Wisata Sumut
Berwisata Religi Ke Kampung Matfa di Langkat, Anda Akan Belajar Banyak Tentang Keikhlasan
Anda bisa belajar banyak tentang makna keikhlasan dari berwisata religi di Kampung Matfa di Langkat, Sumatera Utara ini.
Editor:
Agung Budi Santoso
Laporan wartawan Tribun Medan, Silfa Humairah
TRIBUNNEWS.COM - Wisata hakikinya adalah upaya merefresh diri untuk menemukan makna baru dari hidup, tujuan untuk melihat dunia dari sudut berbeda serta sedikit mengetuk hati apa sebenarnya yang kita inginkan dalam hidup?
Jika tanya itu belum terjawab saat anda sudah berulang kali berlibur, atau entah sudah sejauh apa anda berkelana dan menjelajah.
"Mungkin anda bisa menyambangi kampung Matfa (Majlis Ta'lim Fardhu Ain) Indonesia, Kelurahan Telaga Said, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, yang juga disebut Kampung Kasih Sayang, kampung wisata rohani yang menyambut tamu bak keluarga. Anda bisa mengadu dan meluapkan masalah hidup atau hanya sekadar berdiskusi tentang mendapatkan ketentraman batin," kata Sani, warga kampung Matfa.

Masih asri dan natural kehidupan di kampung Matfa (Majlis Ta lim Fardhu Ain) Indonesia, Kelurahan Telaga Said, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
Ini bukan pesantren, katanya. Jika anda kira wisata rohani hanya akan ada pengajian dan mendengarkan ceramah. Tidak.
Kampung Matfa adalah kampung, dimana ada 300 rumah dengan bentuk yang sama, makan makanan yang sama, dan 1600 warga, seluruh penduduknya hidup dari memanfaatkan sumber daya alam wilayah mereka.
Wisata rohani yang dimaksud adalah bagaimana di sana anda akan melihat kebersamaan dan kecerian para ibu rumah tangganya bangun pukul 04.00 pagi menyiapkan makanan di dapur umum untuk memberi sarapan 1 kampung.
Kemudian kembali disibukkan pada pukul 11.00 siapkan makan siang serta pukul 17.00 menyiapkan makan malam, tidak ada hentinya setiap hari umpama menggelar pesta, sistem masak pun bergantian menggunakan jadwal piket.
Bagaimana para anak mudanya bekerja banting tulang dengan menambang, bertani, menjaga dan merawat binatang ternak tapi tetap melakukan shalat 5 waktu.
Serta para bapak yang mengaplikasikan minat dan skil mereka di bidang pembuatan batu cincin, kerajinan keris, hingga pengolahan kolam ikan dan penggalian tambang minyak, tapi selalu punya waktu untuk bermain dengan anak.
Semua warganya tidak terikat dengan jam kerja pekerjaan mereka, tidak pula ada pembahasan soal gaji dari pekerjaan yang telah mereka lakukan, semua warga bekerja dengan kesadaran masing-masing dan tanggung untuk memajukan kampung serta mengeksplore sumber daya kampung tersebut itu pula.
Ibarat semua warganya sudah tamat ilmu ikhlas, sudah bosan kaya, tidak ada perhitungan soal selelah apa ia bekerja. Semua hasil tambang, tani, dan jualan diserahkan ke kas kampung atau baitul mal.
Dari kas itu pula, kampung itu bisa mensejahterakan warganya dengan sejajar tanpa ada kesenjangan sosial.
Semua memakan makanan yang sama, menggunakan sandang harga yang sama, serta sekolah dan berobat dengan hak yang sama, gratis.
Sani, menuturkan, kampung ini awalnya hanya berupa tanah tandus dan hutan berukuran 16 hektare milik Tuwan Imam, anak dari Imam KH Ali Mas'ud yang aktab disapa Tuan Guru yang mendirikan Majelis Ta'lim Fardhu Ain (Matfa) yang baru 4 tahun belakangan dibentuk menjadi kampung oleh anak ke tujuhnya, Tuan Imam yang dipilih jamaah untuk meneruskan ilmu dan cita-cita Tuan Guru menyebarkan kebaikan dan ilmu hakikat.