Kekuatan Bangsa Diukur dari Kemampuan Penguasaan Iptek
Rendahnya penguasaan teknologi Indonesia saat ini, dapat ditelusuri dari beberapa indeks yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga internasional.
Penulis:
Eko Sutriyanto
Editor:
Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi, yang telah menyebabkan terjadinya transisi perekonomian dunia.
Dari yang awalnya berbasiskan pada sumber daya (Resource Base Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan pengetahuan dan informasi (Knowledge Base Economy).
Saat ini kekuatan suatu bangsa diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing.
"Peningkatan kapasitas Iptek dan produktivitas adalah kunci sukses meraih daya saing berkelanjutan yang sangat menentukan kemandirian ekonomi suatu bangsa," kata Pontjo Sutowo, Ketua Aliansi Kebangsaan saat FGD yang mengusung tema Teknologi Kesehatan dan Farnasu yang dilakukan secara virtual, Sabtu (19/9/2020).
Mengingat begitu pentingnya peran Iptek bagi kemandirian ekonomi dan kemajuan sebuah bangsa, apalagi Indonesia telah bertekad menjadi negara maju pada tahun 2045 maka perlu usaha keras meningkatkan penguasaan dan pengembangan inovasi teknologi.
Baca: PSBB Total Berlaku Lagi, Grab Perkenalkan Teknologi Geofencing
Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, rendahnya penguasaan teknologi Indonesia saat ini, dapat ditelusuri dari beberapa indeks yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga internasional.
Ukuran yang berkaitan dengan TFP dan knowledge economy index misalnya, menunjukkan betapa rendahnya kontribusi nilai tambah iptek dan tingkat inovasi Indonesia bagi pertumbuhan ekonomi.
Sampai dengan tahun 2016, kontribusi TFP terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya kisaran 1 persen, bandingkan dengan Korea Selatan 14 persen dan Taiwan 24.1 persen. Ini menandakan rendahnya kemajuan teknologi di Indonesia.
Aliansi Kebangsaan bekerjasama dengan Lingkar Kajian Ekonomi Nusantara (LKEN) melakukan suatu penelitian dan kajian terhadap isu tersebut.
Hasil kajian ini menemukan keterbelakangan teknologi dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dilihat dari rata-rata kontribusi total factor productivity (TFP) yang masih sangat rendah bahkan dalam periode tertentu berada pada posisi negatif.
"Dengan kemampuan penguasaan teknologi yang masih rendah, rasanya sulit bagi bangsa Indonesia untuk menumbuhkan kemandirian dan kemakmuran ekonomi secara berkelanjutan," katanya.
Indonesia, kata dia harus mengejar ketertinggalan teknologi karena tanpa penguasaan teknologi, mustahil Indonesia akan mampu meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam bidang ekonomi.
Baca: Kemendikbud: Pandemi Covid-19 Turunkan Tingkat Kecemasan Guru Gunakan Teknologi
Kesadaran dan mindset seperti inilah yang harus dibangun sehingga kita memiliki “visi Iptek” yang jelas untuk mendorong dan mengikat semua pihak dalam melakukan berbagai terobosan berbasis Iptek.
Dalam mengejar ketertinggalan teknologi, Indonesia dapat mencontoh keberhasilan negara-negara lain.
Berdasarkan pengalaman dari negara-negara lain, beberapa hal elementer yang harus diperhatikan oleh Indonesia, antara lain adalah pengembangan inovasi teknologi sudah seharusnya diprioritaskan pada sektor unggulan.
"Juga penting melakukan penguatan sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi/lembaga riset, industri/dunia usaha, dan masyarakat," katanya.
Dalam pengembangan inovasi teknologi pada “sektor unggulan”, sudah seharusnya Indonesia memberikan prioritas pada pengembangan kekhasan potensi Indonesia yang bisa memberi nilai tambah terhadap keunggulan komparatif (comparative advantage) yang kita miliki.
Sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi/lembaga riset, industri/dunia usaha, dan masyarakat yang sering disebut kolaborasi “quarto helix” sangatlah penting, terutama dalam mendorong proses hilirisasi," katanya
Pontjo menambahkan, persoalan besar yang perlu kita sadari dan waspadai bersama dalam membangun teknologi Indonesia adalah ancaman kekuatan global, baik oleh entitas negara (state actor) atau non-negara (non-state actor) yang memang tidak menghendaki Indonesia menguasai dan maju teknologinya.
Jenis dan bentuk ancaman semacam ini, sangat mengemuka dalam era Perang Generasi ke-IV dewasa ini yang lebih mengutamakan penggunaan soft-power dalam berbagai sendi kehidupan secara multidimensi dalam menghancurkan sebuah negara sasaran, tidak terkecuali Indonesia.
"Sementara di dalam negeri sendiri, kita masih menghadapi praktik mafia pemburu rente (rent seeking) dalam bidang perekonomian/perdagangan termasuk dalam sektor kesehatan dan farmasi," katanya.
Bisa jadi dengan disadari atau tanpa disadari, para mafia pemburu rente ini digunakan sebagai “proxy” oleh kekuatan global seperti saya sampaikan tadi, untuk menghancukan Indonesia atau sekurang-kurangnya tidak ingin perekonomian Indonesia mandiri dan berdaulat.
"Bukan rahasia lagi, bahwa industri nasional di sektor kesehatan dan farmasi belum bisa tumbuh maksimal, juga karena masih dikendalikan oleh "mafia" dalam negeri yang berkolaborasi dengan industri raksasa medis di luar negeri," katanya.
Industri kesehatan nasional, kata dia seringkali hanya berfungsi sebagai "penyalur" dari produsen luar negeri untuk alat kesehatan.