Tribunners / Citizen Journalism
Iklan “Selamatkan Indonesia” dan Kaum Sekolahan
Pro-kontra terkait isu tembakau atau rokok belakangan semakin hari semakin menajam.
Selain itu, apakah bukan hal yang berlebihan ketika norma dan etika perilaku (habituating) merokok yang sebenarnya cukup diatur pada tingkat masyarakat (civil society), kemudian harus diatur secara khusus pada tingkat negara (state) dengan sebuah perundang-undangan nasional. Apakah dengan begitu kaum sekolahan kita sebenarnya punya anggapan, bahwa masyarakat masih jauh dari kemampuannya untuk mengatur dan menata dirinya sendiri, sehingga negara harus hadir di tengah-tengah untuk mengatur moralitas dan etika masyarakat? Bagaimana pun, terkait dengan isu anti tembakau, konsekuensinya jelas akan membawa kita pada kesimpulan tersebut.
Dengan begitu tersirat ketidakkonsistenan diskursus filosofis libertarian yang sejak dulu cenderung menjadi paradigma yang lazim dianut para intelektual kita. Saya katakan paradigma liberalisme, karena selama ini mereka sering mengklaim dirinya pengusung nilai-nilai demokrasi dan bersikap anti terhadap moralitas “serba negara”. Bukankah, jika kaum sekolahan konsisten dengan paradigma nilai-nilai liberalisme, maka semestinya urusan rokok cukup menjadi domain privat yang bersifat ‘pro-choice’ yang kewenangannya didudukan pada kuasa rasionalitas masing-masing individu dan bukan negara? Namun, apa yang terjadi? Dalam isu rokok kaum sekolahan kita justru tampak tidak segan-segan mengadopsi sebuah kebijakan konservatisme ala Hitler, yakni dengan mendorong peran dominan negara untuk terlibat jauh dalam melakukan pengaturan norma dan etika masyarakat. Bukankah, peran negara yang turut andil dalam mengatur etik dan norma sebenarnya akan bertentangan dengan spirit libertarian mereka? Bukankah, wujud negara yang bermaksud mengatur etik dan moralitas masyarakatnya adalah jelas terkontaminasi filosofi Hegelian yang fasistik, yakni model “negara integralitik” yang dulu ramai-ramai ditolaknya, tapi mengapa kini mereka serukan kembali eksistensi!?
Dalam isu anti tembakau global ini, sangat jelas atmosfir ketidakmandirian posisi kelas menengah cendekiawan kita. Elan free thinker dan spirit libertarian sama sekali tidak tercermin, alih-alih berharap munculnya sebuah keberpihakan pada yang dimarjinalkan dan dideikriminasi. Quo vadis kaum sekolahan, apakah kita siap didakwa sebagai kaum cerdik pandai yang khianat dan lacur terhadap bangsanya sendiri oleh jutaan rakyat? ****
*Penulis adalah Peneliti Senior Indonesia Berdikari
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.