Jadi Alat Sebarkan Gosip, Pengguna Media Sosial Dikenai Pajak Rp 750/Hari
Hanya ada dua pilihan legal bagi warga Uganda, membayar pajak media sosial dengan taat atau mendapat pemblokiran akses ke situs dan aplikasi
Editor:
Fajar Anjungroso
Artinya, kenaikan harga data tidak hanya untuk penggunaan media sosial saja, namun penggunaan internet secara luas.
Sistem pukul rata tersebut tentu bertolak belakang dengan pernyataan Musaveni, yang meminta pajak media sosial tidak berlaku untuk penggunaan internet dengan tujuan pendidikan.
Baca: Ternyata Susu Kental Manis Tidak Mengandung Susu, Ini 4 Larangan BPOM
Digugat Akibat peraturan ini, banyak warga Uganda yang mengakses media sosial secara diam-diam menggunakan jaringan pribadi virtual (VPN).
Hal ini dilakukan agar kegiatan bermedia sosial mereka tidak terlacak oleh pemerintah. Selain menggunakan cara ilegal, segelintir dari mereka membuat petisi untuk menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap pemberlakuan pajak media sosial.
Lima pengguna inernet dan sebuah perusahaan teknologi telah mengajukan tuntutan hukum ke pengadilan konstitusional.
Mereka menuntut komisi komunikasi Uganda, otoritas pajak Uganda dan jaksa agung. Tuntutan utama mereka menggarisbawahi jika media sosial adalah platform utama untuk mengungkapkan ekspresi.
"Dalam kasus ini, para hakim memutuskan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi harus berdasarkan alasan yang bisa dibuktikan. Dalam hal ini pemerintah memiliki banyak alternatif untuk menghasilkan pendapatan yang tidak membatasi kebebasan," jelas Raymond Mujuni, salah satu jurnalis televisi lokal Uganda yang ikut mengisi petisi.
Petisi tersebut juga menyantumkan keberatan atas pandangan pribadi Presiden Musaveni tentang media sosial yang menjadi landasan hukum pajak negara.