Tribunners / Citizen Journalism
Paradoks Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia
Kunjungan Paus Fransiskus SJ, yang bernama lahir Jorge Mario Bergoglio, ke Indonesia mulai 3-6 September 2024 adalah momentum yang dinanti sekian lama
Kunjungan Paus Fransiskus, SJ, yang bernama lahir Jorge Mario Bergoglio, ke Indonesia mulai 3-6 September 2024 adalah momentum yang dinanti sekian lama.
Butuh 35 tahun, umat Katolik Indonesia kembali dikunjungi GembalaNya.
Baca juga: Paus Fransiskus Tiba di Istana, Disambut Jokowi hingga Salami Sejumlah Anak
Pada sisi lain, selain empat hari kunjungan tersebut menyimpan paradoks yang ada di depan mata.
Benar secara umum, Indonesia kini dalam kondisi damai (peace), namun di Papua masih ada ketidakdamaian (peacelessness).
Bicara kedamaian, maka tidak bisa dibantah adanya pemaknaan yang direduksi sekadar bicara pada tidak ada perang atau tidak ada konflik atau perspektif negara yaitu keamanan dan kedaulatan.
Padahal perspektif keamanan seharusnya lebih luas yakni keamanan manusia (human safety) yang menjadi warganegara.
Keamanan sebagai individu manusia, tak terpisahkan dari kebahagiaan (happines), harus diletakkan sama pentingnya dengan keamanan negara.
Seorang Imam, yang sedang menempuh pendidikan Teologi lanjutan di Roma pun tak menampik bahwa kondisi keamanan di Papua yang sudah menjadi perhatian dunia internasional turut berdampak pada proses penggembalaan umat yang kini di tangan Uskup Jayapura, Mgr Yanuarius Theofilus Matopai You dan Uskup Agung Merauke Mgr. Petrus Canisius Mandagi.
Saya yakin, persoalan keamanan Papua akan menjadi salah satu topik yang akan dibahas dalam pertemuan pribadi Bapa Paus dan Presiden Joko Widodo.
Jika tidak pintar menangkap pesan Paus, tidak menutup kemungkinan ada konsekuensi besar di masa depan, serupa Timor Timur.
Baca juga: Setara Institute: Kunjungan Paus Fransiskus Momentum Refleksikan Toleransi
Paradoks Izin Tambang
Paradoks berikutnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No 25 Tahun 2024 yang memungkinkan organisasi kemasyarakatan (ormas) dan keagamaan untuk mengelola pertambangan.
Nah untungnya Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) langsung menolak turut serta mengelola tambang.
Para gembala umat Katolik Indonesia memilih bertekun pada profetik: menjalani tugas kerasulan diakonia (pelayanan), kerygma (pewartaan), liturgi (ibadat), dan martyria (semangat kenabian).
Sekaligus menjaga keselarasan hidup dengan lingkungan.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Profil Prof. Arif Satria, Rektor IPB Diprediksi Jadi Kepala BRIN Baru, Gantikan Laksana Tri Handoko? |
![]() |
---|
Andi Widjajanto: Kerusuhan Agustus dan Berebut Pengaruh Presiden |
![]() |
---|
Mengingat Peran Arsitek Senyap Budi Gunawan di Pertemuan Bersejarah Jokowi-Prabowo, Prabowo-Megawati |
![]() |
---|
Budi Arie Nyatakan Projo Tetap Dukung Prabowo Meski Dicopot dari Menkop |
![]() |
---|
Aturan KPU Soal Pembatasan Akses Ijazah Capres-Cawapres, Roy Suryo: Kembali ke Alam Kegelapan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.