Tribunners / Citizen Journalism
Jejak Keadilan yang Berperspektif Hukum Adaptif
Hukum adaptif adalah antitesis dari hukum yang tekstual, kaku, dan eksklusif. Adaptif tidak dimaknai kompromis. Adaptif d sini strategi perjuangan.
Editor:
Sri Juliati
Oleh: Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Hukum, sebagaimana telah ditulis pada artikel pertama, tidak pernah netral. Hukum adalah medan pertarungan.
Di satu sisi ia bisa menjadi alat penindasan. Di sisi yang lain ia bisa hadir sebagai pelindung bagi mereka yang tertindas.
Operasinalisasi hukum dalam perspektif hukum adaptif bukanlah hukum yang kaku. Kaku secara teks maupun penerapannya.
Hukum adaptif itu hidup. Hukum yang mampu mendengar dan merasa. Bukan karena ia lunak tetapi karena ia tahu bahwa keadilan tidak pernah statis.
Di tengah model birokrasi yang kompleks, hukum adaptif muncul sebagai sebuah nafas perjuangan.
Jejak-jejak penggunaan hukum dengan gaya dan model adaptif sebenarnya sudah seringkali terjadi dan dilakukan.
Kita bisa sama-sama melihatnya dari empat contoh hukum nasional baik di dalam dan di luar negeri yang akan disajikan di bawah ini.
Contoh-contoh tersebut nantinya dapat mencerminkan bagaimana hukum sesungguhnya bisa melebur dalam cita-cita sosial yang adil tanpa takut untuk kehilangan integritas. Hukum bisa berpihak tanpa menjadi partisan.
Contoh di Indonesia
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum – Keterwakilan Perempuan
Niat Baik: Keterwakilan perempuan di dalam Pemilihan Umum lahir dari kesadaran bahwa demokrasi itu tidak bisa hanya dimiliki dan dipergunakan oleh separuh populasi. Keterwakilan perempuan di dalam Pemilu adalah koreksi historis atas eksklusi struktural.
Baca juga: Manifesto Hukum Adaptif: Melampaui Teks, Merengkuh Keadilan
UU Pemilu tidak tanggung-tanggung mewajibkan minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam legislatif. Tujuannya tentu agar produk hukum yang dihasilkan ke depan mempergunakan pula sudut pandang perempuan.
Kontekstual: Sudah sekian lama politik di Indonesia berada di bawah bayang-bayang budaya patriarki. Sistem politik yang dipergunakan pun terkesan maskulin.
Dalam persoalan politik, posisi perempuan seringkali didorong ke pinggir. Dikalahkan sebelum bertarung melalui narasi sentimen dan stigma.
Perubahan atas UU ini lahir dapat dipastikan bukan dari hasil racikan laboratorium teori.
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kabar Abroad dari Liga Thailand: Beda Nasib Asnawi Mangkualam & Pratama Arhan |
![]() |
---|
Profil Afra Hasna Nurhaliza, Setter sekaligus Kapten Timnas Voli Indonesia di Piala Dunia Voli 2025 |
![]() |
---|
Kesan Warga hingga Petani Ikuti Upacara HUT RI ke-80 di Istana Merdeka |
![]() |
---|
Di Usia Senja, Saimin Rasakan Khidmat Upacara di Istana: Terima Kasih Pak Prabowo Sudah Undang Kami |
![]() |
---|
BNI: Layanan Tetap Berjalan Seperti Biasa selama Libur Cuti Bersama HUT RI ke-80 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.