Senin, 1 September 2025

Praktik Cross Border di Industri E-Commerce Menggerus Keberlangsungan UMKM Lokal

Ikhsan Ingratubun mempertanyakan kenapa pemerintah sangat lamban melindungi UMKM lokal dari praktik cross border di e-commerce asing.

Penulis: Sanusi
Editor: Choirul Arifin
kemenkeu
Ilustrasi 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) menilai regulasi impor barang melalui sektor perdagangan berbasis elektronik atau e-commerce masih belum juga terlihat wujudnya.

Padahal saat ini Indonesia jadi surganya e-commerce lintas negara atau cross-border yang tentu bisa membunuh produk UMKM lokal.

Jika praktik cross border tidak diregulasi dengan baik, maka akan merugikan banyak pihak. Pelaku usaha lokal akan mengalami kerugian karena produk mereka kalah bersaing dengan produk cross border yang harganya jauh lebih murah karena tidak melewati proses perpajakan yang seharusnya.

Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun mempertanyakan kenapa pemerintah sangat lamban melindungi UMKM lokal dari praktik cross border di e-commerce asing.

“Mengenai cross border di e-commerce, saya telah diundang Mendag dan salah satu Dirjennya, namun hingga kini belum ada tindak lanjut merevisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 (tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik), jadi dimana keberpihakan pemerintah dalam melindungi UMKM lokal,” keluh Iksan.

Baca juga: Waspada Praktik Cross-Border Ilegal di Marketplace Makin Marak

Menurutnya, praktik cross border di e-commerce membunuh UMKM karena pemain e-commerce asing ini menjual dengan harga sangat murah.

“Dalam perdagangan cross-border terjadi tindakan splitting atau memecah transaksi pembelian barang impor agar bebas bea masuk. Hal ini, tentu membuat UMKM lokal kalah saing sehingga muncullah istilah e-commerce domestik dan cross-border,” tukas Ikhsan.

Baca juga: Lindungi UMKM Lokal, Pemerintah Tutup Akses 13 Jenis Produk Cross Border

Ikhsan mengatakan pada e-commerce domestik tidak ada splitting. Impor barang dilakukan melalui bea dan cukai dan seluruh penjual berasal dari dalam negeri sehingga ada kontribusi ke pendapatan Indonesia.

Sedangkan e-commerce cross-border memungkinkan melakukan splitting. Impor barang bisa langsung dilakukan dari penjual luar negeri yang bertransaksi langsung dengan konsumen domestik sehingga transaksi yang terjadi sama sekali tidak berkontribusi ke pendapatan dalam negeri.

Baca juga: Pembatasan 13 Produk Cross Border di Shopee Bertujuan Membantu Pemulihan Ekonomi

Perlu diketahui, e-commerce domestik contohnya adalah Tokopedia dan Bukalapak. Sedangkan e-commerce cross-border di Asia Tenggara, seperti Shopee, JD.com, Alibaba.com, Amazon, Ebay, Lazada dan Zalora.

“Jika praktik cross-border tidak diregulasi secepatnya, maka akan merugikan banyak pihak. Pengusaha akan mengalami kerugian karena produk mereka akan kalah bersaing dengan produk cross-border ilegal yang harganya jauh lebih murah,” katanya.

Sama dengan praktik impor ilegal yang terjadi melalui jalur luring atau offline. Barang impor yang masuk lewat perdagangan offline tanpa melalui proses bea dan cukai juga bisa membunuh keberadaan UMKM.

Praktisi Hukum Alexander Seno mengatakan praktik cross border juga sangat merugikan distributor resmi yang pasti mengurus perizinan dan pajak.

Pertama, kerugian materiil dengan dasar perhitungan berdasarkan jumlah barang yang dimasukan ke Indonesia secara legal yang harusnya dijual oleh perusahaan distributor resmi melalui toko konvensional maupun online yang dikelola langsung oleh perusahaan tersebut.

Halaman
12
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan