Tribunners / Citizen Journalism
Rahasia di Balik Pesantren Berwajah Etnik, Yang Wajib Anda Ketahui
Tidak jarang karya arsitektur tersebut dihasilkan dari upaya-upaya serius untuk menggabungkan aspek Islam.
Editor:
Husein Sanusi
Sejak zaman Firaun atau sejak dahulu kala, semua bangsa di dunia ini punya budaya tersebut. Oleh Islam malah diperkuat. Rasulullah SAW banyak memberikan apresiasi kepada orang yang suka menolong orang. Sebaliknya, orang yang enggan bersedekah atau tidak mau peduli malah dibilang sebagai orang yang mendustai agamanya, seperti dalam Surah Al-Ma’un ayat 1-7:
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai terhadap shalatnya. Yang berbuat ria. Dan enggan (memberikan) bantuan.”
Kedua, ada budaya yang dikoreksi oleh Islam lalu dilanjutkan, misalnya nikah lebih dari empat atau aturan Islam mengenai perkawinan sedarah. Dulu orang menikahi perempuan semaunya. Islam hadir untuk memberikan batasan. Demikian juga pernikahan sedarah yang dulu menjadi tradisi orang-orang kelompok tertentu. Oleh Islam kemudian dikoreksi.
Ketiga, ada budaya yang memang dipadukan seperti dilakukan oleh Wali Songo. Masjid Menara Kudus adalah salah satu simbol adanya akulturasi budaya tersebut. Bodi masjid mensimbolkan candi, tapi atapnya mensimbolkan Islam, sedangkan pancuran wudhunya mensimbolkan Budha.
Keempat, budaya yang memang ditentang oleh Islam karena merusak akal, keturunan, agama, dan harta benda, seperti minum-minuman keras, free seks, judi, dan penyembahan berhala.
Dengan penjelasan seperti di atas, maka hemat saya, inti dari pendidikan budaya di pesantren adalah bagaimana para santri dapat menghadirkan Islam sesuai karakteristik masyarakat yang dimasuki, seperti para nabi atau Wali Songo di Nusantara. Caranya fleksibel dan sangat “human” namun secara esensi tidak berkurang sedikit pun.
Di samping itu, dengan adanya pemahaman mengenai budaya, maka para santri akan memiliki kecerdasan budaya. Maksudnya, mereka bisa membedakan mana budaya yang dibutuhkan, digabungkan, ditentang total atau dikoreksi. Jangan sampai serba mengharamkan budaya atau serba membolehkan.
Hal lain yang menjadi inti dari pendidikan budaya adalah agar para santri Bina Insan Mulia terus berkembang sesuai perubahan masyarakat dengan penguasaan pengetahuan dan teknologi. Jangan sampai ketinggalan zaman atau menolak perubahan zaman. Pesantren Bina Insan Mulia langsung memberikan contoh atau praktik. Misalnya, semua kegiatan dakwah di Bina Insan Mulia sekarang ini, dari mulai kegiatan santri, kegiatan guru, dan kegiatan saya, akan di-upload di media sosial.
Pendidikan budaya di Pesantren Bina Insan Mulia juga menghantarkan para santri untuk mengakses berbagai kearifan lokal untuk memperkaya pemahamannya mengenai kehidupan. Pemahaman keagamaan yang dipadu dengan kearifan akan menjadi modal penting untuk menghadirkan Islam Tengah atau Islam Moderat atau Islam Wasatiyah.
Hal lain yang sangat penting lagi adalah pendidikan budaya di Pesantren erat kaitannya dengan soal etika atau adab wal akhlak. Islam sudah memberikan panduang bagaimana akhlak dan adab, tetapi praktiknya diserahkan pada budaya lokalnya.
Misalnya berbuat baik atau sopan pada orang tua. Ini ajaran Islam, tetapi bagaimana ekspresi dan aktualisasi dari sopan dan berbuat baik itu tentu menyesuaikan budaya setempat. Ukuran sopan di Arab Saudi berbeda dengan ukuran sopan di Jawa Barat meskipun ada hal-hal prinsip yang sama.
Itulah gambaran mengenai pentingnya pendidikan budaya.
Wujud Pendidikan Budaya di Bina Insan Mulia
Pendidikan budaya di Bina Insan Mulia tidak disampaikan secara berteori melalui mata pelajaran khusus, tetapi disajikan ke dalam tiga wujud.
Pertama, melalui ide, konsep, atau pemikiran dengan segala bentuk turunannya. Saya dan para tamu yang saya undang, selalu menyampaikan hal-hal yang terkait dengan bagaimana santri Bina Insan Mulia nanti berkembang sesuai kemajuan zaman di satu sisi, namun tetap harus menjaga karakteristik ke-Islaman dan ke-Indonesiaan di sisi lain. Demikian juga prinsip dasar NU yang mengamalkan Islam secara tawasud, tawazun, dan tasamuh itu selalu kami sampaikan.
Kedua, pendidikan budaya juga disajikan melalui kreativitas secara fisik. Misalnya, saya menerima tamu dari berbagai kalangan. Itu adalah pendidikan budaya yang nyata. Orang berjubah saya terima, orang geng motor saya terima, orang berdasi saya terima, tokoh politik saya terima, kiai tarekat saya terima, dan seterusnya.
Kemampuan mengakomodasi keragaman adalah bagian penting dari pendidikan budaya dan agama sekaligus. Mewadahi keragaman tidak sama dengan ketidakjelasan. Kita diperintahkan harus berprinsip di satu sisi, namun harus fleksibel di sisi lain. Dari sinilah lahir toleransi yang sehat dan cerdas.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.