Tribunners / Citizen Journalism
Menggali Pondasi Diri: Harga Diri Remaja dalam Kacamata Clemes, Bean, dan Clark
Empat pilar harga diri remaja—keterhubungan, keunikan, kekuatan, dan keteladanan—jadi kunci membangun karakter dan kepercayaan diri.
Odemus Bei Witono
- Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
- Imam Jesuit
- Kandidat Doktor STF Driyarkara
- Kolumnis
- Cerpenis
- Pemerhati Pendidikan
- Domisili di Jakarta
TRIBUNNEWS.COM - Di awal tahun 2014 saya mendapat buku berjudul "Bagaimana Meningkatkan Harga Diri Remaja". Hal menarik buat saya, yakni bahwa masa remaja merupakan periode transisi yang penuh gejolak sekaligus krusial dalam pembentukan identitas seseorang.
Pada fase ini, pencarian jati diri seringkali berpusat pada pertanyaan mendasar yang menentukan arah hidup: "Siapakah saya, dan seberapa berhargakah saya?" Pertanyaan eksistensial ini dijawab melalui Harga Diri (Self-Esteem), yang muncul sebagai pondasi psikologis tak tergantikan.
Harga diri sehat bukan hanya tentang merasa senang pada diri sendiri; ia adalah penentu utama cara remaja berinteraksi dengan dunia, menghadapi tantangan sosial dan akademik, serta pada akhirnya, meraih potensi penuh mereka sebagai individu dewasa yang berfungsi.
Menurut pemikiran kolaboratif dari trio ahli, Harris Clemes, Reynold Bean, dan Aminah Clark, yang dirangkum dalam karya-karya berpengaruh mereka, harga diri remaja sejati tidak dapat dibangun hanya dengan pujian kosong atau sanjungan tanpa dasar.
Sebaliknya, harga diri yang kokoh hanya dapat tercapai melalui terpenuhinya empat kondisi esensial atau pilar psikologis yang perlu dipelihara secara konsisten dan terstruktur oleh lingkungan sekitarnya. Konsep ini menyediakan kerangka kerja yang kuat dan praktis bagi orang tua, guru, dan seluruh komunitas untuk mendukung perkembangan mental dan emosional remaja.
Clemes, Bean, dan Clark secara tegas berargumen bahwa harga diri sehat—yang didefinisikan secara sederhana sebagai perasaan puas terhadap diri sendiri—hanya dapat dicapai ketika keempat pilar kebutuhan psikologis dasar ini terpenuhi. Kegagalan dalam salah satu pilar dapat menyebabkan ketidakseimbangan psikologis yang serius. Keempat kondisi ini menawarkan lensa yang jelas untuk mengamati perilaku remaja dan menentukan intervensi yang paling efektif.
Pertama, keterhubungan (connectiveness). Pilar pertama, Keterhubungan, mengacu pada perasaan diterima dan dicintai tanpa syarat oleh orang-orang penting dalam hidup remaja, terutama di dalam keluarga dan lingkaran teman sebaya. Keterhubungan adalah fondasi emosional yang menciptakan jaring pengaman vital; remaja perlu merasa bahwa mereka adalah bagian integral dari suatu kelompok—bahwa mereka penting bagi orang lain dan memiliki tempat yang aman untuk kembali, terlepas dari kesalahan atau kegagalan mereka.
Kurangnya keterhubungan menjadi salah satu faktor risiko terbesar yang dapat mendorong remaja untuk mencari penerimaan di tempat yang salah, yang seringkali berujung pada perilaku berisiko tinggi.
Ketika remaja merasa terisolasi atau diabaikan, kekosongan emosional dapat muncul. Dalam upayanya untuk mengisi kekosongan ini, mereka mungkin menjadi terlalu bergantung pada validasi eksternal, seperti melalui media sosial, atau bahkan terlibat dalam kenakalan hanya demi merasakan "rasa memiliki" sementara.
Oleh karena itu, tugas utama lingkungan adalah memastikan remaja mendapatkan afeksi dan perhatian tulus yang meyakinkan bahwa nilai hidup tidak didasarkan pada prestasi, melainkan pada keberadaan mereka.
Kedua, keunikan (uniqueness)
Pilar kedua, keunikan, menuntut adanya pengakuan dan penghargaan yang tulus terhadap perbedaan individu. Remaja dapat merasa bahwa mereka tidak hanya diizinkan, tetapi bahkan didorong dengan aktif untuk menjadi diri yang otentik. Merasa bahwa kualitas, bakat, dan pendapat mereka yang berbeda dihargai—bukan dihakimi atau diejek—adalah sumber kekuatan harga diri yang luar biasa.
Keunikan memungkinkan remaja untuk mengembangkan rasa identitas diri yang kuat dan khas, sehingga mereka tidak perlu menghabiskan energi untuk mencoba menyesuaikan diri dengan cetakan yang dibuat oleh norma sosial atau harapan orang lain yang tidak realistis.
Ketiga, kekuatan (power). Pilar Kekuatan tidak merujuk pada dominasi fisik atau sosial atas orang lain. Sebaliknya, ia melambangkan perasaan mampu dan kompeten dalam mengendalikan arah hidupnya sendiri dan memengaruhi lingkungannya secara positif. Inti dari Kekuatan adalah kemampuan membuat pilihan yang bijak, mengambil tanggung jawab atas pilihan tersebut, dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara realistis.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Veteran Bandung Berbagi Kisah Perjuangan kepada Generasi Muda |
![]() |
---|
BNI Hadirkan Sertifikasi TOEIC untuk Guru NTB, Perkuat Mutu Pendidikan dan Karakter Anak |
![]() |
---|
Sosok RH, Remaja Bacok Bocah MA hingga Tewas di Kolaka Timur, Ngaku Sakit Hati Sering Diejek Korban |
![]() |
---|
Tekanan Sosial, Perundungan, hingga Media Digital Perparah Krisis Mental Remaja |
![]() |
---|
1 dari 7 Remaja di Dunia Alami Gangguan Mental, WHO Ingatkan Pentingnya Deteksi Dini |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.