Tribunners / Citizen Journalism
Gara-gara Hilmar Farid, Nadiem Makarim Kena Getahnya! Perlu Rombak Ulang!
Pembaca akan disuguhi bagaimana Hilmar Farid meletakkan dirinya sendiri sebagai penganut gagasan yang diperjuangkan oleh Karl Marx.
Editor:
Husein Sanusi
Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari bukan semata-mata figur historis yang pernah hidup dalam sejarah. Beliau adalah teladan hidup, warasatul anbiya’, guru yang menjadi mata air inspirasi perjuangan, untuk urusan dunia dan akhirat. Jika jiwa raga Hilmar memang seperti terkandung dalam tulisan-tulisannya yang dikutip di atas, maka kita sebagai warga Nahdliyyin tidak butuh Marxisme, dan cukup dengan seorang Hadratussyeiikh saja.
Selain itu, jika tujuan utama Hilmar Farid adalah anti-kapitalisme, maka Ulama Nusantara memiliki caranya sendiri. Salah satunya adalah pemikiran KH. Mas Mansur, alumni Al-Azhar Mesir. Tahun 1913 ketika Perang Dunia I meletus, beliau pulang ke Nusantara bergabung dengan Sarekat Islam yang dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto. SI terkenal sebagai organisasi yang revolusioner, anti-kolonialisme. Kapitalisme lahir dari rahim kolonialisme. Belajar pada Kiyai Mas Mansur sudah cukup, dan tak perlu Marxisme.
Apalagi bicara pemikiran Mohammad Natsir, yang namanya juga dihilangkan dalam Kamus Sejarah Indonesia ini. Siapa yang tidak tahu bahwa Natsir pernah berkonflik dengan Ir. Soekarno. Natsir yang ingin menyatukan agama dan negara, Soekarno lebih pada pemisahan. Ditambah lagi, Soekarno berada di jalur Nasionalis, yang mengusung NASAKOM. Tentu, penghilangan nama M. Natsir dalam Kamus Sejarah kita adalah tindakan yang sangat memihak, dan itu dilakukan oleh Dirjen Kemendikbud yang karya-karyanya banyak mengusung Marxisme dan perjuangan kelas ala Barat.
Manusia tentu adalah mahallul khotha' wan nisyan. Tempat salah dan dosa. Namun, luka lama yang sudah diupayakan agar sembuh, jangan diungkit-ungkit lagi. Keteledoran dapat dimaklumi. Permintaan maaf dapat diberikan ampunan, selama bukan perkara pidana yang menyangkut ranah hukum positif. Ketelodran dengan menghapus nama-nama tokoh besar dalam sejarah, yang secara simbolik menyinggung luka masa lalu, ini tidak boleh terulang lagi.
Terakhir, fenomena Hilmar Farid ini harus jadi pelajaran bagi kita semua, bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang harus lebih berhati-hati dalam merekrut jajarannya. Nadiem Makarim yang terkena getahnya dari tindakan Hilmar Farid, tentu harus bertindak tegas dengan segera mengganti Dirjen kebudayaan Kemendikbud. Wallahu a’lam bis shawab.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon*
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.