Tribunners / Citizen Journalism
Permintaan Maaf Boeing dan Tangisan Ibu Pertiwi
Semakin mendekati hari pencoblosan Pilpres, potensi jotosan makin membesar. Jangan biarkan Ibu Pertiwi menangis sedih.
Editor:
Yudie Thirzano
Berapa banyak kerugian yang dialami Boeing jika semua negara memboikot produknya.
Namun, demi keselamatan, seberapa sih kata ‘mahal’ itu? "Karena sangat berhati-hati dan untuk meyakinkan publik keselamatan penerbangan, kami mendukung langkah proaktif ini. Kami melakukan segala yang kami bisa untuk memahami penyebab kecelakaan dengan para penyelidik, menyebarkan peningkatan keselamatan dan membantu memastikan ini tidak terjadi lagi," kata CEO Boeing Dennis Muilenburg dalam pernyataannya.
Prestasi Boeing jelas tercoreng dengan jatuhnya pesawat gres kinyis-kinyis ini di dua negara yang berbeda dengan pilot senior. Kedua pilot itu sama-sama mengalami kesulitan dalam mengendalikan pesawat ini saat fitur otomatis terganggu.
Pilot Lion diketahui berjuang keras untuk mengendalikan moncong pesawat setelah ‘dipaksa’ turun oleh komputer, sedangkan pilot Ethopian Airlines mengatakan kesulitan mengendalikan pesawat sehingga meminta izin untuk balik kandang.
Malangnya, sebelum keinginan tercapai, pada menit keenam, pesawat mengalami kecelakaan. Kini keluarga pilot dan keluarga besar maskapai Lion dan Ethiopian Airlines lega karena pihak Boeing sudah mengakui kesalahannya. "Jelas terlihat bahwa dalam kedua penerbangan (Ethiopian Airlines dan Lion Air), Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver, yang dikenal sebagai MCAS, diaktifkan sebagai respons atas informasi angle-of-attack yang keliru," ujar Muilenburg dalam pernyataan pada Kamis (4/4/2019) waktu setempat.
Pertarungan antara prestasi dan prestise berkelindan di sini. Di satu sisi Boeing dianggap sebagai pabrik pesawat terbesar di dunia yang bermarkas di Chicago, sedangkan Airbus menjadi yang nomor dua. Persaingan antara nomor 1 dan nomor 2 memang terjadi di mana-mana.
Jika pihak Boeing sendiri memutuskan untuk meng-grounded-kan pesawatnya, publik—khususnya dunia penerbangan—pasti mencium ada yang tidak beres dengan produk mereka. Sebaliknya, jika dibiarkan, kalau terjadi kecelakaan lagi, reputasi mereka bakalan makin terpuruk. Prestasi mereka yang berhasil menjadi nomor satu bisa kehilangan prestisenya di sini. Permintaan maaf Boeing itu justru sikap dan tindakan gentleman yang dipuji banyak pihak.
Saat meninjau pabriknya di Seattle, Washington, saya dan keluarga dibawa ke pemasangan mesin ke bodi pesawat sampai ke pengecatan. “Itu pesanan Indonesia,” ujarnya sambil menunjuk pesawat yang sedang dicat warna merah. “Kami memastikan semuanya berjalan sempurna sebelum menyerahkannya ke pemesan,” ujar seorang pria tinggi langsing berkulit hitam.
Apakah Airbus Tertawa?
Meskipun diuntungkan dengan pengandangan pesawat buatan pesaingnya, saya merasa orang-orang Airbus tidak tertawa. Mereka bisa jadi semakin teliti mengerjakan pesawat mereka sendiri. Orang-orang yang dewasa, apalagi yang bermoral dan akhlak tinggi, pasti tidak akan tertawa di atas penderitaan orang lain. Seandainya William Edward Boeing, pendiri Boeing, masih hidup, bisa jadi dia ikut menangisi para korban yang naik pesawat buatannya.
Bisa jadi tiga pendiri Airbus—Bernard Lathière, Roger Béteille, Henri Ziegler—ikut bersimpati terhadap jatuhnya pesawat pesaingnya ini.
Orang dewasa tidak tertawa atas kesalahan pesaing, melainkan memperbaiki produk dan jasa sendiri agar semakin baik.
Ketika nyawa orang dipertaruhkan, maka persaingan sengit antara Airbus dan Boeing yang sudah terjadi sekian lama memang seharusnya dihentikan.
Mereka bersaing dalam hal apa? Pertama, mempercanggih mesin pesawatnya. Menurut beberapa pilot yang diwawancarai paska jatuhnya Ehtiopian Airlines, Boeing tipe Max memang lebih maju satu langkah dibandingkan milik Airbus.
Kedua, membuat mesin pesawat yang seirit mungkin. Di tengah harga avtur yang semakin melambung, mesin yang hemat bahan bakar jelas dilirik, khususnya oleh perusahaan penerbangan komersial. Ketiga, dari dua persaingan itu, ujungnya hanya satu duit: siapa yang dipesan orang paling banyak.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.