Sabtu, 22 November 2025

Aktor Jefan Nathanio Dipaksa Percaya Hal Mistis di Film 'Dukun Magang'

Diproduksi oleh Dens Vision Multimedia, film Dukun Magang menghadirkan perpaduan horor-komedi khas Indonesia dengan denyut coming-of-age yang segar.

Editor: Willem Jonata
Dens Vision Multimedia
DIPAKSA PERCAYA MISTIS - Aktor Jefan Nathanio membintangi film horor komedi berjudul "Dukun Magang". Ia yang mengedepankan logika dalam berpikir dipaksa percaya hal mistis saat memerankan karakter Raka di film tersebut. 
Ringkasan Berita:
  • Jefan Nathanio dipercaya perankan Raka di film Dukun Magang
  • Film tersebut bergenre horor komedi khas Indonesia
  • Gagasan film ini lahir dari pertentangan antara logika modern dan kepercayaan tradisional yang masih hidup di masyarakat

 

TRIBUNNEWS.COM - Jefan Nathanio bukan orang yang percaya hal mistis. Namun, ia dipaksa mempercayainya ketika berperan sebagai Raka di film "Dukun Magang" besutan sutradara Chiska Doppert.

“I’m a very logical person, sejujurnya aku tipikal orang yang tidak percaya hal yang enggak realistis, tapi ketika memerankan dari point of view Raka, aku harus cari dari pandangan yang berbeda," ucap dia.

Karenanya, butuh usaha ekstra bagi Jefan memerankan karakter Raka.

Paling tidak, ia jadi harus bertanya kepada teman-teman yang punya pengalaman mistis seperti karakter yang diperankannya.

"Itu jadi referensi, sekaligus belajar bagaimana mereka menanggapinya, karena pasti reaksi orang berbeda-beda,” sambung Jefan.

Diproduksi oleh Dens Vision Multimedia, film Dukun Magang menghadirkan perpaduan horor-komedi khas Indonesia dengan denyut coming-of-age yang segar.

Baca juga: Ulang Tahun ke-17, Jefan Nathanio Girang Ibunya Beri Izin Punya Pacar

Alkisah Raka (Jefan Nathanio), mahasiswa skeptis yang target hidupnya sederhana: lulus skripsi. Ia terpaksa pulang ke Desa Kalimati bersama Sekar (Hana Saraswati), mahasiswi cerdas pewaris tradisi keluarganya.

Satu kesalahan Raka membuka pintu petaka. Kuntilanak Hitam terlepas setelah 12 tahun dikurung.

Untuk menebus blunder itu, Raka “magang” pada dukun legendaris Mbah Djambrong (Adi Sudirja) dan harus belajar kilat dari topo patigeni, meracik kurungan ayam belang telon, hingga berburu tali pocong perawan sebuah perjalanan yang kocak, mencekam, sekaligus menguji nyali.

Di tangan “Dukun Magang”, benturan logika modern dan warisan ilmu tidak sekadar jadi bumbu, tetapi menjadi nyawa cerita. Ki Semar RBS menegaskan bahwa kegelisahan itulah yang menjadi titik awal lahirnya ide film ini.

Ide cerita Dukun Magang berasal dari kegelisahan Ki Semar RBS selaku produser eksekutif.

"Saya melihat banyak anak muda memutus hubungan dengan tradisi hanya karena merasa sudah modern. Lewat benturan Raka dan Mbah Djambrong, saya ingin menunjukkan bahwa akal sehat dan ilmu warisan sebenarnya bisa saling berdialog, bukan saling meniadakan," ujar Ki Semar.

Salah satu momen yang membuka perspektifnya datang dari sebuah ritual yang tampak nyeleneh, namun tetap ‘masuk akal’ dalam logika film.

“Waktu ritual aku masuk sangkar ayam. Jujur, bingung banget konsepnya seperti apa. Tapi karena ini horor komedi, semuanya masih make sense aja," ujarnya sambil tertawa.

Film ini menonjolkan atmosfer pedesaan yang kuat, ritme penceritaan yang gesit, serta set-piece mistis yang sangat Indonesia. Musik memacu adrenalin, sementara detail budaya lokal membuat horornya dekat sekaligus menghibur.

Mo Sidik, Mang Osa, Norma Cinta, Salsabila, hingga special appearance Dodit Mulyanto ikut meramaikan layar, memperkaya lapisan komedi tanpa mengurangi rasa seramnya.

Dukun Magang menyelipkan kejutan post-credit yang membuka jendela menuju misteri baru tanpa mengorbankan penutupan cerita utama.

"Post-credit dalam ‘Dukun Magang’ berfungsi sebagai penyambung antara resolusi dan misteri baru—semacam jendela kecil yang mengisyaratkan bahwa dunia gaib di film ini lebih luas dari yang Raka pahami. Cerita utama tetap ditutup dengan tuntas," terang  Chiska Doppert, sang sutradara.

Ia menegaskan bahwa gagasan film ini lahir dari pertentangan antara logika modern dan kepercayaan tradisional yang masih hidup di masyarakat kita.

"Tokoh Raka mewakili generasi muda yang rasional dan skeptis, sementara Mbah Djambrong melambangkan ilmu warisan yang sarat nilai dan misteri," terangnya.

Secara visual, benturan itu diterjemahkan melalui kontras dunia kampus yang terang, bersih, dan modern berlawanan dengan Desa Kalimati yang remang, berasap dupa, dan berpalet tanah.

"Komposisi gambar juga sengaja dibuat bertabrakan simetris di kampus, tapi berantakan dan organik di dunia dukun untuk menunjukkan benturan dua cara berpikir itu," lanjutnya.

Di tengah ketegangan, hadir duo sahabat Boiman dan Fajar yang memantik tawa justru pada detik-detik paling tegang.

Soal meramu komedi di jantung horor, sutradara menekankan ritme dramatik yang tetap serius dengan reaksi manusiawi sebagai sumber kelucuan.

"Saya menggunakan ritme editing dan blocking aktor sebagai alat komedi misalnya adegan ayam jago berkokok setiap kali Mbah Djambrong ingin bicara penting, atau timing takutnya Boiman yang selalu salah momen. Ketegangan dibangun dulu, lalu dilepas lewat humor, setelah mereka tertawa, ancaman horor berikutnya terasa lebih kuat," tandasnya.

 

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved