Tribunners / Citizen Journalism
Manifesto Hukum Adaptif: Melampaui Teks, Merengkuh Keadilan
Hukum yang adaptif menekankan bahwa hukum tidak bisa lagi dianggap sebagai teks yang sakral dan tertutup.
Editor:
Sri Juliati
Oleh: Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Dalam setiap momen sejarah, hukum selalu terjebak antara dua kutub yang berlawanan: yang positivis dan yang kritis, antara teks dan kenyataan, serta antara norma dan kemanusiaan.
Realitas ini telah ada sejak lama dan terus-menerus diajarkan serta diyakini sebagai kebenaran.
Padahal sebenarnya banyak sistem hukum di dunia, terutama di negara-negara dengan struktur sosial yang rumit dan tidak seimbang, mengalami kegagalan karena hukum yang ada tidak mampu beradaptasi dengan kenyataan.
Hukum sering kali dipaksakan, ada yang terhenti, dan yang lainnya hanya menjadi fosil yang menghalangi emansipasi manusia.
Di sinilah muncul gagasan tentang hukum yang seharusnya bersifat adaptif. Ini bukan sekadar aliran pemikiran, melainkan sebuah tuntutan historis.
Tuntutan ini menyadari bahwa hukum hanya akan berarti jika mampu beradaptasi dengan cepat, aktif, dan berani terhadap perubahan sosial demi mencapai tujuan utamanya: memberikan keadilan yang substansial.
Hukum yang adaptif menekankan bahwa hukum tidak bisa lagi dianggap sebagai teks yang sakral dan tertutup.
Hukum harus dipahami sebagai bagian dari organisme yang hidup dalam ruang sosial, terikat pada dinamika masyarakat, dan mampu menjadi solusi atas ketimpangan yang ada.
Hukum yang adaptif jelas menolak pandangan positivisme hukum yang kaku.
Di sisi lain, hukum yang adaptif juga menolak relativisme hukum yang tidak memiliki arah.
Baca juga: Mbah Tupon Diduga Jadi Korban Mafia Tanah, Pemkab Bantul Akan Beri Bantuan Pendampingan Hukum
Hukum yang adaptif lebih menawarkan jalan tengah yang revolusioner.
Jalan tengah ini adalah upaya untuk menjadikan hukum sebagai entitas yang terus memperbarui diri melalui interaksi dialektis yang selaras dengan realitas sosial.
Hukum adaptif ini tidak hanya ditujukan untuk hakim.
Hukum adaptif ini sebenarnya menyentuh seluruh aspek hukum, mulai dari pembentuk hukum, penegak hukum, hingga pelaksana hukum, untuk bersama-sama menyadari bahwa mereka bukan sekadar bagian dari mesin normatif.
Mereka adalah subjek aktif yang memikul tanggung jawab historis untuk memastikan bahwa hukum, berdasarkan fakta sejarah, akan selalu berada di pihak yang adil.
Prinsip Tindakan Hukum Adaptif
Ada tiga prinsip utama yang menjadi syarat mutlak bagi berlangsungnya hukum adaptif:
Itikad Baik
Adaptasi hukum harus didorong oleh niat tulus untuk memperjuangkan keadilan.
Tanpa iktikad baik, sifat adaptif dalam hukum hanya akan menjadi topeng bagi kekuasaan untuk memanipulasi kebenaran.
Oleh karena itu, semua aktor hukum harus menunjukkan transparansi moral dalam setiap inovasi dan interpretasi hukum yang mereka lakukan.
Konteks Sosial sebagai Fondasi Tafsir
Hukum tidak bisa dipisahkan dari ruang dan waktu.
Setiap perubahan hukum—baik dalam proses legislasi maupun penegakan hukum—harus ditujukkan pada pemahaman yang mendalam tentang realitas sosial.
Pemahaman akan konteks sosial tersebut bukan hanya sebatas bagian dari latar belakang, namun justru materi pokok yang membentuk makna hukum itu sendiri.
Tindakan Afirmatif sebagai Koreksi Keadilan
Hukum adaptif menyadari bahwa hukum tidak pernah netral.
Dalam masyarakat yang tidak setara, netralitas sering kali berarti berpihak atau bahkan melanggengkan ketidakadilan.
Hukum yang adaptif harus berani mengambil sikap melalui tindakan afirmatif—yaitu langkah-langkah sadar untuk memperbaiki ketimpangan, memulihkan hak-hak kelompok marjinal, dan meruntuhkan hak istimewa struktural yang dapat merusak cita-cita keadilan.
Hukum yang adaptif selalu menolak pandangan bahwa hukum itu hanya sekedar dogma.
Sebab, hukum yang adaptif memandang hukum sebagai praktik yang memerdekakan.
Ia membuka peluang untuk merekonstruksi hukum yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga transformatif dan progresif.
Hukum harus ada, tumbuh, dan berubah seiring dengan masyarakatnya, bukan berdiri tegak di menara gading kekuasaan.
Contoh Penerapan Hukum Adaptif
Bayangkan sebuah kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di tengah pemerintahan otoriter.
Dalam sistem hukum yang kaku, kasus ini akan diputuskan hanya berdasarkan teks hukum yang ada, tanpa mempertimbangkan konteks sosial di balik tindakan tersebut.
Meskipun undang-undang yang ada mungkin memberikan dasar untuk penegakan hukum yang adil, ia tidak mencerminkan realitas ketidaksetaraan yang sesungguhnya dialami oleh korban.
Keputusan hakim pun hanya akan mengandalkan teks.
Keputusan yang justru akan memperdalam kesenjangan antara hukum dan keadilan karena gagal memahami ketidakadilan sosial yang melatarbelakangi peristiwa tersebut.
Di sini, hukum hanya berfungsi sebagai alat untuk menjaga status quo, bukan sebagai sarana pembebasan.
Dalam model hukum yang dinamis, seperti hukum responsif, perkara yang sama akan diselesaikan dengan mempertimbangkan konteks sosial dan sejarah yang melatarbelakangi pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
Hakim dalam pelaksanaan hukum yang dinamis tidak hanya melihat pasal-pasal yang ada, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dari keputusan yang akan diambil.
Ia akan menggali lebih dalam, melihat struktur kekuasaan yang menindas, dan mencari tahu bagaimana keputusan itu akan mempengaruhi pihak-pihak yang terpinggirkan.
Hukum tidak lagi sekedar merujuk pada teks yang ada tetapi dia bergerak dan berdialog dengan realitas sosial.
Ia memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah langkah menuju keadilan yang lebih substansial.
Sementara dalam perspektif hukum adaptif, kasus tersebut akan diputuskan dengan penuh keberanian.
Utamanya keberanian untuk berpihak kepada mereka yang tertindas.
Itulah yang membedakan hukum adaptif dengan hukum yang kaku dan hukum yang dinamis.
Hukum adaptif bukan lagi hanya menafsirkan teks, tetapi memahami bahwa keadilan harus dijangkau melalui tindakan afirmatif.
Hakim, bersama dengan seluruh struktur hukum, menyadari bahwa hukum tidak pernah bisa netral dalam kondisi masyarakat yang timpang.
Hukum adaptif tidak takut untuk mengoreksi ketidakadilan yang ada.
Mereka juga tidak takut apabila tindakan koreksinya tersebut membawa penilaian bahwa mereka sedang menentang kekuasaan.
Dalam kerangka hukum adaptif, setiap keputusan yang diambil adalah suatu langkah transformasi.
Bukan hanya sekedar proses formalitas belaka.
Hukum adaptif berani berpihak, membongkar ketimpangan, dan menciptakan ruang untuk emansipasi bagi mereka yang terpinggirkan.
Penutup
Dengan demikian, masa depan hukum dalam kacamata hukum yang adaptif tidak ditentukan oleh seberapa lengkap teksnya, seberapa serius prosedur penegakannya, dan seberapa pasti hukumannya, tetapi lebih kepada seberapa besar kemampuannya untuk bertransformasi sejalan dengan kebutuhan masyarakat.
Itulah hukum yang sejati, hukum yang adaptif, hukum yang tidak takut berubah atau diubah demi mewujudkan keadilan.
Hukum yang tidak ragu untuk bertindak demi mendukung kebenaran. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.