan Tinggi Negeri, Direktorat Jenderal PKTL, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Sekretariat Jenderal Kementerian LHK, Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Balai/institusi pengelola Kawasan hutan konservasi yang diusulkan dan instansi lain yang terkait.
Wakil dari lembaga/instansi Pemerintah yang ditunjuk dalam Tim Terpadu harus memenuhi syarat pengalaman dan memiliki latar belakang bidang ilmu dan kompetensi yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian terpadu meliputi bidang: biofisik, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan kelembagaan. Tim Terpadu bekerja dengan metode ilmiah sehingga menghasilkan naskah hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
KLHK mengungkapkan, hasil penelitian Tim Terpadu adalah usulan perubahan fungsi dari Kawasan Cagar Alam Mutis Timau yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas ±12.315,61 (Dua Belas Ribu Tiga Ratus Lima Belas dan Enam Puluh Satu Perseratus) hektar dan usulan perubahan fungsi dari Kawasan Hutan lindung Mutis Timau yang terletak di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur direkomendasikan sebagian seluas ±66.473,83 (Enam Puluh Enam Ribu Empat Ratus Tujuh Puluh Tiga Koma Delapan Puluh Tiga) hektar direkomendasikan untuk diubah fungsi menjadi Taman Nasional.
Tidak seluruh luasan Kawasan Hutan Lindung yang diusulkan menjadi Taman Nasional (102.125 ha) disetujui oleh Tim Terpadu.
Hal ini dilakukan mengingat pada lokasi tersebut ditemukan terdapat program perhutanan sosial, persetujuan penggunaan kawasan hutan dan indikasi penyelesaian penguasaan tanah dalam rangka penataan kawasan hutan (PPTPKH).
KLHK juga mengklaim telah melakukan proses dialog perubahan menjadi Taman Nasional jauh pada saat dilakukan kegiatan Evaluasi Kesesuaian Fungsi Cagar Alam sebelum dilakukannya proses usulan perubahan fungsi.
Terkait kekhawatiran akan rusaknya hutan akibat aktivitas pembangunan untuk investasi perlu dipahami bahwa dalam pengelolaan Taman Nasional, KLHK menegaskan telah dilakukan pembagian ruang yang dilakukan sesuai kriteria kondisi biofisik, keberadaan satwa dan tumbuhan liar, kondisi landscape, keberadaan situs budaya/ sejarah serta aspek lainnya. Pengaturan zonasi meliputi: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus.
Selanjutnya pada zona pemanfaatan akan dilakukan pengaturan menjadi ruang usaha dan ruang publik.
Proses pembangunan sarana wisata pada kawasan Taman Nasional sesuai ketentuan peraturan perundangan memang dimungkinkan, namun hal tersebut hanya dapat dilakukan di ruang usaha pada Zona Pemanfaatan.
Dengan pengaturan ruang ini maka aktivitas investasi tidak akan terjadi pada wilayah selain ruang usaha pada zona pemanfaatan.
Pengaturan zona ini juga akan membatasi akses pada kawasan taman nasional, masyarakat hanya dapat melakukan aktifitas pada kawasan Taman Nasional yang sesuai dengan peruntukan zona, tidak diperkenankan melakukan aktifitas wisata pada Zona Inti.
Kementerian LHK sampai dengan saat ini tidak pernah merencanakan pembangunan atau investasi wisata alam dalam bentuk yang masif di Taman Nasional Mutis Timau.
Anggota DPR Minta Pembangunan di Pulau Padar Taman Nasional Komodo NTT Tak Terburu-buru |
![]() |
---|
5 Destinasi Wisata Alam Indonesia yang Jadi Langganan Selebriti Dunia |
![]() |
---|
Wisata Edukasi di Alam Indonesia: Dari Baluran hingga Gunungkidul |
![]() |
---|
Risyad Fahlefi dan Patra Dewa Terpilih Aklamasi di Kongres XXII GMNI Bandung |
![]() |
---|
Sujahri Somar Dipilih Sebagai Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.