Rabu, 27 Agustus 2025

Zulia Mahendra, Putra Amrozi: Makna Kemerdekaan ke-80 dan Jalan Menuju Kedamaian

Bendera Merah Putih, yang kini dikibarkannya dengan bangga sejak HUT Kemerdekaan ke-72 pada 2017, pernah ia tolak selama belasan tahun

Surya/Zaimul Haq
ZULIA PUTRA AMROZI - Zulia Mahendra (kiri), putra sulung Amrozi pelaku Bom Bali 2002 melatih tinju, Sabtu (16/8/2025). 

TRIBUNNEWS.COM - Pada sore menjelang Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia (RI), 16 Agustus 2025, di Lamongan, Zulia Mahendra, putra sulung Amrozi, pelaku Bom Bali 2002, duduk bercerita tentang perjalanan hidupnya.

Dulu, Mahendra pernah diliputi dendam.

Ketika ayahnya dieksekusi mati pada 2008, dia membentangkan spanduk bertuliskan "Saya Akan Teruskan Perjuangan Abi."

Bendera Merah Putih, yang kini dikibarkannya dengan bangga sejak HUT Kemerdekaan ke-72 pada 2017, pernah ia tolak selama belasan tahun.

Apa yang mengubahnya?

Cerita ini menggambarkan perjalanan seorang pria yang menemukan damai di tengah luka masa lalu.

Hari Kemerdekaan ke-80 dimaknai Mahendra sebagai kebebasan mengatur nasib bangsa dengan adil, bersatu, dan mandiri.

Dengan suara tenang namun penuh makna, ia berkata, "Kebebasan itu soal menciptakan persatuan yang kokoh, tanpa tergantung pada orang lain atau negara lain. Tapi, kita nggak boleh lupa perjuangan para pejuang."

Meski sibuk melatih petinju muda di sekolah tinju yang dirintisnya, Mahendra tetap merayakan momen kemerdekaan dengan sederhana.

"Belum sempat bikin event besar, masih padat jadwal. Jadi, seadanya dulu, bikin perlombaan kampung untuk anak-anak dan warga," ujarnya sambil tersenyum, dalam wawancara eklusif dengan Hanif Manshuri, jurnalis Surya di Lamongan.

Perjalanan Mahendra menuju kedamaian tidak mudah.

Baca juga: Pasca-Penangkapan 2 ASN di Aceh oleh Densus 88, Kemenag Bakal Perkuat Pencegahan Terorisme 

Dulu, kemarahan membakar hatinya.

"Hilangnya nyawa seorang ayah, ditambah lihat bekas tembakan pas mau dimakamkan, itu yang bikin marah," kenangnya.

Ia bahkan pernah meminta pamannya, Ali Fauzi, mantan kombatan, mengajarinya strategi perang dan cara membuat bom.

"Emosi banget waktu itu. Anak kehilangan bapak dieksekusi, gimana nggak marah? Sampai coba belajar bikin petasan segala. Untungnya, nggak diajarin beneran," ceritanya dengan nada yang kini jauh lebih reda.

Titik baliknya datang dari keluarga dan pendekatan pemerintah.

"Saya nggak mau anak-anak mengalami apa yang saya rasain. Damai itu indah," katanya.

Nasehat dari Suhardi Alius, eks Kepala BNPT, menjadi pengubah besar.

Kala itu ia diberi pesan agar fokus untuk bekerja.

Dengan harapan, pekerjaan atau kesibukan bisa mengubah pemikiran.

Wawancara eklusif Zulia Mahendra, putra sulung Amrozi
HUT KEMERDEKAAN ZULIA - Wawancara eklusif Zulia Mahendra, putra sulung Amrozi pelaku Bom Bali 2002 dengan Hanif Manshuri, jurnalis Surya di Lamongan, Sabtu (16/8/2025).

"Pesannya sederhana: ‘Nggak usah berbuat aneh-aneh, kerja aja dulu.’ Kerja itu bisa ngubah pemikiran."

Kini, Mahendra fokus pada hal positif, seperti mendirikan sekolah tinju untuk anak-anak dan remaja, bahkan kelas olahraga untuk ibu-ibu, sebagai cara membangun kehidupan yang lebih baik.

Dendam itu kini mereda, meski ia akui belum sepenuhnya hilang.

"Manusiawi lah, dulu masih ada. Tapi sekarang coba berpikir positif, lupain yang dulu, buka lembaran baru," ungkapnya.

Soal dirangkul negara, ia bilang, "Itu persepsi masing-masing. Yang penting mandiri dulu. Dukungan dan doa ada, asal pemerintah bikin kebijakan yang baik. Kadang ada oknum yang memancing masalah, tapi kita minimalisir pemikiran negatif."

Hubungan Mahendra dengan Amrozi, ayahnya, terasa hangat dan penuh keakraban.

Baca juga: Baku Tembak di Srinagar, 3 Teroris Tewas Termasuk Otak Serangan Pahalgam

Baginya, Amrozi seperti seorang teman dan bukan sekedar orangtua biasa.

"Abi itu kayak teman, bukan orang tua-anak biasa. Kita main bareng, balapan bareng, bersaing di arena. Nggak harus hormat banget, canda bareng," kenangnya.

Meski jarang bersama sejak kecil, momen terakhir di Nusakambangan meninggalkan pesan mendalam.

"Bantu orang selagi bisa. Kalau nggak bisa, setidaknya jangan nyusahin orang."

Pesan itu masih terngiang, mendorongnya mendekat dengan keluarga di Tenggulun dan membantu orang lain bersama Ali Fauzi.

Andai Amrozi ada di sisinya, Mahendra membayangkan mereka akan "begejekan" alias bercanda seperti teman.

"Nggak pernah serius, kayak temen aja," katanya sambil tertawa kecil.

Kini, sebagai bagian dari Lingkar Perdamaian, Mahendra menjalani misi sederhana namun bermakna.

"Secara nggak langsung, saya berdakwah. Biar napiter dulu dianggap seperti apa adanya, tapi keluarga di Tenggulun bisa lebih baik," tuturnya.

Kisah Zulia Mahendra adalah cerminan harapan.

Dari luka kehilangan dan kemarahan, ia menemukan jalan menuju kedamaian, mengajarkan bahwa bahkan dari masa lalu yang kelam, bisa lahir lembaran baru yang penuh makna.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan