Selasa, 7 Oktober 2025

Ledakan Teknologi Hijau Picu Lonjakan Permintaan Perak Dunia

Perak memiliki konduktivitas listrik dan termal tertinggi di antara semua logam, menjadikannya bahan penting dalam panel surya (solar PV)

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Erik S
istimewa
ILUSTRASI PERAK- Ledakan teknologi hijau telah memicu lonjakan permintaan perak dunia karena perak menjadi komponen vital dalam industri energi terbarukan seperti panel surya dan kendaraan listrik. 

TRIBUNNEWS.COM - Ledakan teknologi hijau telah memicu lonjakan permintaan perak dunia karena perak menjadi komponen vital dalam industri energi terbarukan seperti panel surya dan kendaraan listrik.

Perak memiliki konduktivitas listrik dan termal tertinggi di antara semua logam, menjadikannya bahan penting dalam panel surya (solar PV), baterai kendaraan listrik, dan sirkuit elektronik.

Dengan transisi global menuju energi bersih, permintaan dari sektor ini diproyeksikan meningkat hingga 50 persen pada tahun 2030, melampaui kapasitas pasokan yang terbatas. 

Baca juga: Terapkan Teknologi Hijau, FL Technics Operasikan Mesin Towbarless Aircraft Pushback Tug Tanpa Emisi

Mobil listrik, perangkat pintar, dan sistem penyimpanan energi semuanya membutuhkan perak dalam jumlah besar untuk sensor, konektor, dan sistem kontrol.

Pada tahun 2025, dunia menghadapi kekurangan pasokan perak sebesar 206 juta ons, akibat penurunan produksi dari negara produsen utama seperti Meksiko dan isolasi pasar dari Rusia.

Sekitar 72 persen perak berasal sebagai produk sampingan dari pertambangan logam lain (emas, tembaga, seng), sehingga sulit untuk meningkatkan produksi secara cepat.

Perang dagang AS–Tiongkok dan pergeseran Rusia ke bursa logam BRICS menciptakan ketidakpastian dalam rantai pasokan global.

Harga perak melonjak 56,7 persen dari 2023 hingga 2025. Lonjakan ini menjadikan perak sebagai aset strategis dan safe haven baru di tengah inflasi dan ketidakstabilan ekonomi. 

Saham pertambangan dan produk investasi berbasis perak (ETP) semakin diminati karena rasio harga emas terhadap perak (1:90) menunjukkan bahwa perak masih undervalued.

Kondisi ini menguntungkan bagi Indonesia, di mana sedang memasuki babak penting dalam transisi menuju energi baru terbarukan (EBT). 

Dorongan pemerintah untuk mempercepat pengembangan panel surya dan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) tidak hanya mengubah peta energi nasional, tetapi juga memicu lonjakan permintaan komoditas strategis global, salah satunya perak.

Pemerintah telah menetapkan target ambisius net zero emission 2060 dan menggalakkan program pemasangan panel surya atap, pembangunan PLTS skala besar, serta percepatan adopsi mobil listrik

Kebijakan ini membuat Indonesia tidak hanya menjadi pasar teknologi hijau, tetapi juga pemain penting dalam rantai pasok komoditas penunjang energi bersih. 

Financial Analyst Finex, Brahmantya Himawan mengatakan panel surya dan mobil listrik adalah katalis besar bagi kenaikan permintaan perak dunia. Rata-rata 1 GW panel surya menyerap 10-ton perak, sementara satu unit kendaraan listrik mengandung 25–50-gram perak. 

“Ketika adopsi dua teknologi ini terus meningkat, pasar perak global akan menghadapi tekanan permintaan struktural yang signifikan,” ujarnya. 

Menurut data global, kapasitas instalasi panel surya telah mencapai lebih dari 550 GW per tahun. Dengan kebutuhan rata-rata 10-ton perak per GW, konsumsi perak dari sektor surya saja dapat mencapai 5.500 ton per tahun. 

Ditambah penjualan EV global yang sudah menembus 20 juta unit per tahun, kebutuhan perak dari sektor otomotif dapat menyumbang tambahan 500–1.000 ton per tahun.

Tekanan ini diperparah oleh kondisi pasokan yang stagnan. Meksiko, produsen perak terbesar dunia, dilaporkan menghadapi keterbatasan cadangan dan penurunan produksi dua digit dalam satu dekade terakhir. 

Ketika permintaan terus meningkat sementara suplai menipis, harga perak berpotensi mengalami tren naik struktural dalam lima tahun ke depan. 

Selain fungsi tradisionalnya sebagai aset lindung nilai saat krisis, kini perak mendapat dorongan baru dari sektor teknologi hijau. 

“Kombinasi ini bisa menciptakan siklus kenaikan harga jangka panjang. Investor perlu jeli melihat peluang diversifikasi portofolio melalui instrumen berbasis logam mulia,” tutup Brahmantya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved