Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Napak Tilas Sunan Kalijaga: Ketika Santri dan Abangan Manunggal dalam Pagelaran Wayang di Ujunggede

Sebab itulah dalam menyebarkan ajaran Islam, Sunan Kalijaga sering menggunakan wayang sebagai mediumnya.

Editor: Hasanudin Aco
ISTIMEWA
Ilustrasi wayang kulit. 

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Masih ingatkah kita akan cara Kanjeng Sunan Kalijaga (1450-1513), salah seorang dari Walisongo (sembilan wali), dalam menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa?

Bila tidak ingat, silakan datang ke Desa Ujunggede, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, Sabtu (3/6/2023) esok.

Di sana akan ada “Pagelaran Budaya Wayang Santri” dalam rangka “Sedekah Bumi” desa setempat.

Pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Suryo Ningrat, Ketua Pimpinan Cabang LESBUMI Kabupaten Pemalang, ini akan berlangsung di Makam Mbah Wongsoreko yang menurut Hj Nurbudi Herawati (48), tokoh masyarakat setempat, diyakini sebagian penduduk sebagai pendiri atau “sing babad alas” dan kemudian menjadi “sing mbahurekso” (yang memelihara) Desa Ujunggede. Entah benar atau tidak.

LESBUMI merupakan singkatan dari Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia yang berdiri pada 28 Juni 1962 sebagai salah satu badan otonom dari Nahdatul Ulama (NU) yang bergerak dalam bidang kebudayaan dan kesenian.

Jika menyaksikan acara tersebut, niscaya kita akan ingat, bahkan semacam “napak tilas (mengikuti jejak) cara Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa, mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten bahkan hingga DKI Jakarta. Saat itu mayoritas masyarakat Jawa masih menganut animisme dan dinamisme atau memeluk agama Hindu atau Buddha.

Sunan Kalijaga bukan hanya seorang pendakwah, melainkan juga seorang seniman dan budayawan. Ia banyak menciptakan “gendhing” (musik) dan “tembang” (lagu), terutama Macapat.

Sunan Kalijaga juga menciptakan tokoh wayang Punakawan, yakni Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.

Sebab itulah dalam menyebarkan ajaran Islam, Sunan Kalijaga sering menggunakan wayang sebagai mediumnya.

Misalnya, seorang penonton sebelum menonton pagelaran wayang dipersyaratkan untuk membasuh muka, tangan dan kaki terlebih dahulu. Belakangan, "prosesi" semacam itu dikenal sebagai "wudhu".

Sunan Kalijaga juga menciptakan tembang "Ilir-ilir" yang pada liriknya terdapat kata "belimbing" atau buah segi lima yang menyimbolkan lima rukun Islam, yakni syahadat, salat, zakat, puasa dan haji.

Lalu terjadilah akulturasi. Masyarakat Jawa yang mayoritas penganut animisme dan dinamisme atau pemeluk agama Hindu atau Buddha, kemudian menganut ajaran Islam bahkan kemudian masuk Islam.

Dalam perjalanannya kemudian, umat Islam di Pulau Jawa ada yang disebut sebagai “abangan” dan “santri”.

Baca juga: Festival Budaya Bumi Mandala di Candi Ngawen Magelang Pentaskan Wayang Kulit dan Ragam Tarian 

Istilah “abangan” dan “santri” ini mengacu pada Clifford Geertz (1926-2006), antropolog asal Amerika Serikat (AS) yang melakukan penelitian di Pulau Jawa, termasuk di Desa di Mojokuto, Pare, Kediri, Jawa Timur, tahun 1960-an yang kemudian melahirkan buku berjudul “Agama Jawa: Santri, Priyayi dan Abangan”.

Ketika membahas suasana keagamaan orang Jawa kala itu, Clifford Geertz membaginya dalam tiga kategori, yakni santri, priyayi dan abangan. Ada dua perbedaan umum yang mencolok ketika membahas istilah itu, yakni perbedaan santri dan abangan.

Secara sederhana, Geertz mengatakan santri adalah varian masyarakat di Jawa yang taat kepada ajaran Islam, sedangkan abangan lebih longgar dan tak terlalu taat pada ajaran Islam. Adapun priyayi adalah golongan bangsawan/ningrat yang tak terlalu taat pada ajaran Islam, terpesona pada adat dan kebiasaan yang datang dari leluhur.

Berkat metode dakwah yang digunakan Sunan Kalijaga itulah pelan namun pasti masyarakat Jawa mulai menerima ajaran Islam, bahkan hingga saat ini. Sekali lagi, terjadilah akulturasi.

Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.

Dengan akulturasi itulah maka meskipun ajaran Islam sudah menyebar ke Pulau Jawa, namun kebudayaan yang bernama wayang tetap terjaga. Bahkan kini ada wayang santri yang akan dipentaskan di Desa Ujunggede itu.

Wayang Santri

Ada sejumlah hal menarik dalam rencana pegelaran wayang di Ujunggede itu.

Pertama, adalah wayang, kedua adalah santri, yang kemudian membentuk wayang santri (ketiga), keempat adalah sedekah bumi, kelima adalah Makam Mbah Wongsoreko, dan keenam adalah LESBUMI (NU).

Pertama, wayang. Wayang (biasanya terbuat dari kulit kerbau, sapi atau kambing, sehingga disebut wayang kulit; atau terbuat dari kayu yang kemudian disebut sebagai wayang golek; atau tergambar di kertas atau kain atau kulit kayu sehingga kemudian disebut wayang beber), seperti dilansir Wikipedia, adalah bentuk tradisional dari kesenian wayang yang aslinya ditemukan dalam budaya Jawa dan Bali di Indonesia.

Narasi wayang kulit sering kali berkaitan dengan tema utama kebaikan melawan kejahatan. Dalam kepercayaan dan sastra Jawa, wayang kulit diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga.

Pada mulanya, pertunjukan wayang kulit kental dengan nuansa agama Hindu atau Buddha. Namun belakangan, wayang kulit banyak dipentaskan dalam nuansa dan suasana Islami, sehingga banyak dalang yang juga bergelar haji, dan para penyanyi atau sinden-nya pun sering mengenakan hijab atau kerudung saat tampil.

Pagelaran wayang di Ujunggede nanti juga diiringi oleh hadrah modern "Laskar Ijo".

Ada pula tokoh-tokoh wayang yang kemudian dibuat dalam konteks kekinian.

Almarhum Ki Enthus Susmono, misalnya. Dalang asal Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, ini menciptakan tokoh-tokoh wayang yang dinamai tokoh-tokoh politik kontemporer seperti mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Amien Rais, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Alwi Shihab, dan sebagainya.

Dilansir dari laman Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), pertunjukan wayang kulit telah diakui sebagai “Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity” atau karya kebudayaan yang mengagumkan di bidang cerita narasi dan warisan budaya yang indah dan berharga, yang ditetapkan pada 7 November 2003.

Kedua, santri. Santri adalah mereka yang menuntut ilmu di pondok pesantren atau belajar kepada kiai (“nyantri”).

Ketiga, wayang santri. Yang dimaksud dengan “wayang santri” yang hendak dipentaskan di Ujunggede itu barangkali adalah pertunjukan wayang kulit yang dilakukan oleh para santri, termasuk dalangnya, Ki Suryo Ningrat. Atau bisa saja wayang yang “lakon” atau jalan ceritanya berkisah tentang santri.

Keempat, sedekah bumi. Sedekah bumi adalah suatu upacara adat yang melambangkan rasa syukur kepada Tuhan YME yang telah memberikan rezeki melalui Bumi berupa segala bentuk hasil Bumi seperti padi, palawija dan buah-buahan.

Dalam upacara yang sangat populer di Indonesia ini, khususnya Pulau Jawa,warga masyarakat biasanya membawa makanan dan buah-buahan hasil bumi sendiri.

Kelima, Makam Mbah Wongsoreko. Makam ini dianggap keramat oleh masyarakat Ujunggede, mengingat yang bersangkutan sebagai “sing babad alas” dan “sing mbahurekso” desa tersebut.

Keyakinan semacam ini biasanya ada dalam benak kaum abangan. Pertunjukan wayang kulit yang digelar di area Makam Mbah Wongsoreko merupakan penghormatan kepada leluhur Desa Ujunggede itu.

Bahkan bila mungkin, bisa jadi pagelaran wayang kulit itu dilakukan Ki Suryo Ningrat di Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah, karena ia ingin napak tilas murid Sunan Bonang itu.

Keenam, LESBUMI. LESBUMI merupakan badan otonom NU. NU, semua tahu, merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang moderat, yang mengakomodasi budaya lokal, termasuk wayang, dengan tidak mengharamkannya.

Kini, di makam Mbah Wongsoreko, Ujunggede, santri dan abangan “manunggal” alias menyatu.

* Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved