Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Pandji Pragiwaksono Sebut Akar Kemarahan Rakyat Indonesia, Singgung Warisan Masa Lalu
Pandji Pragiwaksono menilai kemarahan masyarakat sebagai akumulasi panjang kebijakan politik,
Penulis:
Aisyah Nursyamsi
Editor:
Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Gelombang kemarahan masyarakat yang belakangan meluas di berbagai daerah dinilai komika Pandji Pragiwaksono sebagai akumulasi panjang kebijakan politik.
Pandji Pragiwaksono adalah sosok multi-talenta asal Indonesia yang dikenal sebagai komika, rapper, penulis, presenter, sutradara, dan aktivis sosial.
Nama aslinya, Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo. Ia lahir di Singapura pada 18 Juni 1979, dan besar di Jakarta.
Sosoknya disebut sebagai pelopor stand-up comedy di Indonesia kerap bersuara nyaring melontarkan kritik sosial.
Menurutnya, ada beberapa faktor utama yang membuat rakyat gusar.
Baca juga: Pandji Pragiwaksono Sindir Strategi Efisiensi Anggaran: Penghematan yang Kaya, Bukan yang Miskin
Di antaranya warisan pemerintahan Joko Widodo, kebijakan efisiensi era Prabowo Subianto, serta sikap elite politik di Senayan.
“Indonesia sedang marah. Kemarahannya terasa. Kemarahannya terlihat,” kata Pandji dilansir dari kanal YouTube Pandji Pragiwaksono, Rabu (3/9/2025).
Berikut deretan pendapat Pandji Pragiwaksono tentang akar masalah yang picu kemarahan rakyat
Warisan Jokowi dan beban IKN
Pandji berpendapat, setiap presiden tidak bisa lepas dari warisan pendahulunya. Salah satunya, proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).
Sejak awal diumumkan, publik sudah cemas pembiayaannya akan menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Meski Jokowi menyebut IKN dibiayai investasi asing, kenyataannya minat investor minim.
Akhirnya, negara tetap harus menanggung beban. Bahkan sempat muncul kabar para pekerja tidak menerima gaji berbulan-bulan.
Situasi ini kini menjadi tanggung jawab pemerintahan Prabowo, yang pada saat bersamaan juga memiliki program ambisius.
Efisiensi Prabowo yang memukul rakyat kecil
Untuk menjalankan program-program besar seperti makan bergizi gratis, pembangunan sekolah, hingga penyediaan perumahan bagi aparat hukum, pemerintah melakukan efisiensi.
Namun kebijakan ini justru menyasar rakyat kecil.
Sejumlah PNS yang sudah lulus seleksi harus menunda pengangkatan, karyawan kehilangan pekerjaan, hingga daerah-daerah kehilangan dana transfer dari pusat.
Kasus paling mencolok terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Bupati setempat menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen sebagai kompensasi dana pusat yang dipangkas.
Aksi itu memicu protes besar hingga akhirnya Presiden Prabowo turun tangan membatalkannya.
“Permasalahan dari efisiensi yang Pak Prabowo lakukan adalah efisiensi yang mengorbankan rakyat secara langsung. Korbannya adalah rakyat, terutama rakyat kecil,” ujar Pandji beropini.
Jarak elite dan rakyat yang makin lebar
Kemarahan rakyat semakin dalam ketika melihat pernyataan elite yang dinilai tidak sesuai realitas.
Presiden sempat menyebut angka pengangguran terendah sejak reformasi, padahal banyak pekerja terkena PHK massal.
Pandji menilai sikap pejabat semakin terasa berjarak dari kondisi nyata di lapangan.
“Kayak gak tahu apa yang terjadi di akar rumput. Kayak dijagain, Pak Prabowo jangan sampai tahu deh apa yang terjadi di rakyat,” ungkapnya.
Kekecewaan publik pun memuncak setelah DPR memutuskan memberikan tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan bagi anggotanya.
Kebijakan ini dinilai tidak peka di tengah krisis kepemilikan rumah yang menghantui kelas menengah.
“DPR yang harusnya wakil rakyat asyik-asyikan menerima tunjangan rumah 50 juta sebulan. Rakyat lagi pusing dengan rumah,” tegas Pandji.
Kemarahan publik saat ini, menurutnya, adalah bentuk protes terhadap jarak sosial yang kian melebar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.