Putusan Praperadilan Gugatan Eks Sekretaris DPRD Riau, Ini Tanggapan Muflihun dan Polda Riau
Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru mengabulkan sebagian permohonan praperadilan yang diajukan eks Sekretaris DPRD Riau.
Editor:
Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru mengabulkan sebagian permohonan praperadilan yang diajukan oleh tim kuasa hukum Muflihun terkait penyitaan aset berupa rumah di Pekanbaru dan apartemen di Batam oleh Polda Riau.
Muflihun adalah seorang birokrat asal Provinsi Riau, Indonesia, yang dikenal karena pernah menjabat sebagai Sekretaris DPRD Provinsi Riau (2020–2022) dan Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru (2022–2024).
Belakangan, ia menjadi sorotan publik setelah terlibat dalam kasus dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif (SPPD) saat menjabat sebagai Sekretaris DPRD Riau. Ia diperiksa oleh Polda Riau dan kemudian melakukan gugatan praperadilan karena sejumlah asetnya disita penyidik.
Putusan praperadilan di atas dibacakan hakim tunggal Dedi dalam sidang praperadilan yang digelar di PN Pekanbaru, Rabu (17/9/2025).
Dalam amar putusannya, hakim menyatakan penyitaan yang dilakukan penyidik tidak sesuai prosedur hukum, sehingga aset milik Muflihun harus dikembalikan.
Namun putusan praperadilan itu menyisakan beberapa pertanyaan, misalnya terkait Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru justru menganulir penetapan hakim terkait penyitaan aset dalam perkara dugaan korupsi yang tengah ditangani Polda Riau.
Selain itu, PN Pekanbaru menganulir penetapan yang sebelumnya dikeluarkan oleh PN Batam dan juga membatalkan izin sita khusus yang mereka keluarkan sendiri.
Selain itu, dalam pertimbangannya, hakim menyebut bahwa pemohon (Muflihun) berpegang pada keterangan tidak adanya kerugian negara dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi perjalanan dinas luar daerah fiktif di Sekretariat DPRD Riau tahun anggaran 2020-2021.
Hal ini Merujuk pada hasil audit keuangan yang dilakukan BPK untuk TA. 2020-2021.
Di sisi lain, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan Audit Penghitungan Kerugian Negara (PKN) atas permintaan penyidik.
Audit tersebut bersifat audit dengan tujuan tertentu. Dari hasil audit BPKP, ditemukan kerugian negara yang jauh lebih besar, yakni mencapai Rp195 miliar lebih.
Putusan Hakim
Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Pekanbaru, Dedi SH MH, mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan oleh mantan Sekretaris DPRD Riau, Muflihun, terhadap penyidik Subdit III Tipikor Reskrimsus Polda Riau.
Putusan yang dibacakan hakim dalam sidang lanjutan pada Rabu (17/9/2025) lalu menyatakan penyitaan beberapa aset milik Muflihun oleh kepolisian, dinilai tidak sah.
Dalam putusannya, Hakim Dedi menyatakan tindakan penyidik yang menyita satu unit rumah di Pekanbaru dan satu unit apartemen di Batam adalah tidak sah.
"Tindakan termohon melakukan penyitaan terhadap unit rumah yang beralamat Jalan Banda Aceh, Kelurahan Tangkerang Timur, Kota Pekanbaru dan 1 unit apartemen yang terletak di Komplek Nagoya City Walk, Kota Batam tidak sah," ujar Hakim Dedi.
Dengan dikabulkannya petitum tersebut, hakim juga menyatakan sejumlah surat perintah dan penetapan penyitaan yang diterbitkan oleh Polda Riau dan pengadilan cacat hukum dan batal demi hukum.
Hakim kemudian memerintahkan penyidik untuk mencabut status penyitaan pada aset-aset tersebut dan mengembalikan kedudukan hukum serta kepemilikan Muflihun seperti semula.
Adapun pertimbangan hakim mengabulkan gugatan praperadilan Muflihun, yakni aset yang disita merupakan hasil sah dari penghasilan Muflihun selama menjabat sebagai pejabat negara dan sudah terdaftar dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Selanjutnya, tidak ada bukti yang menunjukkan aset tersebut diperoleh dari tindak pidana SPPD fiktif.
Penyidik hanya mendasarkan penyitaan pada keterangan saksi semata.
Kemudian, tidak ada audit resmi dari BPK, BPKP, maupun Kejaksaan yang menyatakan adanya kerugian negara dan mengaitkannya dengan Muflihun.
Dikabulkan sebagian
Meskipun memenangkan gugatan terkait asetnya, beberapa permohonan Muflihun lainnya tidak dikabulkan oleh hakim.
Seperti permohonan agar hakim menyatakan laporan polisi tidak sah, menghentikan penyidikan dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan permintaan ganti rugi materiil maupun imateriil.
Hakim menganggap permohonan tersebut bukan kewenangannya, apalagi status Muflihun saat ini masih sebatas terlapor, bukan tersangka.
Terkait hal ini, Kabid Humas Polda Riau Kombes Pol Anom Karibianto mengatakan, pihaknya menghormati putusan hakim tersebut.
“Kita hormati keputusan hakim praperadilan, kami akan pelajari terlebih dahulu pertimbangan hakim sehingga menerima gugatan penggugat setelah kami menerima risalah putusan,” ujarnya.
Anom memastikan, meski gugatan Muflihun diterima hakim, namun penyidikan terkait kasus korupsi SPPD fiktif di Sekretariat DPRD Riau, tetap berjalan.
“Kalau penyidikan tetap berjalan karena yang diterima gugatan oleh hakim praperadilan hanya terkait penyitaan aset 1 rumah di Pekanbaru dan 1 apartemen di Batam,” tuturnya.
Muflihun minta asetnya dikembalikan
Pasca memenangkan gugatan praperadilan, Muflihun melalui tim kuasa hukumnya mendesak Polda Riau untuk segera mengembalikan aset-aset yang disita.
Hal ini menyusul putusan Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru yang menyatakan penyitaan tersebut tidak sah dan batal demi hukum.
Menurut kuasa hukum Muflihun, Ahmad Yusuf, putusan yang dibacakan pada 17 September 2025 secara tegas membatalkan penyitaan rumah di Pekanbaru dan apartemen di Batam.
“Amar putusan yang dibacakan majelis hakim pada 17 September 2025 jelas menyatakan bahwa penyitaan rumah di Pekanbaru dan apartemen di Batam tidak sah dilakukan. Itu sudah batal demi hukum," katanya, Kamis (18/9/2025).
Kemenangan praperadilan ini juga diklaim sebagai bukti bahwa Muflihun tidak terlibat dalam dugaan kasus surat perintah perjalanan dinas (SPPD) fiktif.
Ahmad Yusuf menyatakan, bukti yang mereka ajukan ke pengadilan menunjukkan tidak adanya kerugian negara.
"Klien kami tidak pernah melakukan SPPD fiktif. Dari bukti yang kami ajukan, hakim menilai tidak ada kerugian negara yang timbul," jelas Ahmad.
Ia menambahkan, penyitaan yang dilakukan penyidik dianggap melanggar KUHAP, asas due process of law, dan konstitusi.
Oleh karena itu, selain meminta pengembalian aset, tim kuasa hukum juga mengajak masyarakat dan aparat penegak hukum untuk menghentikan apa yang mereka sebut sebagai "kriminalisasi hukum".
Ke depannya, tim kuasa hukum Muflihun berencana mengambil langkah hukum lanjutan untuk memperjuangkan keadilan dan kerugian yang dialami kliennya.
Kronologi dan perjalanan kasus
Awal Mula Kasus
Kasus bermula dari dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Sekretariat DPRD Riau pada tahun anggaran 2020–2021.
Polda Riau mulai melakukan penyelidikan atas laporan adanya perjalanan dinas yang tidak pernah dilakukan namun tetap dicairkan anggarannya.
Audit dan Temuan Kerugian Negara
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit keuangan dan menemukan pengembalian dana lebih dari Rp1 miliar, meski audit hanya berdasarkan uji sampling.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit khusus atas permintaan penyidik dan menemukan kerugian negara yang jauh lebih besar, yakni mencapai Rp195,9 miliar.
Pemeriksaan dan Status Hukum
Muflihun diperiksa sebagai saksi oleh Ditreskrimsus Polda Riau. Ia disebut sebagai pengguna anggaran dalam periode tersebut dan berpotensi menjadi tersangka.
Dalam konferensi pers, Muflihun menyatakan keberatan dan merasa dijadikan korban. Ia menyebut pengelolaan keuangan dilakukan oleh bagian keuangan, bukan dirinya langsung.
Identifikasi Aset
Dalam proses penyidikan, penyidik menemukan rumah di Jalan Sakuntala, Pekanbaru, yang diduga dibeli menggunakan dana hasil korupsi.
Bukti pembayaran rumah dilakukan oleh bawahan Muflihun, menguatkan dugaan bahwa dana perjalanan dinas fiktif digunakan untuk pembelian aset.
Penyitaan oleh Polda Riau
Karena Muflihun tidak mengakui kepemilikan rumah tersebut, penyidik menyita aset dari pihak yang menguasai fisik rumah, bukan atas nama Muflihun langsung.
Penyitaan dilakukan berdasarkan izin dari Pengadilan Negeri Pekanbaru, sebagai bagian dari proses hukum.
Permohonan Perlindungan dan Gugatan Praperadilan
Muflihun mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK karena merasa tertekan secara hukum dan psikologis.
Ia menggugat penyitaan dua aset oleh Polda Riau: rumah di Jalan Sakuntala, Pekanbaru, dan apartemen di Nagoya, Batam.
Putusan Praperadilan
Pada 17 September 2025, PN Pekanbaru mengabulkan sebagian gugatan praperadilan Muflihun dan menyatakan penyitaan dua aset tersebut tidak sah.
Hakim menyebut tidak ada kerugian negara berdasarkan audit BPK
Respons Polda Riau
Dirreskrimsus Polda Riau, Kombes Pol Ade Kuncoro, menyatakan tetap menghormati putusan hakim namun menegaskan bahwa penyidikan kasus tetap berlanjut
Sumber: Tribun Pekanbaru
Gugatan Praperadilan Dikabulkan, Muflihun Minta Polda Riau Kembalikan Rumah & Apartemen yang Disita
Hakim Putuskan Penyitaan Aset Muflihun Tidak Sah, Polda Riau: Penyidikan Korupsi SPPD Fiktif Lanjut
Sumber: Tribun Pekanbaru
Eks Staf Ahli Kapolri Sebut Hukum Bukan Strategi, Gugatan Wanprestasi Nikita Mirzani Dinilai Percuma |
![]() |
---|
Sidang Kasus Suap Hakim, Istri Hakim Nonaktif Djuyamto Jadi Saksi di Persidangan |
![]() |
---|
Dugaan Korupsi Bansos, Kuasa Hukum Nilai Penetapan Tersangka Bambang Rudijanto Tak Sesuai Aturan |
![]() |
---|
Komisi III DPR Setujui 10 Calon Hakim Agung Segera Dibawa ke Paripurna, Berikut Nama-namanya |
![]() |
---|
Komisi III DPR Rampungkan Fit and Proper Test 16 Calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc MA |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.