Tribunners / Citizen Journalism
Urgensi Regenerasi PKB dan Cak Imin ketum PBNU
Pilpres 2019 tahun lalu menjadi saksi mata, PKB menunjukkan laju yang pesat, terus merangsek menuju peringkat "klasemen" tiga besar.
Urgensi Regenerasi PKB dan Cak Imin ketum PBNU
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Sejak kepemimpinan Muhaimin Iskandar, paska kudeta politis atas kepemimpinan Gus Dur, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah banyak berjasa pada bangsa dan negara. Kader-kader terbaik partai telah mengisi setiap pos-pos strategis dalam pemerintahan.
Prestasi demi prestasi ditorehkan. Pilpres 2019 tahun lalu menjadi saksi mata, PKB menunjukkan laju yang pesat, terus merangsek menuju peringkat "klasemen" tiga besar. Sungguh merugi bila pada kesempatan kedepan, kader PKB tidak menempati jabatan presiden.
Alasannya cukup realistis. Pertumbuhan suara PKB semakin positif. Bila dilihat secara sinkronik, yakni hubungannya dengan partai-partai lain (seperti PDI-P, Gerindra, dan Golkar), PKB termasuk partai papan atas.
Menggeser tiga partai besar ini, agar masuk kategori “tiga besar”, adalah tantangan PKB di masa depan. Secara matematis, kita bisa lihat hasil rekapitulasi KPU; PDIP berhasil meraih 128 kursi, Golkar 85 kursi, dan Gerindra 78 kursi, PKB 58 kursi, satu strip di bawah Nasdem dengan 59 kursi.
Cak Imin sebenarnya bisa mengangkat suara PKB melampaui prestasi yang ada, tetapi berat. Menjadi Ketua Umum PBNU adalah pilihan ideal untuk cak Imin. Suara warga Nahdliyyin lebih dari 100 juta. Apalagi, berdasarkan pengalaman Pilpres kemarin, aura NU di jalur politik praktis sangat kentara. Sosok seperti dirinya memang layak duduk di pucuk pimpinan PBNU.
Pilres 2024 nanti akan lebih "halus". Kita semua tidak akan mengulangi politik "barbar" seperti kemarin, yang hingga hari ini menyisakan konflik berkepanjangan antara kampret dan cebong. Walaupun para tokoh idola mereka sama-sama merapat pada kekuasaan.
Dalam dinamika yang akan lebih sofistikated itu, meningkatkan jumlah perolehan suara PKB butuh strategi yang menyasar langsung ke jantung lumbung suara, warga Nahdliyyin dalam hal ini. Karenanya, dibutuhkan cara-cara yang lebih radikal, inovatif, dan berani.
Radikal maksudnya adalah melepaskan jabatan Ketum PKB dan mencalonkan diri sebagai Ketum PBNU. Inovatif artinya mendayagunakan seluruh potensi suara Nahdliyyin untuk PKB. Sementara jabatan Ketum PKB bisa diserahkan kepada kader-kadernya yang terbaik.
Selain demi mendulang lumbung suara Nahdliyyin, mencalonkan diri sebagai Ketum PBNU berdampak pada regenerasi kepemimpinan di internal PKB sendiri. Karenanya, calon Ketum baru PKB harus diukur sejauh mana program kerjanya mampu meningkatkan suara pada pemilihan umum kedepan.
Sudah terlalu lama sejak kudeta Gus Dur, regenerasi kepemimpinan di tubuh PKB Mandeg Total. Sejak peristiwa itu, PKB-NU belum sepenuhnya "sinergis". Alangkah baiknya, konsolidasi suara warga Nahdliyin-PKB dilakukan secara lebih progresif, dan itu bisa dilakukan jika Cak Imin jadi ketum PBNU, dan kader terbaik cak Imin jadi ketum PKB.
Terkait hubungan PBNU-PKB ini, penulis memiliki artikel khusus berjudul “Harlah NU ke-94, Momentum Reinterpretasi Khitthah PKB=NU/NU=PKB,” (Tribunnews, 31 Januari 2020). Penulis melihat, masalah serius yang dihadapi NU adalah kesulitan menembus posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.
NU perlu ruang baru di pemerintahan, terutama untuk menderma-baktikan seluruh SDM-nya. Kelemah NU di sektor politik ini menjadikan NU seperti pendorong mobil mogok. Suaranya diperas namun hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Habis manis sepah dibuang.
Karenanya, penulis melihat urgensi kerjasama NU dan PKB. Supaya paska pilpres mendatang tidak ada lagi suara sumbang, misalnya: jatah Kementerian untuk PKB bukan jatah untuk NU. Pernyataan ini sangat ironis. Padahal, sejak awal NU dan PKB bergotong royong menggalang suara.
Muhaimin Iskandar sudah cukup lama memimpin PKB, terhitung sejak tahun 2000 sudah menjadi sekjen, kemudian menjadi ketum PKB dimasa Gus dur dan pasca Muktamar Luar Biasa (MLB) 2008 di Ancol, yang membuat kubu Gus Dur tereliminir, bahkan bisa dikatakan tidak ada dinamika renegerasi di PKB selama 20 tahun, Jika cak imin berkehendak mungkin bisa saja memimpin PKB seumur Hidup.
Regenerasi sangat penting. Setidaknya demi kehadiran sosok baru, pemimpin baru, yang mampu mempererat kembali hubungan PKB-PBNU. Ironis melihat PKB hanya meraih 13 juta suara, sementara warga NU sekitar 100 juta lebih. Data ini menunjukkan betapa tugas mensinergikan PKB-NU sangat penting dan strategis.
Pergantian kepemimpinan di tubuh PKB, misalnya, dapat menghadirkan kader terbaiknya hari ini, harus kita akui di PKB bertabur kader Brilian yang layak meneruskan kepemimpinan cak Imin, semisal Gus Yusuf Khudori (Ketua dpw PKB Jateng), Saeful Huda (Ketua DPW PKB Jabar) Abdul Halim Iskandar (Ketua DPW PKB Jatim), atau Gus Yaqut (Menteri Agama) juga sangat strategis. Prestasinya di Kemenag belakangan ini sangat tampak.
Baru kali ini, pluralisme dan keragaman beragama betul-betul terasa. Halaman-halaman website Kemenag mulai berwarna-warni, mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan NKRI terwujud dalam laku.
Beberapa kasus belakangan, Hindu dan Buddha Nusantara telah didukung oleh Kemenag untuk menjadi teladan bagi seluruh dunia. Kita teringat pada sejarah kejayaan Sriwijaya, saat dunia belajar ilmu dan menimba kebijaksanaan dari negeri kita. Tidak mengherankan tiap hari media mainstream selalu menyoroti sepak terjang gus Yaqut, tentu popularitasnya tidak disangsikan lagi.
Jika kader terbaik cak Imin jadi ketum PKB pasti akan berdampak pada konsolidasi seluruh elemen dan variabel dalam tubuh warga Nahdliyyin itu sendiri. Apalagi jika berdampingan dengan Yeni Wahid sebagai Sekretaris Jenderal DPP PKB. Pemulihan sejarah luka di masa silam akan berakhir indah.
Kembalinya keluarga Gus Dur ke PKB akan membuat polarisasi di dua kubu pendukung PKB akan berakhir. Kekecewaan sebagian warga NU pada PKB juga akan tamat. NU-PKB akan menyatu kembali seperti sediakala.
Harmoni NU-PKB ini peluang bagi PKB menggeser dominasi partai-partai nasionalis di klasemen tiga besar. Ketika menjabat Ketum PBNU, bukan mustahil Cak Imin bisa bersaing merebut kursi RI 1 atau cak Imin cukup memposiskan diri sebagai Play Maker dan menyerahkan Capres kepada kader terbaik partai, justru itu lebih elegan. Sebaliknya, ambisi cak Imin menjadi RI 1 atau RI 2 dengan bermodal Ketum PKB, itu sangat berat, hal itu Terbuktikan dalam 2 pemilu sebelumnya,
Alhasil, sinergi PKB dan PBNU di 2024 nanti, sepenuhnya, demi kepentingan politik kekuasaan. Mengoptimalisasi SDM Nahdliyin yang berlimpah, dan memberikan ruang untuk berdarmabakti pada bangsa di jajaran pemerintahan.
Kita butuh melihat sejarah baru, dimana PBNU dipimpin politisi ulung, dan PKB tidak terpolarisasi. Dan sudah saatnya menggaungkan NU=PKB dan PKB=NU. Itu harga mati! Wallahu a'lam bishawab.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.