Wisata Sumut
Uniknya Pulau Asu, Dihuni Cuma 20 Kepala Keluarga, Tapi Terbagi Dalam Lima Desa
Pulau Asu di Nias ini cuma dihuni 20 kepala keluarga, tapi terbagi dalam lima desa.
Editor:
Agung Budi Santoso
Laporan wartawan Tribun Medan, Silfa Humairah
TRIBUNNEWS.COM - Jelajah Pulau Asu tidak lengkap rasanya jika hanya berwisata lautnya saja tanpa mengenal penduduknya.
Karena, ternyata Pulau Asu memiliki keunikan di penamaannya yang sering disalahsebutkan karena kebiasaan penduduknya.
Banyak wisatawan yang sering beranggapan Pulau Asu memiliki makna 'Pulau Anjing' dari saduran bahasa Jawa dan bahasa Nias 'Asu' yang memiliki arti 'anjing', karena penduduknya yang mayoritas memiliki anjing.
Terlebih lagi saat sampai meminggirkan kapal, gonggongan anjing dari pemilik penghuni pulau sudah menyambut wisatawan.
Padahal itu hanya kebetulan, karena banyak penduduk memelihara anjing untuk menjaga kebun dan menjaga rumah penduduk dari binatang buas.
"Sebutan Asu sebenarnya kependekan dari Asuhan. Nama Asuhan disematkan pada Pulau terjauh dan terindah ini. Ya maksudnya Pulau Asuhan, yang bermakna pulau terakhir, pulau yang sangat dijaga, dikagumi. Tapi karena orang Nias mengucapkan Asuh huruh 'h' nya tidak kedengaran jadi sering disebut 'Asu'," kata Ama Benny Mahruwawa, penduduk.
Uniknya lagi, walaupun terbilang minim penduduk, yakni hanya 20 Kepala Keluarga, tapi Pulau Asu dibagi menjadi 5 desa loh.
Ama Benny yang juga Kepala Dusun Hanefa menuturkan, 5 desa cukup berjauhan dan dibatasi perkebunan penduduk. Ada desa Hanefa, desa hinako, Lahaba, Balemadate,Bawah dan de Sawah.
"Tiap desa dihuni 5 kepala keluarga dan jarak dari rumah satu dengan rumah lainnya pun tidak berdekatan karena dipisahkan perkebunan penduduk. Tapi begitu pun penduduk cukup sering berkeliling untuk beramah tamah dari desa satu ke desa lainnya," katanya.
Ama Benny menututkan, sebelum Tsunami 2005, penduduk di pulau Asu mencapai lebih dari 50 keluarga. Tapi tsunami menyebabkan banyak kehilangan anggota kelurga di tiap kepala keluarga di Pulau Asu.
"Pasca tsunami, penduduk banyak pindah ke kota atau ke Sirombu. Apalagi di sini tidak sekolah, anak-anak terpaksa disekolahkan di kota yang jaraknya 2 jam dari pulau, sehingga semakin banyak kepala keluarga yang pindah," katanya.
Ia menuturkan sebelum tsunami ada pembangunan untuk pengadaan sekolah di Pulau Asu mengingat jarak pulau ke daratan atau kota cukup jauh.
"Tapi tsunami meluluhlantahkan harapan adanya sekolah di sini. Pasalnya kini tidak ada pembicaraan akan ada pengadaan sekolah di sini," katanya.
Disinggung soal mata pencaharian, sebagian besar penduduk bermatapencaharian bertani, berkebun dan nelayan.
"Di sini rata-rata mata pencaharian penduduk adalah berkebun pohon kelapa. Pasalnya, hampir seluruh lahan tanah kosong didapati ada pohon kelapa. Setiap pekan penduduk membawa hasil kelapa untuk dijual di kota," katanya.
Setiap pekan pula, sepulangnya menjual hasil kelapa, penduduk membeli persediaan bahan pokok selama di pulau seperti beras, minyak, gula, telur hingga pernak-pernik lainya kebutuhan rumah.
"Penduduk di sini pun belanja bahan pokok mingguan, jadi beli persediaan sebanyak-banyaknya karena untuk ke kota atau menyeberang sangat memakan waktu dan biaya," katanya.
Untuk penduduk sekalipun, kapal penumpang tetap dipatok Rp 50 ribu untuk sekali menyeberang.
Memperhatikan rumah penduduk di sana juga mengundang perhatian. Pasalnya, penduduk masih sangat tradisional. Masih banyak rumah yang berdindingkan kayu dan beratapkan rumbia.
Wisatawan banyak mendokumentasikan diri di depan rumah yang masih tradisional tersebut. Rumah-rumah penduduk di siang hari kerap kosong karena hampir seluruh anggota ikut berkebun.