Senin, 11 Agustus 2025

Dedi Mulyadi Pimpin Jabar

Polemik Study Tour di Jawa Barat, Dinilai Perlu Kajian Mendalam Sehingga Tak Menimbulkan Kerugian

Ketimbang menebang sektor bisnis pariwisata, Ia menyarankan agar semua pihak harus mau dan mampu memastikan kepatuhan pada standar keselamatan

Penulis: Reza Deni
Istimewa
POLEMIK STUDY TOUR - Founder Restorasi Jiwa Indonesia, Syam Basrijal menyarankan agar polemik tentang larangan study tour oleh Pemprov Jawa Barat dikaji lebih mendalam dan holistik sehingga tidak merugikan satu belah pihak. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Founder Restorasi Jiwa Indonesia, Syam Basrijal, menyarankan agar polemik tentang larangan study tour oleh Pemprov Jawa Barat dikaji lebih mendalam dan holistik sehingga tidak merugikan satu belah pihak.

Pemprov Jawa Barat yaitu lembaga pemerintahan yang menjalankan fungsi administrasi, pembangunan, dan pelayanan publik di wilayah Provinsi Jawa Barat, Indonesia.

Baca juga: Didemo gegara Larang Study Tour, Dedi Mulyadi Tegas Bedakan dengan Piknik

"Pemimpin bijaksana tidak menunda tindakan, tetapi ia memastikan setiap langkah lahir dari analisis menyeluruh. Ia bertanya, 'Bagaimana saya bisa menghentikan masalah ini sekarang, sambil memastikan semua pihak bisa berjalan lagi dengan aman?'" kata Syam Basrijal kepada wartawan, Sabtu (9/8/2025).

Dia lantas menyinggung soal tragedi yang merenggut nyawa pelajar akibat aktivitas study tour yang menjadi salah satu alasan munculnya kebijakan larangan study tour tersebut.

Baca juga: Pemkot Bandung Bolehkan Siswa SD dan SMP Study Tour, Dedi Mulyadi Minta Wisata Daerah Diperbaiki

Study Tour adalah kegiatan belajar yang dilakukan di luar lingkungan kelas melalui kunjungan ke tempat-tempat edukatif, seperti museum, situs sejarah, perusahaan, universitas, atau kawasan alam.

Tujuannya adalah untuk memperluas wawasan peserta dan menghubungkan teori yang dipelajari di kelas dengan pengalaman nyata di lapangan.

Menurut Syam, insiden tersebut memang jelas mengguncang nurani. Bahkan ia menekankan tidak ada yang mau membantah bahwa keselamatan harus menjadi prioritas. 

Namun, pertanyaan besar selanjutnya menurut Syam adalah, bagaimana cara agar pemangku kebijakan menjaga keselamatan tanpa mengorbankan hak belajar, keberlangsungan ekonomi lokal, dan rasa saling percaya antara pemerintah dan masyarakat.

Jika seorang pemimpin yang reaktif, tentu bisa jadi mengambil kebijakan yang kurang tepat, yakni langsung melarang kegiatan yang menjadi bagian dari peristiwa kelam tersebut.

Sehingga dampak yang terjadi menurut kalkulasinya ada dua, pertama untuk jangka pendek dan kedua adalah untuk jangka panjang.

"Publik melihat pemimpin 'bergerak cepat', dan rasa khawatir sementara mereda. Namun di balik itu, ada konsekuensi yang tidak kecil," ujarnya. 

Dampak besar itu diurai Syam antara lain, bahwa hak belajar kontekstual siwa akan terpangkas. 

Karena study tour yang dirancang dengan baik memberi siswa pengalaman belajar berbasis observasi, interaksi sosial, dan keterhubungan dengan dunia nyata, hal yang sulit dicapai di ruang kelas saja.

Selain itu ada dampak ekonomi yang meluas. Di mana industri transportasi yang sudah berjaalan, pariwisata, dan UMKM lokal kehilangan mata pencaharian yang sebelumnya bergantung pada rombongan pelajar.

Dampak besar selanjutnya adalah degradasi terhadap public trust kepada pemerintah atau pemangku kebijakan, bahwa ruang dialog memang tidak diakomodir dengan baik untuk mengurai masalah yang ada di tengah masyarakat.

"Keputusan yang diambil tanpa dialog dengan pihak terdampak sering dipersepsikan sebagai langkah sepihak, meskipun niatnya baik," tuturnya.

Ketimbang menebang sektor bisnis pariwisata, Ia menyarankan agar semua pihak duduk bersama dalam menata persoalan ekosistem yang satu ini, di mana semua pihak harus mau dan mampu memastikan kepatuhan pada standar keselamatan.

"Standar keselamatan wajib diberlakukan, mulai dari uji laik jalan armada, pembatasan usia kendaraan hingga pelatihan sopir," usulnya.

Selain itu, ada juga praktik audit dan sertifikasi pada vendor transportasi untuk destinasi wisata yang dilakukan secara berkala, demi meminimalisir potensi kecelakaan yang bisa saja terjadi.

Selain itu, dari sisi pengguna yakni siswa dan pihak sekolah juga perlu diliterasi agar melakukan perencanaan yang lebih matang untuk melaksanakan study tour maupun rekreasi, sehingga dapat mengakomodir semua pihak, termasuk soal pembiayaan yang tidak membebani peserta tour.

"Masa transisi diberikan agar sekolah yang telah merencanakan kegiatan dapat menyesuaikan jadwal dan anggaran," katanya.

Di sisi lain, Syam Basrijal menerangkan bahwa kepemimpinan restoratif perlu dilihat secara serius karena menjadi lapisan terdalam dari sebuah kebijaksanaan. Ia tidak hanya memperbaiki sistem, tetapi juga memulihkan luka yang ditinggalkan. 

"Pemimpin restoratif memahami bahwa tragedi tidak hanya meninggalkan kerugian fisik, tetapi juga meninggalkan trauma dan kehilangan rasa percaya," ucapnya.

Untuk itu, ia menerangkan bahwa ada sejumlah model restoratif yang dapat diambil oleh para peimpin dan pemangku kebijakan. Antara lain dengan dialog multipihak. 

Dalam konteks study tour tersebut, sebaiknya ajak keluarga korban, guru, siswa, pelaku industri transportasi, pelaku wisata, asosiasi profesi, dan pemerintah duduk bersama membahas solusi. 

Selanjutnya, lakukan transparansi data dan proses sehingga publik diberi akses informasi tentang hasil audit keselamatan, daftar vendor yang layak, dan rencana pencegahan kecelakaan.

Selain itu, pendidikan budaya keselamatan terhadap siswa, guru, dan orang tua juga perlu dlakukan. Mereka semua sebaiknya dilibatkan dalam pelatihan dan kesadaran risiko atas keselamatan jalan.

Kemudian penghormatan terhadap korban. Syam Basrijal menyebut bahwa tragedi dijadikan pelajaran bersama yang diintegrasikan ke dalam kebijakan dan kurikulum, bukan sekadar dikenang pada hari peringatan. 

"Kepemimpinan restoratif mengubah regulasi menjadi kesepakatan kolektif yang dijaga oleh semua pihak, bukan sekadar perintah dari atas. Hasilnya bukan hanya aman di atas kertas, tetapi aman dalam kesadaran kolektif," tuturnya.

Baca juga: Komisi X DPR Siap Fasilitasi Dialog soal Polemik Larangan Study Tour Gubernur Jabar Dedi Mulyadi

Aturan Larangan Study Tour

Larangan study tour yang diterapkan Dedi Mulyadi termuat dalam SE Gubernur Jawa Barat Nomor 45/PK.03.03/KESRA.

Di poin tiga SE itu, tertulis, "Sekolah dilarang membuat kegiatan piknik, yang dibungkus dengan kegiatan study tour, yang memiliki dampak pada penambahan beban orang tua. Kegiatan tersebut bisa diganti dengan berbagai kegiatan berbasis inovasi, seperti mengelola sampah secara mandiri di lingkungan sekolah, mengembangkan sistem pertanian organik, aktivitas peternakan, perikanan dan kelautan, serta meningkatkan wawasan dunia usaha dan industri."

Selain study tour, kegiatan wisuda maupun perpisahan di sekolah juga dilarang. Seperti yang termuat pada poin empat:

"Sekolah dilarang membuat kegiatan wisuda, perpisahan atau penamaan lainnya pada seluruh jenjang pendidikan, mulai dari Pendidikan Usia Dini, Pendidikan Dasar, sampai Pendidikan Menengah yang memiliki dampak pada penambahan beban orangtua. Kegiatan tersebut hanya seremonial yang tidak memiliki makna akademik bagi perkembangan pendidikan di Indonesia."

Terkait alasan melarang kegiatan study tour, Dedi pernah menjelaskan dalam sebuah unggahan video di akun Instagramnya, pada 25 Februari 2025.

Dedi mengungkapkan, larangan itu berlaku bagi apapun kegiatan yang berkaitan dengan study tour, yang membebani keuangan orang tua siswa.

Sebab, selama ini, diketahui biaya study tour selalu dibebankan secara penuh kepada pihak wali murid.

"Saya tegaskan kembali ya, yang kami larang itu adalah kegiatan-kegiatan study tour, kunjungan ilmiah, study industry, kunjungan industri, apapun namanya, yang di dalamnya melakukan pembebanan kepada orang tua siswa," kata Dedi, Selasa, di akun Instagram @dedimulyadi71.

Menurut Dedi, selama ini sebagian besar orang tua siswa harus berutang demi membayar biaya study tour.

Hal itu, lanjut dia, justru menjadi beban ekonomi bagi orang tua siswa karena memiliki tanggungan utang.

"Banyak orang tua siswa yang tidak dalam posisi punya kemampuan keuangan harus ngutang ke sana kemari, yang berakibat pada beban ekonomi hidupnya semakin berat," imbuh Dedi.

Alasan selanjutnya yang membuat Dedi tegas melarang study tour adalah soal keamanan.

Dedi menyinggung kecelakaan SMK di Depok ketika melakukan study tour yang berujung pada meninggalnya 11 siswa.

Menurutnya, kecelakaan tersebut harus dijadikan pelajaran penting agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

"Kedua, jaminan keselamatan terhadap siswa, seperti terjadi pada waktu kecelakaan SMK di Depok yang mengakibatkan meninggalnya jumlah org yang banyak."

"Itu adalah pelajaran penting bagi kita semua agar tidak mengulangi peristiwa yang sama," pungkas Dedi.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan