Senin, 1 September 2025

Royalti Musik

Marcell Siahaan Sebut Banyak Musisi Takut Manggung karena Multitafsir UU Hak Cipta

Penyanyi Marcell Siahaan menyampaikan kegelisahan para pelaku pertunjukan musik terhadap penerapan sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta.

Tribunnews.com/Bayu Indra Permana
GELISAH UU HAK CIPTA - Marcell Siahaan saat ditemui di Hard Rock Cafe, SCBD Jakarta Selatan. Penyanyi Marcell Siahaan menyampaikan kegelisahan para pelaku pertunjukan musik terhadap penerapan sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyanyi Marcell Siahaan menyampaikan kegelisahan para pelaku pertunjukan musik terhadap penerapan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Baca juga: Marcell Siahaan Nilai UU Hak Cipta Masih Buka Ruang Kriminalisasi Meski Penyanyi Sudah Bayar Royalti

Dalam sidang pengujian UU Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Marcell yang hadir sebagai pihak terkait menyebut banyak musisi kini takut tampil di ruang publik karena ancaman kriminalisasi, meskipun mereka telah membayar royalti secara resmi.

“Dalam praktiknya, kekaburan sejumlah ketentuan telah menimbulkan efek dominan berupa ketakutan di kalangan musisi untuk tampil di ruang publik, pembatalan kerja sama pertunjukan, beban ganda terhadap promotor dan penyelenggara acara," kata Marcell, Kamis (10/7/2025).

"Bahkan penggunaan ancaman pidana terhadap pelaku pertunjukan yang sudah beritikad baik,” sambungnya.

Baca juga: Uji UU Hak Cipta Ariel Dkk, Hakim MK: Nyanyi di Kondangan Juga Bayar Royalti?

Marcell menjelaskan, persoalan muncul karena sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta mengandung frasa multitafsir, seperti “jasa penggunaan secara komersial ciptaan” (Pasal 9 ayat 3), “orang” dan “membayar imbalan” (Pasal 23 ayat 5), serta ancaman pidana dalam Pasal 113 ayat 2.

Menurutnya, norma-norma itu menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak secara tegas mengatur mekanisme pembayaran royalti dan pihak yang bertanggung jawab secara hukum.

“Pelaku pertunjukan adalah subjek hukum paling rentan. Mereka tidak memiliki kekuatan tawar seperti promotor, tidak punya otoritas teknis seperti event organizer, tapi justru mereka yang paling sering jadi sasaran somasi, bahkan laporan pidana,” ujarnya.

Padahal, lanjut Marcell, sistem pengelolaan royalti di Indonesia telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 89 UU Hak Cipta. Serta diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 dan Keputusan Menkumham Tahun 2016.

Sistem ini mengatur bahwa royalti wajib dikelola melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Marcell menegaskan, sistem manajemen kolektif adalah kebijakan hukum nasional yang wajib, bukan opsional. Model ini juga sejalan dengan praktik internasional seperti di Brasil melalui ECAD dan di Italia lewat SIAE, yang menetapkan satu lembaga tunggal pemungut royalti.

Ia berharap MK dapat memberikan tafsir yang adil demi melindungi pelaku pertunjukan dan menjaga keberlangsungan ekosistem musik nasional yang sehat dan berkeadilan.  

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan